Jumat, 27 Desember 2013

Malam Warna Warni



Alam tidak mengizinkan kita mengagungkan nama Nya dengan cara yang sama.

Pagi itu kita tidak melihat altar kudus bersamaan. Kita juga tidak menyanyikan lagu yang sama untuk menyambut kelahiran Nya. Dalam hening, kuakui hatiku sempat berbisik. Seandainya saja, desahku pendek. Aku tak berani berharap banyak, jika itu tentang nama mu dan Tuhan.

Satu yang perlu kau tau, sejak awal aku telah mempersiapkan rasa ikhlas yang sedalam-dalamnya.
Tak perlu terlalu banyak kau titipkan cemas dan risau padaku, aku baik-baik saja.

Tapi jika memang mencintaimu adalah kutukan, aku tidak perlu ragu untuk mengamininya. Aku telah duluan menikmati perasaan indah itu, dalam diam, jauh hari sebelum aku mampu mengintip rongga matamu.

Malam itu, di hari natal, malam warna-warni itu.

Kita habiskan waktu, menikmati tontonan di panggung teater tepi pantai itu.

Puisi terakhir yang dimusikalisasikan tetiba menggelitik sanubariku. 

Aku benar-benar tak peduli apa makna yang sebenarnya ingin disampaikan si penulis kepada kita. Aku terhipnotis dalam makna yang rasanya begitu dekat dengan hatiku. Setiap kalimatnya menghasilkan pertanyaan baru dalam hatiku, pertanyaan yang bahkan aku sendiri tak berani menjawabnya. Dan lagi-lagi, aku hanya bisa mengintip matamu, berharap ada pertanyaan yang sampai ke dasar hatimu.

~
Bila ada warna pada malam, seberapa murni rindu yang kau siapkan untuk kepulanganku?
(Jika memang ada saatnya kita harus berpisah, aku dan kau harus pergi ke arah yang tak sama, apakah cerita yang sedang kita rajut akan menjadi penghangat di saat kita sama-sama direngut dingin?)

Seperti kau tahu, kepergian selalu akan menjajah ranah kepulangan.
(Apakah kau akan pulang ke tempat yang sama sebelum kau berangkat pergi, Sayang?)

Dan mimpi, akan mempermainkan, kebimbanganmu.
(Apakah mimpi ini terlalu tinggi untuk kita? Apakah benar semua mimpi ini hanya mempermainkan kita? Apakah kau merasakan kebimbingan yang sama sepertiku?)

Mulailah berhitung, waktu berjalan, aku tengah berkemas. Mulailah berhitung, waktu berjalan, aku tengah berkemas.
(Apa yang sedang kau pikirkan tentang masa depanmu? Adakah aku di sana? Aku tidak berani berpikir terlalu panjang. Akupun tidak bisa menjanjikan waktu, yang aku punya sekarang hanyalah rasa. Rasa yang memohon padaku setiap detik, agar aku menikmatinya. Akupun menikmatinya, sembari mempersiapkan bekal yang banyak, bekal ikhlas dan senyum air mata.)

Berdirilah di depan pintu. Angin musim dingin yang kutiupkan. Dari sini kan mengantarkan kepada kenangan. Betapa pun pahitnya tetaplah berharap.
(Adakah kau rasa getaran yang sama, ketika aku menggenggam tanganmu lebih erat? Betapapun pahitnya, bolehkah aku tetap berharap pada kisah ini? Dan bagaimanapun harapan itu tidak ada, bolehkah aku tetap berdoa untuk namamu?)

Sesungguhnya kau telah merencanakan kepergian, dan aku menyetujuinya. Itulah mengapa aku tak sepenuhnya mau kau hadir dan tinggal berangkat. Selain sedikit doa, selebihnya kuhanya membawa sejumlah surat-surat yang tak sempat kukirimkan.
(Aku yakin. Kau dan aku sama-sama telah mempersiapkan hati untuk menyetujui perpisahan. Dan karena itulah, sekarang kita benar-benar menikmati rasa yang sama-sama ada. Demi melupakan perpisahan yang kita tidak pernah tahu kapan akan tiba. Apakah benar doaku masih sedikit, Tuhan? Apakah masih bisa kupanjatkan doa yang sama lagi malam ini? Tuhan, jangan pisahkan kami.)

Dari negeri warna-warni, sejumlah surat baru tetap ku tulis. Tuk mengisi malam, tuk mencabut duri. Dari pulas tidurmu. Aku tak perlu mengatakan, agar kau berhenti menangis. Karena kau sangat tahu perubahan cuaca. Bila sempat kau lihat warna dalam malam, itu bukan buah dari dusta.
(Tak ada yang bisa kulakukan selain mencoba menuliskan huruf-huruf yang menggantung di setiap tidurku, kadang sakit rasanya. Banyak yang ingin kukatakan, tapi aku tak perlu mengatakannya. Aku tak ingin merusak kebahagiaan yang sama-sama sedang kita siapkan untuk perpisahan. Mungkin saja besok kita tidak bersama lagi. Mungkin rasa ini terlalu dini bagiku, tapi percayalah, kau tak perlu meragukannya.)

Aku tak melupakan ketulusanmu, aku slalu bersyukur. Karena darah masih mengalir. Karena nadi tetap nyeri. Aku tak melupakan ketulusanmu, aku slalu bersyukur. Karena darah masih mengalir. Karena nadi tetap nyeri.
(Ya. Manis dan pahit. Yang telah lewat dan yang akan menghadang. Akan selalu ku ingat. Terimakasih telah memilihku.)
~

Puisi berakhir membuat nyawaku kembali ke kursiku. Aku kembali merasakan genggaman tangan kita. Kulempar senyum untuk wajahmu yang masih menikmati panggung. Tangan kiriku menepuk tangan kanan mu, mataku menangkap matamu, senyum mu memancing senyumku, kita mengakhiri penampilan itu dalam hitungan detik, tapi sudah sejuta pertanyaan melayang-layang di setiap helai rambutku.

Pernah tidak kalian merasakan dua hal yang berbeda sekaligus?

Mencintai seseorang, bermimpi memilikinya seumur hidupmu tapi sekaligus telah mempersiapkan rasa ikhlas yang sedalam-dalamnya? Kalian bahagia bersamanya tapi sekaligus mempersiapkan air mata untuk menatap matanya.

Ya. Kau menghadirkan bahagia dan sakit secara bersamaan.
Akan aku ingat, bagaimana kita melewati malam itu, hari natal kemarin, malam warna-warni.
~

Lagu itu membangunkanku esok pagi. Setiap liriknya membisik indah di daun telingaku. Aku merindukanmu. Aku sudah siap untuk bersamamu. Tapi aku juga harus sudah siap jika memang kau harus pergi.

Dan siang itu, bibirmu seakan mendustaiku, “Kita jauhi semua yang buat kita jadi jauh ya.”
Hatiku tersenyum, tapi segera mempersiapkan air mata.
Pernahkah kau merasakannya?

Ya. Bahagia dan sakit. Bersama-sama.