Minggu, 10 Agustus 2014

MIMPI, OBSESI, AMBISI, KATA HATI


Langsung saja.

Saya tidak tahu bagaimana budaya pada masyarakat di luar sana, apakah sama atau berbeda. Akan saya akan menceritakan apa yang kebanyakan terjadi di daerah saya, tempat dimana saya tinggal selama lebih dari 20 tahun ini.

Kebiasaan mencemooh lebih tinggi daripada kebiasaan memuji. Dan kebanyakan perbuatan memuji pun hanya berdasarkan kepentingan tertentu alias “ada maunya”.

Tidak bisa dipungkiri. Sejak sekolah dasar hingga di bangku kuliah, lebih banyak cemoohan daripada pujian yang saya lihat di lingkungan saya. Mulai dari pergaulan sesama teman, dari orangtua atau orang dewasa lainnya, keluarga, bahkan guru serta dosen. Mencemooh telah menjadi kebiasaan yang sebenarnya kita tahu itu buruk, tapi karena telah menjadi kebiasaan, membuat kita kadang tidak sadar telah mencemooh baik dalam kadar rendah ataupun tinggi.

Di lingkungan saya mencemooh bisa dalam bentuk apa saja, lirikan mata, tawa yang besar sekali dan tawa yang ditahan-tahan, gerakan bibir, hingga kalimat-kalimat merendahkan yang kelewatan. Salah satu dampak yang paling nyata adalah rendahnya sikap percaya diri pada setiap individu. Kegiatan maju ke depan kelas menjadi hal yang memalukan. Menjawab pertanyaan guru adalah hal yang menakutkan. Bertanya pada dosen adalah hal yang mengkhawatirkan. Presentasi di depan ruangan adalah hal yang dihindari.

Rasa malu yang tinggi, rasa takut, kekhawatiran yang tidak terkontrol, dan menghindari hal-hal yang bersifat mengekspos diri. Lebih banyak individu yang memilih untuk diam, tidak banyak komentar, dan saling melempar-lempar jika diberi tugas untuk presentasi per kelompok kerja.

Jika Anda tinggal di lingkungan yang sama dengan saya, kebanyakan dari Anda pasti mulai mengangguk-angguk membenarkan pernyataan saya.

Ketika duduk di bangku kuliah, saya pun menemukan banyak mahasiswa yang manja, penakut, rasa percaya diri rendah, dan memilih pasif dalam banyak kegiatan akademis. Alhasil menciptakan lulusan-lulusan serba biasa saja yang tidak dapat dikatakan telah menjadi manusia dewasa.

Sesekali saya sempat merasakan hal yang sama. Tapi memang dasar sifat dan prinsip saya ingin selalu berbeda dengan orang lain (ingin selalu diperhatikan) sering sekali saya menembus rasa takut saya sendiri, tanpa banyak berpikir baik buruknya. Toh sekarang sepertinya lebih banyak baiknya, hehehe.

Rasa takut itu kemudian meresap ke daging dan menyebar ke seluruh jaringan pembuluh darah. Alhasil menjadi sesuatu yang mendarah daging. Hingga penyakit akutnya adalah takut bermimpi banyak, takut memiliki obsesi, dan takut berambisi tinggi. Jangankan berambisi, bermimpi saja tidak berani? Ketiga hal tersebut adalah hal yang sepertinya lebih sering mendapat konotasi negatif daripada positif, di lingkungan saya.

Orang yang bermimpi terlalu banyak akan mendapat tanggapan, “ Alah si Lia ni tinggi kali imajinasinya. Jauh kali yang dibayangkannya.”

Orang yang memiliki obsesi akan mendapat tanggapan, “Jangan terlalu terobsesi Lia, nanti banyak kecewanya loh.”

Orang yang memiliki ambisi akan mendapat tanggapan, “Ambisi banget sih, biasa-biasa aja kali. Jalani hidup seperti air mengalir sajalah Lia.”

Saya sering sekali menggerutu dalam hati dan menjawab lantang tanggapan orang-orang loyo seperti itu dengan kalimat yang separuh nasehat separuh candaan, seperti ini:
Hei, dengar deh sini. Kalau bermimpi itu bagusnya tinggi-tinggi. Kalau kamu jatuh atau belum bisa mencapai mimpi mu itu, kamu tinggal berpikir bahwa, “ah pantas saja aku susah menggapainya, mimpiku kan tinggi”. Orang-orang sekitar pun akan memahaminya dengan cara yang sama dan mengharuskanmu berjuang lebih keras lagi. Sekarang bayangkan kalau mimpi mu itu rendah atau biasa-biasa saja. Dan ternyata kamu jatuh dan belum bisa menggapainya. Lantas orang-orang sekitarlah yang terlebih dahulu berpikir, “Aduh bego banget sih, mimpi cuma segitu aja masa ga kesampaian?”. Dan kamulah yang kemudian menyusul di belakang mengikuti cara pikir orang lain, kemudian stres sendiri.

Sebenarnya kisah di atas bisa saja ditukar-tukar tanggapannya karena sebenarnya segala sesuatu kembali ke diri kita sendiri, tergantung karakter masing-masing individu. Akan tetapi saya yakin kebanyakan cerita akan cenderung seperti yang saya katakan di atas.

Pikirkanlah.

Kalimat separuh nasehat separuh candaan itu tidak sekali dua kali saya berikan kepada orang lain. Sering sekali. Bahkan pernah saya berikan kepada orang yang sama berkali-kali. Kebanyakan dari mereka mengangguk setuju dan kemudian perlahan mengubah cara berpikirnya dan mulai berani berambisi, berani bermimpi. Tapi tidak jarang juga ada orang yang berkepala dan berhati bebal, susah menerima pandangan orang lain, yang kemudian memilih mengunci dirinya menjadi “be myself” yang sesat (nanti saya akan berbagi sesuatu tentang “be myself” yang sesat).

Saya adalah orang yang berimajinasi tinggi, penuh mimpi-mimpi yang mungkin belum pernah singgah di kepala orang lain yang seumuran dengan saya, saya terobsesi pada ambisi dan mimpi-mimpi saya, bahkan tidak sekali dua kali saya mengalahkan diri saya sendiri hanya untuk menggapai mimpi tersebut. Pokoknya harus tercapai! Itulah yang sering sekali saya tancapkan di hati saya.

Siapa bilang pandangan seperti itu adalah bagus sekali? Tidak. Saya telah mengalaminya. Saya berprinsip seperti itu terus menerus, sehingga akhirnya saya sering mengarah ke arah tidak halal atau jalur ilegal. Seperti misalnya, ingin nilai sempurna, saya pun mencontek. Padahal kalau tidak mencontek nilai saya sudah bagus juga sekitaran 80 ke atas. Atau saya ingin beli tas kuning yang baru dan mahal, lalu saya menjual sedikit kepandaian saya dengan membuatkan tugas teman-teman saya dan meminta uang Rp 20.000 untuk setiap permintaan.

Kadang saya tertawa sendiri mengingatnya, saya menghalalkan segara cara hanya untuk memuaskan batin saya atas telah tercapainya sebuah mimpi saya. Dan ntah kenapa alam sepertinya selalu mendukung saya hahaha. Mungkin memang begitulah cara alam mengajari kita untuk tahu mana yang benar dan salah.

Itulah yang sebenarnya dikatakan proses. Seiring berjalannya waktu saya mengerti cukup banyak hal dalam bermimpi dan berambisi yang baik dan benar. Mimpi adalah tujuan, ambisi adalah motornya, obsesi adalah bahan bakarnya dan kata hati adalah pengontrolnya.

Contohnya seperti ini:
Saya memiliki mimpi untuk membeli hape keluaran terbaru. Sayapun setiap hari memikirkannya, memikirkan hal-hal positif yang bisa saya lakukan dengan hape baru tersebut. Saya mulai terobsesi atas mimpi itu. Lalu mulailah ambisi saya bergerak. Saya mulai merencanakan hal-hal untuk membeli hape tersebut. Saya survei jenis-jenis dan harganya. Saya survei cara pembeliannya apakah ada yang bisa dicicil dan bagaimana caranya. Saya kemudian mulai memperhitungkan pendapatan dan pengeluaran saya seminggu, dan menentukan tabungan. Kemudian membandingkannya dengan cicilan hape tersebut. Ternyata uang tabungan saya masih kurang, lalu saya memikirkan jalan keluar lain. Mulai dari jualan kecil-kecilan, minta tambahan dari mama, atau mengurangi pengeluaran. Begitulah obsesi menghidupkan ambisi agar bergerak sebagai motor yang akan membawa saya ke mimpi (tujuan) tersebut. Di tengah jalan pastilah akan terpikir jalur ilegal seperti, berbohong kepada orangtua dengan mengatakan ada keperluan sekolah atau sebagainya. Hal yang bisa mengontrol motor itu adalah kata hati. Saya mengembalikan semuanya kepada hati nurani saya. Biasanya hati nurani mengontrol dalam bentuk pertanyaan pertanyaan yang akan mengembalikan pilihannya kepada kita sendiri.
Apakah hati dan batin saya puas, jika saya mendapatkan mimpi tersebut dengan jalan ilegal? Apakah hati saya senang dengan membohongi orangtua saya hanya untuk sebuah hape? Apakah saya benar-benar sangat membutuhkan hape tersebut sehingga harus menambah daftar dosa dengan membohongi orangtua? Apakah saya bisa membanggakan hape ini kepada orang-orang jika sebenarnya separuh uangnya hasil berbohong kepada orangtua?
Setelah saya mengetahui bagaimana tanggapan hati nurani. Saya pun dapat memilih, mengontrol motor (ambisi) saya untuk berjalan sedikit lebih pelan (mengundur waktu untuk membeli hape), atau memberinya minyak yang selalu full (semangat tinggi) sehingga saya bisa berjuang lebih gesit ketika jalannya mendaki (harus mengurangi pengeluaran sehingga tabungan meningkat).
Yang manapun yang menjadi pilihan saya, yang jelas mimpi saya akan tercapai. Saya akan memiliki hape baru tersebut. Jika ingin cepat, maka harus semangat dan kerja keras tinggi. Jika belum terlalu urgen dalam waktu dekat, mimpi bisa diundur (tapi tetap pasti) sedikit lebih lama, misalnya rencana cicilan 6 bulan jadi cicilan 1 tahun.

Benarlah bahwa segala sesuatu yang murni menjadi kata hati nurani selalu cenderung kepada hal-hal yang benar dan bijak. Kecuali orang tersebut telah terbiasa berbuat jahat dan curang dalam kehidupannya sehingga hati nuraninya pun telah berkabut dan tidak mampu lagi mengarahkan pemiliknya kepada hal yang benar dan bijak.

Begitulah sekilas bagaimana proses kerjasama antara mimpi, ambisi, obsesi, dan kata hati dalam kehidupan kita.

Tanpa minyak yang berkualitas tinggi (obsesi) maka motor (ambisi) kita akan berjalan kurang maksimal atau setengah-setengah, bahkan mungkin bisa rusak di tengah jalan. Tanpa motor (ambisi) yang berkualitas tinggi, kita tidak akan bisa mencapai tujuan (mimpi) sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, bisa karena tersendat-sendat atau karena tidak kuat mengangkat beban yang terlalu berat. Dan tanpa pengontrol (kata hati) yang benar dan bijak, kita tidak akan mencapai kepuasan batin setelah menggapai mimpi tersebut, kita akan tergoda untuk berjalan di tepi jurang saja daripada harus berjalan di jalan yang banyak batu dan kerikil. Bayangkan, salah-salah jalan, kita bisa masuk jurang kan?

Nah, sekarang apakah Anda masih berpendapat bahwa bermimpi, berambisi dan memiliki obsesi yang tinggi akan berkonotasi negatif? Jika Anda masih berpendapat begitu, itu tandanya Anda meragukan kekuatan kata hati nurani Anda. Karena jika Anda yakin pada kekuatan hati nurani Anda, mimpi, ambisi, dan obsesi yang tinggi tidak akan menghantarkan Anda pada jalan yang salah, malah sebaliknya, Anda akan sampai di tujuan dengan kepuasan batin yang amat luar biasa tak tertandingi.

Jika Anda memanglah pribadi yang meragukan kata hati Anda, maka yang harus Anda lakukan adalah memperkuatnya. Caranya sangat mudah karena kebetulan kita tinggal di negara yang beragama. Yaitu sesering mungkin untuk berdoa atau berkomunikasi dengan Tuhan, rajin beribadah, dan biasakan melakukan hal-hal yang benar dan baik sesuai perintah Tuhan. Percayalah, kati hati Anda sangat kuat dan Anda bisa mendapatkan banyak keajaiban di hari-hari Anda.

Maka dari itu proses telah menciptakan saya sebagai individu yang lebih banyak merasakan dan menikmati kepuasan batin dalam hidup saya, bahkan kepuasan yang belum seharusnya saya nikmati di umur saya. Jangankan orang lain, saya sendiri saja masih tidak percaya bahwa saya telah melalui cukup banyak hal di luar dugaan.

Akhir cerita, hal yang ingin saya sampaikan adalah seperti ini. Anak-anak dan remaja pada dasarnya adalah generasi yang rentan, baik secara fisik maupun mental. Mengapa? Karena mereka secara psikologi belum masuk ke dalam tahap dewasa. Semasa anak-anak dan remaja seharusnya diberikan banyak hal-hal positif yang bersifat membangun.

Lingkungan adalah tempat yang paling berpengaruh terhadap karakter mereka. Lingkungan keluarga bagi anak-anak dan lingkungan pergaulan pertemanan serta pendidikan bagi remaja. Jika lingkungan lebih banyak memberikan hal negatif, maka jangan salahkan suatu saat mereka tidak menjadi individu yang dewasa. Salah satu kebiasaan buruk yang saya maksud adalah mencemooh. Atau kurangnya sifat menghargai dan mengapresiasi perbuatan orang lain. Hal kecil tapi berdampak besar.

Kebiasaan mencemooh akan menciptakan generasi bermental kerupuk yang cenderung pasif dan tidak punya inisiatif. Sementara kebiasaan memuji (dengan benar) akan menciptakan generasi penuh percaya diri, bermental baja, dan cenderung aktif, berinisiatif, dan kreatif. Dan janganlah memuji (dengan salah) hanya untuk kepentingan pribadi, alias hanya ingin mendapatkan uang dari kesuksesannya, ingin itu ingin ini. Karena itu akhirnya hanyalah menciptakan karakter yang susah bergaul, memiliki ketidakpercayaan yang tinggi terhadap orang lain, dan penuh dengan prasangka buruk yang tidak terkontrol.

Walaupun sebenarnya segala sesuatu itu tetap kembali tergantung pada individunya (contohnya saya yang walaupun lahir di kondisi banyak cemoohan tapi tetap bisa kuat), tetap tidak ada alasan untuk membenarkan setiap tindakan mencemooh. Seperti "itu proses pendewasaan", "harus bisa jadi katak tuli", "itulah namanya hidup", dan semacamnya. 

Saya sendiri tidak tahu apa fokus tulisan ini, tentang larangan cemooh atau konsep mimpi ambisi obsesi kata hati. Tapi yang jelas, stop cemoohan dan mari berambisi! ^_^