Jumat, 11 November 2016

Lagi, Musim Gugur.

11 November 2016

Aku tak akan banyak bercerita tentang cinta, lagi. Aku masih terlalu muda dan kamu juga tak cukup romantis, untuk membahasnya. Tak perlu juga menyebut kesetiaan, karena aku percaya setiap kebersamaan dan perpisahan, sama-sama harus melalui restu alam. Lalu, adakah yang bisa membantu memberikan wacana, untuk naskah yang dengan sengaja dititipkan di bulan ini?

Maaf saja. Jika telah kamu sadari, bahwa aku tidak menginginkanmu dengan buta. Aku tidak bisa memujamu tanpa alasan. Dan jelas, aku mencintaimu dengan syarat. Aku memang seegois itu, dan aku yakin kamu pun mengemban maaf yang sama.

Aku bukan gadis yang senang mengecewakan alam. Seperti padamu, alam juga mematri banyak harapan padaku. Berani menjadi 'kita' tentu menciptakan harapan-harapan baru pula. Harapan aku, harapan kamu, dan harapan kita adalah penyebab aku tidak akan mencintaimu dengan buta, sekalipun bahkan jika mata ku tak mampu melihat.

Hari berlalu, hingga musim gugur datang lagi.

Sudah sejauh mana kah kita saling meraba harapan satu sama lain?
Seberapa besar kamu percaya bahwa alam peduli pada banyaknya amin yang kita lantunkan?

Denpasar dan Ungasan,
Saling hembuskan harapan,
Lewat hari-hari yang selalu aku dan kamu usahakan,
Demi sebuah jawaban,

Aku dan kamu, akankah?

Livingstone, Seminyak.
11 November 2015

Rabu, 17 Februari 2016

Hundred Days

Jika memang hubungan ini hanya akan menjadi pelajaran lainnya dalam hidupku, kumohon kepada semua malaikat di surga untuk membujuk Sang Raja. Oh, Raja, jadikan ini pelajaran terakhirku.

Memalukan, kita dua insan yang sesungguhnya sedang dalam kesepian masing-masing. Sama-sama mencoba melupakan realita yang terlalu banyak menyimpan rasa pahit. Larut dalam kecanggihan dunia abad ke-21. Walaupun komoditas maya itu awal dari segalanya, tak bisa dipungkiri bahwa alam pasti juga turut ikut campur untuk pertemuan kita.

Percakapan kita yang bahkan awalnya tanpa angin, telah mengisi hari-hariku, perlahan. Bercerita dengan seseorang yang benar-benar baru dalam kehidupanmu, memiliki kenikmatan tersendiri bukan? Sebagai sesama mahkluk yang penuh keterbatasan, kita terjebak dalam konsep pendekatan. Kita bertemu.

11 November 2015. Living Stone. Kafe yang cukup besar, berlantai dua, di pinggir jalan yang padat.
“Melihat konsep kafe ini, aku jadi inget drama-drama korea. Biasanya seperti ini design kafe yang jadi tempat kerja sampingan si gadis pemeran utama, yang cantik tapi miskin.” candaku, sambil menikmati satu persatu french fries pilihanmu. Kau tersenyum. Aku menebak apa yang kemudian muncul di pikiranmu. Aku gadis pecinta drama korea? Haha, kau salah.

Kita berbincang dengan topik yang acak. Kita tak peduli waktu dan tempat. Oh tidak, yang paling penting adalah kita melupakan bahwa ini pertemuan pertama kita, di dunia ini. Salmon steak, pork sandwich, energizer, dan radler, telah menjadi pemeran pendukung di skenario pertama kita.

Bisakah kau rasakan sebenarnya alam semesta sedang menonton kita? Mereka sedang penasaran akan tumbuh seperti apa pertemuan ini? Dengan mata berkaca-kaca mereka berharap kita bisa lebih dari sekedar saling mengisi. Dengan tangan mengatup mereka melantunkan doa, kita, dua insan yang sedang berjalan tanpa arah ini, harus berhenti mencari.

Senyum mu adalah satu-satunya yang bisa ku jadikan jaminan, kau bukan pria yang buruk. Aku percaya. Dan aku tidak akan menyesal bertemu dengan mu, jika ini hanya akan menjadi yang pertama sekalgus terakhir.

Demi kemungkinan yang aku takutkan itu, “Kelar makan, ke mall yuk, nonton Spectre?”

***
Kita saling menumpuk rasa. Membincangkan banyak hal absurd dan mulai berbagi mimpi-mimpi kecil. Oh Tuhan, aku tak tahan! Persetan dengan waktu yang belum matang! Dia harus jadi milikku! Lalu kuputar lagu lama dari si rambut pucat Taylor Swift : “I don’t know about you! But I’m feeling 22. Everything will be alright, if you keep me next to you!”

***
14 Desember 2015. Ubud, sebuah desa kecil yang hijau, desa favoritku di pulau seribu pura ini. Apakah ini juga desa favorit mu?

Hati kecilku berharap besar, sejak malam itu, Ubud juga akan menjadi desa favoritmu.

***
Tanpa basa basi anak kemarin sore, kita meyakinkan diri kita masing-masing bahwa kita sudah saling memiliki. Mencoba tidak terlalu mengikat diri dengan status yang sebenarnya sangat aku butuhkan. Ntahlah bagimu.

Lagi-lagi. Bukan karena beda nya cara kita menyembah Tuhan, yang kusesali. Aku mengeluh, kenapa kita harus tercipta dan bertemu di sini? Ketika batas teritorial masih memiliki andil dalam mengadili rasa yang kita punya untuk melebur dalam ikatan pernikahan. Sesalku. Coba saja kita bertemu di teritorial lain? Mungkin hubungan beda agama ini tidak begitu menjadi masalah besar. How about you, honey?

Aku yakin, setidaknya selama kita punya perasaan sebesar biji jagung.

***
Dalam dekap dadamu, hatiku merintih. “Tuhan, ini dia.”
Kau mendengkur, lalu menggeliat pelan.

***
Mabuk asmara. Kita mengerahkan semua usaha untuk bisa berkencan sebanyak mungkin. Masih banyak cerita dan mimpi yang belum kita bagi. Masih panjang perjalanan yang harus kita selesaikan. Ujung masih jauh, terlalu jauh malah. Kita hanya berusaha menikmati sebuah rasa di dalam dada yang selalu berpesta setiap jemarimu mengisi jemariku. Keinginan untuk selalu saling menghangatkan setiap tatapan.  Aku dan kamu. Kita jatuh cinta. Benar-benar jatuh.

***
24 Desember 2015. Kau ingat? Langit ikut terisak. Alam menonton kita. Betapa sedihnya mereka melihat kita harus berpisah di gerbang Gereja Xaverius itu. Aku mencoba menenangkan diri. Kulantunkan mazmur sukacita dengan rasa haru. Di ruang ibadah yang penuh sesak itu, aku merasa seperti, hanya ada aku dan Tuhan. Kuseka mataku sebelum dia menitikan airnya.

“Tuhan, tolong jaga imanku.” menjadi doa yang tanpa lelah ku ucapkan setiap aku menemukan keterbatasanku sebagai seorang manusia. Bagaimana tidak? Kita sama-sama sedang meminum racun, tapi tak satupun antara kita ada yang ingin mati.

***
00.00
Terimakasih sayang. Kau sepertinya akan menjadi satu yang tak terganti. Bagaimana ini?
Kepedulianmu pada hal-hal kecil di hidupku, membuatku merasa semakin berarti. Kau menyemangati hatiku. Aku manusia yang pantas hidup, aku manusia yang pantas mewujudkan mimpiku. Aku tidak sebatangkara di dunia ini. Aku ada.

Tentu saja. Demi menemukan mu, aku harus meninggalkan Pulau Sumatera, menyebrang Selat Sunda, menyisir Pulau Jawa, dan menyapa matahari terbit di Gilimanuk. Aku memang pantas kan untuk semua ketulusan mu?

***
January 2016. Skenario kita menemukan semakin banyak pemeran pendukung. Mulai dari gurame pesmol, bakso 4 mangkok, bebek goreng, soto ceker, hingga kalkun berbalut tortila di kafe favoritmu.
Kita juga menyapa mentari terbit di pesisir Nusa Dua. Apa kau juga masih ingat bagaimana kita mencoba menebak-nebak bagaimana bentuk bubur kodok (Live) di restoran China itu? Tapi diam-diam kita sama-sama berharap tak ada satu pengunjung di sekitar kita memesan menu itu. Ya, aku menunggu senyum manis mu itu.

***
1 February 2016. Ubud, desa favorit kita. Menakluk kan Bukit Campuhan dengan sepeda –yang bagiku sepeda off road– dan memperkosa setiap hijau nya dengan penuh sukacita.

Lihat sayang, alam tertawa bahagia, sesekali mereka terharu dan merintik. Melihat bagaimana bahagianya kita, dua insan yang sedang menyeduh anggur ternikmat di dunia!

Akankah perasaan ini selalu seindah ini? Sementara kita sebenarnya belum benar-benar saling mengenal satu sama lain? Apakah kau juga setuju bahwa termasuk cinta yang sedang kita tontonkan pada alam, semuanya  yang ada di dunia ini hanyalah fatamorgana?

Kita biarkan saja Sang Raja berpikir... Dan selama itu, kita nikmati penuh syukur semua skenarionya.
Kita tak boleh mengecewakan penonton sejati kita. Alam.

***
14 Februari 2016. Ah biarlah semua semua deskripsi indah dan tidak indah di hari itu menjadi milik kita berdua.  Jika ada sebuah pelajaran yang ingin alam ajarkan padaku di hari itu, mungkin hanya satu. Aku harus bisa mengalahkan diri ku sendiri, sebelum memilikimu.

***
Setelah semua tulisan ini, aku telah memenuhi janji yang kuucap pada hatiku sendiri: “Seburuk-buruknya atau sesalah-salahnya, cinta kita tidak akan pernah menjadi cerita yang tak tertulis.”

Terimakasih untuk 100 hari.

Dariku,
Yang menaruh harapan pada musim semi mendatang.

Kamis, 07 Januari 2016

Alphabet Terakhir

Di malam ini saya ingin mencambuk diri saya sendiri..

Elukan semua kesalahan-kesalahan yang tak pernah mau diakui bibir saya sendiri..

Bersama semua kata maaf yang tak pernah ikhlas diucapkan hati saya sendiri..

Ya, saya tahu ini tidak benar, ada sesak, di sini..

Zeus memanjat pohon, memohon penyembuhan..

Ulah ini harus dicaruti, ada yang remuk, di sini..

Rasa ego telah membungkus hati kecil saya yang selalu merengek, terisak..

Ingatan semua rasa sombong telah mencampakkan cinta dan kemanusiaan yang selalu saya agung-agungkan..

Aduh, ngilu.

Terakhir kali aku ditinggalkan, tanpa kata, hanya gelengan..

Maaf, untuk semua yang telah saya bunuh.

Obsesi darah benar-benar telah membutakan mata saya.

Terimakasih.