Kamis, 18 April 2019

Terimakasih Tuhan, Saya Belum Menikah.

Ayo yang sudah lama tidak membaca, mari kita berdiskusi.
.
Hampir dua tahun ini saya bergumul dengan pertanyaan, "Mengapa saya harus tahu sesuatu yang menurut saya lebih baik saya tidak tahu." Bahkan sering saya berdoa meminta kepada Tuhan untuk lebih baik menutup mata dan telinga saya kepada hal-hal yang tidak perlu, karena sungguh saya tahu lidah saya bukan penjaga rahasia yang baik. Ya saya bercerita tentang sesuatu yang akrab dikenal dengan 'aib'. Macam-macam kejadiannya. Ada yang memang dengan sengaja, dengan percaya diri, menceritakan ke saya. Ada yang saya lihat dengan tidak sengaja. Ada yang saya temukan tanpa saya cari. Bahkan ada yang jelas-jelas berniat dan melakukan 'aib' tersebut dengan saya. Di satu sisi saya adalah orang yang gampang sekali berempati, dalam artian gampang ikut bersedih dan sebal, perasaan negatif sungguh menghabiskan energi saya lebih daripada ngegym berjam-jam. Di sisi lain saya juga tidak mau mengisi kepala saya dengan pikiran-pikiran buruk terhadap seseorang apalagi jika dia teman kerja saya. Bersikap manis kepada seseorang yang sudah saya anggap jelek tentu adalah pengurasan energi lainnya. Sehingga sering kali di malam hari saat saya sedang sendiri, saya merasakan kelelahan luar biasa yang tidak bisa dibawa tidur. "Tuhan, mengapa Kau tunjukkan padaku bahwa wanita/pria berselingkuh bahkan setelah beranak itu banyak?"
.
Seminggu belakangan kemudian saya mulai mengerti apa yang ingin Tuhan sampaikan. Karena seketika Tuhan membangkitkan memori saya saat saya masih SMP dan tidak sengaja membaca pesan di hape Mama. Pesan yang Mama kirimkan ke kakak lelakinya, berisi tentang curhatan hatinya yang lelah menghadapi sifat jelek Papa. Saya yang waktu itu pemahamannya masih rendah berpikir bahwa sebentar lagi Papa dan Mama akan berpisah. Apalagi didukung dengan saya yang cukup sering melihat mereka bertengkar. Sejak saat itu sering saya bersedih dan menyendiri. Biasanya saat berdoa, saya selalu minta dibelikan boneka baru, sepeda baru, nilai ujian bagus. Tapi sejak hari itu, saya menggantinya dengan doa untuk tetap menyatukan orangtua saya. Bukan karena saya sudah mengerti bahwa perceraian adalah hal yang buruk, saya hanya tidak tahu saya harus memilih ikut siapa jika mereka berpisah. Sementara itu saya takut menemukan fakta bahwa tidak ada dari mereka yang menginginkan saya dan kemudian saya akan kembali dititipkan ke oom atau tante lagi.
.
Sekarangpun saya kembali mengerti, mengapa Tuhan memisahkan saya dengan 'mantan terindah' saya tepat seminggu setelah kami membicarakan acara lamaran dengan orangtuanya. Saya mengerti mengapa tiba-tiba Tuhan menitipkan ilham yang luar biasa membuat saya mampu menyakiti orang yang paling saya sayang.
.
Dulu saya bermimpi untuk bisa menikah secepatnya. Saya ingin segera masuk ke keluarga yang baru, menciptakan keluarga saya sendiri, memulai kehidupan baik dan menggapai mimpi-mimpi saya dengan tenang. Supaya saya bisa kabur dari tanggungjawab melihat ayah yang sakit-sakitan, mengurus adik yang nakal, mengurus rumah dan sebagainya.
.
Tapi Tuhan membukakan mata saya. Saya mengerti bahwa kehidupan pernikahan bukan sesuatu yang sudah sanggup saya jalani. Memahami sifat satu sama lain, penerimaan antar keluarga, masalah keuangan, kepuasan seksual,  godaan orang ketiga, hingga kasus asupan kebutuhan psikis ternyata bukan hal yang sudah saya mengerti seutuhnya.
.
Terimakasih Tuhan, saya belum diijinkan menikah.