Alam
tidak mengizinkan kita mengagungkan nama Nya dengan cara yang sama.
Pagi
itu kita tidak melihat altar kudus bersamaan. Kita juga tidak menyanyikan lagu
yang sama untuk menyambut kelahiran Nya. Dalam hening, kuakui hatiku sempat
berbisik. Seandainya saja, desahku pendek. Aku tak berani berharap banyak, jika
itu tentang nama mu dan Tuhan.
Satu
yang perlu kau tau, sejak awal aku telah mempersiapkan rasa ikhlas yang
sedalam-dalamnya.
Tak
perlu terlalu banyak kau titipkan cemas dan risau padaku, aku baik-baik saja.
Tapi
jika memang mencintaimu adalah kutukan, aku tidak perlu ragu untuk
mengamininya. Aku telah duluan menikmati perasaan indah itu, dalam diam, jauh
hari sebelum aku mampu mengintip rongga matamu.
Malam
itu, di hari natal, malam warna-warni itu.
Kita
habiskan waktu, menikmati tontonan di panggung teater tepi pantai itu.
Puisi
terakhir yang dimusikalisasikan tetiba menggelitik sanubariku.
Aku
benar-benar tak peduli apa makna yang sebenarnya ingin disampaikan si penulis
kepada kita. Aku terhipnotis dalam makna yang rasanya begitu dekat dengan
hatiku. Setiap kalimatnya menghasilkan pertanyaan baru dalam hatiku, pertanyaan
yang bahkan aku sendiri tak berani menjawabnya. Dan lagi-lagi, aku hanya bisa
mengintip matamu, berharap ada pertanyaan yang sampai ke dasar hatimu.
~
Bila ada warna pada malam, seberapa
murni rindu yang kau siapkan untuk kepulanganku?
(Jika memang ada saatnya kita harus
berpisah, aku dan kau harus pergi ke arah yang tak sama, apakah cerita yang
sedang kita rajut akan menjadi penghangat di saat kita sama-sama direngut
dingin?)
Seperti kau tahu, kepergian selalu
akan menjajah ranah kepulangan.
(Apakah kau akan pulang ke tempat
yang sama sebelum kau berangkat pergi, Sayang?)
Dan mimpi, akan mempermainkan,
kebimbanganmu.
(Apakah mimpi ini terlalu tinggi
untuk kita? Apakah benar semua mimpi ini hanya mempermainkan kita? Apakah kau
merasakan kebimbingan yang sama sepertiku?)
Mulailah berhitung, waktu berjalan,
aku tengah berkemas. Mulailah berhitung, waktu berjalan, aku tengah berkemas.
(Apa yang sedang kau pikirkan
tentang masa depanmu? Adakah aku di sana? Aku tidak berani berpikir terlalu
panjang. Akupun tidak bisa menjanjikan waktu, yang aku punya sekarang hanyalah
rasa. Rasa yang memohon padaku setiap detik, agar aku menikmatinya. Akupun
menikmatinya, sembari mempersiapkan bekal yang banyak, bekal ikhlas dan senyum
air mata.)
Berdirilah di depan pintu. Angin
musim dingin yang kutiupkan. Dari sini kan mengantarkan kepada kenangan. Betapa
pun pahitnya tetaplah berharap.
(Adakah kau rasa getaran yang sama,
ketika aku menggenggam tanganmu lebih erat? Betapapun pahitnya, bolehkah aku
tetap berharap pada kisah ini? Dan bagaimanapun harapan itu tidak ada, bolehkah
aku tetap berdoa untuk namamu?)
Sesungguhnya kau telah merencanakan
kepergian, dan aku menyetujuinya. Itulah mengapa aku tak sepenuhnya mau kau
hadir dan tinggal berangkat. Selain sedikit doa, selebihnya kuhanya membawa
sejumlah surat-surat yang tak sempat kukirimkan.
(Aku yakin. Kau dan aku sama-sama
telah mempersiapkan hati untuk menyetujui perpisahan. Dan karena itulah,
sekarang kita benar-benar menikmati rasa yang sama-sama ada. Demi melupakan
perpisahan yang kita tidak pernah tahu kapan akan tiba. Apakah benar doaku
masih sedikit, Tuhan? Apakah masih bisa kupanjatkan doa yang sama lagi malam
ini? Tuhan, jangan pisahkan kami.)
Dari negeri warna-warni, sejumlah
surat baru tetap ku tulis. Tuk mengisi malam, tuk mencabut duri. Dari pulas
tidurmu. Aku tak perlu mengatakan, agar kau berhenti menangis. Karena kau
sangat tahu perubahan cuaca. Bila sempat kau lihat warna dalam malam, itu bukan
buah dari dusta.
(Tak ada yang bisa kulakukan selain
mencoba menuliskan huruf-huruf yang menggantung di setiap tidurku, kadang sakit
rasanya. Banyak yang ingin kukatakan, tapi aku tak perlu mengatakannya. Aku tak
ingin merusak kebahagiaan yang sama-sama sedang kita siapkan untuk perpisahan.
Mungkin saja besok kita tidak bersama lagi. Mungkin rasa ini terlalu dini
bagiku, tapi percayalah, kau tak perlu meragukannya.)
Aku tak melupakan ketulusanmu, aku
slalu bersyukur. Karena darah masih mengalir. Karena nadi tetap nyeri. Aku tak
melupakan ketulusanmu, aku slalu bersyukur. Karena darah masih mengalir. Karena
nadi tetap nyeri.
(Ya. Manis dan pahit. Yang telah
lewat dan yang akan menghadang. Akan selalu ku ingat. Terimakasih telah
memilihku.)
~
Puisi
berakhir membuat nyawaku kembali ke kursiku. Aku kembali merasakan genggaman
tangan kita. Kulempar senyum untuk wajahmu yang masih menikmati panggung.
Tangan kiriku menepuk tangan kanan mu, mataku menangkap matamu, senyum mu
memancing senyumku, kita mengakhiri penampilan itu dalam hitungan detik, tapi
sudah sejuta pertanyaan melayang-layang di setiap helai rambutku.
Pernah
tidak kalian merasakan dua hal yang berbeda sekaligus?
Mencintai
seseorang, bermimpi memilikinya seumur hidupmu tapi sekaligus telah
mempersiapkan rasa ikhlas yang sedalam-dalamnya? Kalian bahagia bersamanya tapi
sekaligus mempersiapkan air mata untuk menatap matanya.
Ya.
Kau menghadirkan bahagia dan sakit secara bersamaan.
Akan
aku ingat, bagaimana kita melewati malam itu, hari natal kemarin, malam
warna-warni.
~
Lagu
itu membangunkanku esok pagi. Setiap liriknya membisik indah di daun telingaku.
Aku merindukanmu. Aku sudah siap untuk bersamamu. Tapi aku juga harus sudah
siap jika memang kau harus pergi.
Dan
siang itu, bibirmu seakan mendustaiku, “Kita jauhi semua yang buat kita jadi
jauh ya.”
Hatiku
tersenyum, tapi segera mempersiapkan air mata.
Pernahkah
kau merasakannya?
Ya.
Bahagia dan sakit. Bersama-sama.