Langsung saja.
Saya tidak tahu bagaimana budaya pada
masyarakat di luar sana, apakah sama atau berbeda. Akan saya akan menceritakan
apa yang kebanyakan terjadi di daerah saya, tempat dimana saya tinggal selama
lebih dari 20 tahun ini.
Kebiasaan mencemooh lebih tinggi daripada
kebiasaan memuji. Dan kebanyakan perbuatan memuji pun hanya berdasarkan
kepentingan tertentu alias “ada maunya”.
Tidak bisa dipungkiri. Sejak sekolah dasar
hingga di bangku kuliah, lebih banyak cemoohan daripada pujian yang saya lihat
di lingkungan saya. Mulai dari pergaulan sesama teman, dari orangtua atau orang
dewasa lainnya, keluarga, bahkan guru serta dosen. Mencemooh telah menjadi
kebiasaan yang sebenarnya kita tahu itu buruk, tapi karena telah menjadi
kebiasaan, membuat kita kadang tidak sadar telah mencemooh baik dalam kadar
rendah ataupun tinggi.
Di
lingkungan saya mencemooh bisa dalam bentuk apa saja, lirikan mata, tawa yang
besar sekali dan tawa yang ditahan-tahan, gerakan bibir, hingga kalimat-kalimat
merendahkan yang kelewatan. Salah satu dampak yang paling nyata adalah
rendahnya sikap percaya diri pada setiap individu. Kegiatan maju ke depan kelas
menjadi hal yang memalukan. Menjawab pertanyaan guru adalah hal yang
menakutkan. Bertanya pada dosen adalah hal yang mengkhawatirkan. Presentasi di
depan ruangan adalah hal yang dihindari.
Rasa malu yang tinggi, rasa takut,
kekhawatiran yang tidak terkontrol, dan menghindari hal-hal yang bersifat
mengekspos diri. Lebih banyak individu yang memilih untuk diam, tidak banyak
komentar, dan saling melempar-lempar jika diberi tugas untuk presentasi per
kelompok kerja.
Jika Anda tinggal di lingkungan yang sama
dengan saya, kebanyakan dari Anda pasti mulai mengangguk-angguk membenarkan
pernyataan saya.
Ketika duduk di bangku kuliah, saya pun
menemukan banyak mahasiswa yang manja, penakut, rasa percaya diri rendah, dan
memilih pasif dalam banyak kegiatan akademis. Alhasil menciptakan
lulusan-lulusan serba biasa saja yang tidak dapat dikatakan telah menjadi manusia
dewasa.
Sesekali saya sempat merasakan hal yang sama.
Tapi memang dasar sifat dan prinsip saya ingin selalu berbeda dengan orang lain
(ingin selalu diperhatikan) sering sekali saya menembus rasa takut saya
sendiri, tanpa banyak berpikir baik buruknya. Toh sekarang sepertinya lebih
banyak baiknya, hehehe.
Rasa takut itu kemudian meresap ke daging dan
menyebar ke seluruh jaringan pembuluh darah. Alhasil menjadi sesuatu yang
mendarah daging. Hingga penyakit akutnya adalah takut bermimpi banyak, takut memiliki
obsesi, dan takut berambisi tinggi. Jangankan berambisi, bermimpi saja tidak
berani? Ketiga hal tersebut adalah hal yang sepertinya lebih sering mendapat
konotasi negatif daripada positif, di lingkungan saya.
Orang yang bermimpi terlalu banyak akan
mendapat tanggapan, “ Alah si Lia ni tinggi kali imajinasinya. Jauh kali yang
dibayangkannya.”
Orang yang memiliki obsesi akan mendapat
tanggapan, “Jangan terlalu terobsesi Lia, nanti banyak kecewanya loh.”
Orang yang memiliki ambisi akan mendapat
tanggapan, “Ambisi banget sih, biasa-biasa aja kali. Jalani hidup seperti air
mengalir sajalah Lia.”
Saya sering sekali menggerutu dalam hati dan
menjawab lantang tanggapan orang-orang loyo seperti itu dengan kalimat yang
separuh nasehat separuh candaan, seperti ini:
Hei,
dengar deh sini. Kalau bermimpi itu bagusnya tinggi-tinggi. Kalau kamu jatuh
atau belum bisa mencapai mimpi mu itu, kamu tinggal berpikir bahwa, “ah pantas
saja aku susah menggapainya, mimpiku kan tinggi”. Orang-orang sekitar pun akan
memahaminya dengan cara yang sama dan mengharuskanmu berjuang lebih keras lagi.
Sekarang bayangkan kalau mimpi mu itu rendah atau biasa-biasa saja. Dan
ternyata kamu jatuh dan belum bisa menggapainya. Lantas orang-orang sekitarlah
yang terlebih dahulu berpikir, “Aduh bego banget sih, mimpi cuma segitu aja
masa ga kesampaian?”. Dan kamulah yang kemudian menyusul di belakang mengikuti
cara pikir orang lain, kemudian stres sendiri.
Sebenarnya kisah di atas bisa saja
ditukar-tukar tanggapannya karena sebenarnya segala sesuatu kembali ke diri
kita sendiri, tergantung karakter masing-masing individu. Akan tetapi saya
yakin kebanyakan cerita akan cenderung seperti yang saya katakan di atas.
Pikirkanlah.
Pikirkanlah.
Kalimat separuh nasehat separuh candaan itu
tidak sekali dua kali saya berikan kepada orang lain. Sering sekali. Bahkan pernah
saya berikan kepada orang yang sama berkali-kali. Kebanyakan dari mereka
mengangguk setuju dan kemudian perlahan mengubah cara berpikirnya dan mulai
berani berambisi, berani bermimpi. Tapi tidak jarang juga ada orang yang
berkepala dan berhati bebal, susah menerima pandangan orang lain, yang kemudian
memilih mengunci dirinya menjadi “be myself” yang sesat (nanti saya akan
berbagi sesuatu tentang “be myself” yang sesat).
Saya adalah orang yang berimajinasi tinggi,
penuh mimpi-mimpi yang mungkin belum pernah singgah di kepala orang lain yang
seumuran dengan saya, saya terobsesi pada ambisi dan mimpi-mimpi saya, bahkan
tidak sekali dua kali saya mengalahkan diri saya sendiri hanya untuk menggapai
mimpi tersebut. Pokoknya harus tercapai! Itulah yang sering sekali saya
tancapkan di hati saya.
Siapa bilang pandangan seperti itu adalah
bagus sekali? Tidak. Saya telah mengalaminya. Saya berprinsip seperti itu terus
menerus, sehingga akhirnya saya sering mengarah ke arah tidak halal atau jalur
ilegal. Seperti misalnya, ingin nilai sempurna, saya pun mencontek. Padahal
kalau tidak mencontek nilai saya sudah bagus juga sekitaran 80 ke atas. Atau
saya ingin beli tas kuning yang baru dan mahal, lalu saya menjual sedikit
kepandaian saya dengan membuatkan tugas teman-teman saya dan meminta uang Rp
20.000 untuk setiap permintaan.
Kadang saya tertawa sendiri mengingatnya, saya
menghalalkan segara cara hanya untuk memuaskan batin saya atas telah tercapainya
sebuah mimpi saya. Dan ntah kenapa alam sepertinya selalu mendukung saya
hahaha. Mungkin memang begitulah cara alam mengajari kita untuk tahu mana yang
benar dan salah.
Itulah yang sebenarnya dikatakan proses.
Seiring berjalannya waktu saya mengerti cukup banyak hal dalam bermimpi dan
berambisi yang baik dan benar. Mimpi
adalah tujuan, ambisi adalah motornya, obsesi adalah bahan bakarnya dan kata
hati adalah pengontrolnya.
Contohnya seperti ini:
Saya memiliki mimpi untuk membeli
hape keluaran terbaru. Sayapun setiap hari memikirkannya, memikirkan hal-hal
positif yang bisa saya lakukan dengan hape baru tersebut. Saya mulai terobsesi
atas mimpi itu. Lalu mulailah ambisi saya bergerak. Saya mulai merencanakan
hal-hal untuk membeli hape tersebut. Saya survei jenis-jenis dan harganya. Saya
survei cara pembeliannya apakah ada yang bisa dicicil dan bagaimana caranya.
Saya kemudian mulai memperhitungkan pendapatan dan pengeluaran saya seminggu,
dan menentukan tabungan. Kemudian membandingkannya dengan cicilan hape
tersebut. Ternyata uang tabungan saya masih kurang, lalu saya memikirkan jalan
keluar lain. Mulai dari jualan kecil-kecilan, minta tambahan dari mama, atau
mengurangi pengeluaran. Begitulah obsesi menghidupkan ambisi agar bergerak
sebagai motor yang akan membawa saya ke mimpi (tujuan) tersebut. Di tengah
jalan pastilah akan terpikir jalur ilegal seperti, berbohong kepada orangtua
dengan mengatakan ada keperluan sekolah atau sebagainya. Hal yang bisa
mengontrol motor itu adalah kata hati. Saya mengembalikan semuanya kepada hati
nurani saya. Biasanya hati nurani mengontrol dalam bentuk pertanyaan pertanyaan
yang akan mengembalikan pilihannya kepada kita sendiri.
Apakah hati dan batin saya puas, jika saya mendapatkan
mimpi tersebut dengan jalan ilegal? Apakah hati saya senang dengan membohongi
orangtua saya hanya untuk sebuah hape? Apakah saya benar-benar sangat
membutuhkan hape tersebut sehingga harus menambah daftar dosa dengan membohongi
orangtua? Apakah saya bisa membanggakan hape ini kepada orang-orang jika
sebenarnya separuh uangnya hasil berbohong kepada orangtua?
Setelah saya mengetahui bagaimana
tanggapan hati nurani. Saya pun dapat memilih, mengontrol motor (ambisi) saya
untuk berjalan sedikit lebih pelan (mengundur waktu untuk membeli hape), atau
memberinya minyak yang selalu full (semangat tinggi) sehingga saya bisa
berjuang lebih gesit ketika jalannya mendaki (harus mengurangi pengeluaran
sehingga tabungan meningkat).
Yang manapun yang menjadi pilihan
saya, yang jelas mimpi saya akan tercapai. Saya akan memiliki hape baru
tersebut. Jika ingin cepat, maka harus semangat dan kerja keras tinggi. Jika
belum terlalu urgen dalam waktu dekat, mimpi bisa diundur (tapi tetap pasti)
sedikit lebih lama, misalnya rencana cicilan 6 bulan jadi cicilan 1 tahun.
Benarlah
bahwa segala sesuatu yang murni menjadi kata hati nurani selalu cenderung
kepada hal-hal yang benar dan bijak. Kecuali orang tersebut telah terbiasa
berbuat jahat dan curang dalam kehidupannya sehingga hati nuraninya pun telah
berkabut dan tidak mampu lagi mengarahkan pemiliknya kepada hal yang benar dan
bijak.
Begitulah
sekilas bagaimana proses kerjasama antara mimpi, ambisi, obsesi, dan kata hati
dalam kehidupan kita.
Tanpa
minyak yang berkualitas tinggi (obsesi) maka motor (ambisi) kita akan berjalan kurang maksimal atau
setengah-setengah, bahkan mungkin bisa rusak di tengah jalan. Tanpa motor
(ambisi) yang berkualitas tinggi, kita tidak akan bisa mencapai tujuan (mimpi) sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan, bisa karena tersendat-sendat atau karena tidak kuat
mengangkat beban yang terlalu berat. Dan tanpa pengontrol (kata hati) yang benar dan bijak, kita tidak akan
mencapai kepuasan batin setelah menggapai mimpi tersebut, kita akan tergoda
untuk berjalan di tepi jurang saja daripada harus berjalan di jalan yang banyak
batu dan kerikil. Bayangkan, salah-salah jalan, kita bisa masuk jurang kan?
Nah,
sekarang apakah Anda masih berpendapat bahwa bermimpi, berambisi dan memiliki
obsesi yang tinggi akan berkonotasi negatif? Jika Anda masih berpendapat
begitu, itu tandanya Anda meragukan kekuatan kata hati nurani Anda. Karena jika
Anda yakin pada kekuatan hati nurani Anda, mimpi, ambisi, dan obsesi yang
tinggi tidak akan menghantarkan Anda pada jalan yang salah, malah sebaliknya,
Anda akan sampai di tujuan dengan kepuasan batin yang amat luar biasa tak
tertandingi.
Jika Anda memanglah pribadi yang meragukan
kata hati Anda, maka yang harus Anda lakukan adalah memperkuatnya. Caranya
sangat mudah karena kebetulan kita tinggal di negara yang beragama. Yaitu
sesering mungkin untuk berdoa atau berkomunikasi dengan Tuhan, rajin beribadah,
dan biasakan melakukan hal-hal yang benar dan baik sesuai perintah Tuhan. Percayalah,
kati hati Anda sangat kuat dan Anda bisa mendapatkan banyak keajaiban di
hari-hari Anda.
Maka dari itu proses telah menciptakan saya
sebagai individu yang lebih banyak merasakan dan menikmati kepuasan batin dalam
hidup saya, bahkan kepuasan yang belum seharusnya saya nikmati di umur saya.
Jangankan orang lain, saya sendiri saja masih tidak percaya bahwa saya telah
melalui cukup banyak hal di luar dugaan.
Akhir cerita, hal yang ingin saya sampaikan
adalah seperti ini. Anak-anak dan remaja pada dasarnya adalah generasi yang
rentan, baik secara fisik maupun mental. Mengapa? Karena mereka secara
psikologi belum masuk ke dalam tahap dewasa. Semasa anak-anak dan remaja
seharusnya diberikan banyak hal-hal positif yang bersifat membangun.
Lingkungan adalah tempat yang paling
berpengaruh terhadap karakter mereka. Lingkungan keluarga bagi anak-anak dan
lingkungan pergaulan pertemanan serta pendidikan bagi remaja. Jika lingkungan
lebih banyak memberikan hal negatif, maka jangan salahkan suatu saat mereka
tidak menjadi individu yang dewasa. Salah satu kebiasaan buruk yang saya maksud
adalah mencemooh. Atau kurangnya sifat menghargai dan mengapresiasi perbuatan
orang lain. Hal kecil tapi berdampak besar.
Kebiasaan mencemooh akan menciptakan generasi
bermental kerupuk yang cenderung pasif dan tidak punya inisiatif. Sementara
kebiasaan memuji (dengan benar) akan menciptakan generasi penuh percaya diri,
bermental baja, dan cenderung aktif, berinisiatif, dan kreatif. Dan janganlah
memuji (dengan salah) hanya untuk kepentingan pribadi, alias hanya ingin
mendapatkan uang dari kesuksesannya, ingin itu ingin ini. Karena itu akhirnya
hanyalah menciptakan karakter yang susah bergaul, memiliki ketidakpercayaan yang
tinggi terhadap orang lain, dan penuh dengan prasangka buruk yang tidak
terkontrol.
Walaupun sebenarnya segala sesuatu itu tetap kembali tergantung pada individunya (contohnya saya yang walaupun lahir di kondisi banyak cemoohan tapi tetap bisa kuat), tetap tidak ada alasan untuk membenarkan setiap tindakan mencemooh. Seperti "itu proses pendewasaan", "harus bisa jadi katak tuli", "itulah namanya hidup", dan semacamnya.
Saya sendiri tidak tahu apa fokus tulisan ini, tentang larangan cemooh atau konsep mimpi ambisi obsesi kata hati. Tapi yang jelas, stop cemoohan dan mari berambisi! ^_^
Walaupun sebenarnya segala sesuatu itu tetap kembali tergantung pada individunya (contohnya saya yang walaupun lahir di kondisi banyak cemoohan tapi tetap bisa kuat), tetap tidak ada alasan untuk membenarkan setiap tindakan mencemooh. Seperti "itu proses pendewasaan", "harus bisa jadi katak tuli", "itulah namanya hidup", dan semacamnya.
Saya sendiri tidak tahu apa fokus tulisan ini, tentang larangan cemooh atau konsep mimpi ambisi obsesi kata hati. Tapi yang jelas, stop cemoohan dan mari berambisi! ^_^