Jika
memang hubungan ini hanya akan menjadi pelajaran lainnya dalam hidupku, kumohon
kepada semua malaikat di surga untuk membujuk Sang Raja. Oh, Raja, jadikan ini
pelajaran terakhirku.
Memalukan,
kita dua insan yang sesungguhnya sedang dalam kesepian masing-masing. Sama-sama
mencoba melupakan realita yang terlalu banyak menyimpan rasa pahit. Larut dalam
kecanggihan dunia abad ke-21. Walaupun komoditas maya itu awal dari segalanya,
tak bisa dipungkiri bahwa alam pasti juga turut ikut campur untuk pertemuan
kita.
Percakapan
kita yang bahkan awalnya tanpa angin, telah mengisi hari-hariku, perlahan.
Bercerita dengan seseorang yang benar-benar baru dalam kehidupanmu, memiliki
kenikmatan tersendiri bukan? Sebagai sesama mahkluk yang penuh keterbatasan,
kita terjebak dalam konsep pendekatan. Kita bertemu.
11
November 2015. Living Stone. Kafe yang cukup besar, berlantai dua, di pinggir
jalan yang padat.
“Melihat
konsep kafe ini, aku jadi inget drama-drama korea. Biasanya seperti ini design
kafe yang jadi tempat kerja sampingan si gadis pemeran utama, yang cantik tapi
miskin.” candaku, sambil menikmati satu persatu french fries pilihanmu. Kau
tersenyum. Aku menebak apa yang kemudian muncul di pikiranmu. Aku gadis pecinta
drama korea? Haha, kau salah.
Kita
berbincang dengan topik yang acak. Kita tak peduli waktu dan tempat. Oh tidak,
yang paling penting adalah kita melupakan bahwa ini pertemuan pertama kita, di
dunia ini. Salmon steak, pork sandwich, energizer, dan radler, telah menjadi
pemeran pendukung di skenario pertama kita.
Bisakah
kau rasakan sebenarnya alam semesta sedang menonton kita? Mereka sedang
penasaran akan tumbuh seperti apa pertemuan ini? Dengan mata berkaca-kaca
mereka berharap kita bisa lebih dari sekedar saling mengisi. Dengan tangan
mengatup mereka melantunkan doa, kita, dua insan yang sedang berjalan tanpa
arah ini, harus berhenti mencari.
Senyum
mu adalah satu-satunya yang bisa ku jadikan jaminan, kau bukan pria yang buruk.
Aku percaya. Dan aku tidak akan menyesal bertemu dengan mu, jika ini hanya akan
menjadi yang pertama sekalgus terakhir.
Demi
kemungkinan yang aku takutkan itu, “Kelar makan, ke mall yuk, nonton Spectre?”
***
Kita
saling menumpuk rasa. Membincangkan banyak hal absurd dan mulai berbagi mimpi-mimpi
kecil. Oh Tuhan, aku tak tahan! Persetan dengan waktu yang belum matang! Dia
harus jadi milikku! Lalu kuputar lagu lama dari si rambut pucat Taylor Swift :
“I don’t know about you! But I’m feeling 22. Everything will be alright, if you
keep me next to you!”
***
14
Desember 2015. Ubud, sebuah desa kecil yang hijau, desa favoritku di pulau
seribu pura ini. Apakah ini juga desa favorit mu?
Hati
kecilku berharap besar, sejak malam itu, Ubud juga akan menjadi desa favoritmu.
***
Tanpa
basa basi anak kemarin sore, kita meyakinkan diri kita masing-masing bahwa kita
sudah saling memiliki. Mencoba tidak terlalu mengikat diri dengan status yang
sebenarnya sangat aku butuhkan. Ntahlah bagimu.
Lagi-lagi.
Bukan karena beda nya cara kita menyembah Tuhan, yang kusesali. Aku mengeluh,
kenapa kita harus tercipta dan bertemu di sini? Ketika batas teritorial masih
memiliki andil dalam mengadili rasa yang kita punya untuk melebur dalam ikatan
pernikahan. Sesalku. Coba saja kita bertemu di teritorial lain? Mungkin
hubungan beda agama ini tidak begitu menjadi masalah besar. How about you,
honey?
Aku
yakin, setidaknya selama kita punya perasaan sebesar biji jagung.
***
Dalam
dekap dadamu, hatiku merintih. “Tuhan, ini dia.”
Kau
mendengkur, lalu menggeliat pelan.
***
Mabuk
asmara. Kita mengerahkan semua usaha untuk bisa berkencan sebanyak mungkin.
Masih banyak cerita dan mimpi yang belum kita bagi. Masih panjang perjalanan
yang harus kita selesaikan. Ujung masih jauh, terlalu jauh malah. Kita hanya
berusaha menikmati sebuah rasa di dalam dada yang selalu berpesta setiap
jemarimu mengisi jemariku. Keinginan untuk selalu saling menghangatkan setiap
tatapan. Aku dan kamu. Kita jatuh cinta.
Benar-benar jatuh.
***
24
Desember 2015. Kau ingat? Langit ikut terisak. Alam menonton kita. Betapa
sedihnya mereka melihat kita harus berpisah di gerbang Gereja Xaverius itu. Aku
mencoba menenangkan diri. Kulantunkan mazmur sukacita dengan rasa haru. Di ruang
ibadah yang penuh sesak itu, aku merasa seperti, hanya ada aku dan Tuhan.
Kuseka mataku sebelum dia menitikan airnya.
“Tuhan,
tolong jaga imanku.” menjadi doa yang tanpa lelah ku ucapkan setiap aku menemukan
keterbatasanku sebagai seorang manusia. Bagaimana tidak? Kita sama-sama sedang
meminum racun, tapi tak satupun antara kita ada yang ingin mati.
***
00.00
Terimakasih
sayang. Kau sepertinya akan menjadi satu yang tak terganti. Bagaimana ini?
Kepedulianmu
pada hal-hal kecil di hidupku, membuatku merasa semakin berarti. Kau
menyemangati hatiku. Aku manusia yang pantas hidup, aku manusia yang pantas
mewujudkan mimpiku. Aku tidak sebatangkara di dunia ini. Aku ada.
Tentu
saja. Demi menemukan mu, aku harus meninggalkan Pulau Sumatera, menyebrang
Selat Sunda, menyisir Pulau Jawa, dan menyapa matahari terbit di Gilimanuk. Aku
memang pantas kan untuk semua ketulusan mu?
***
January
2016. Skenario kita menemukan semakin banyak pemeran pendukung. Mulai dari
gurame pesmol, bakso 4 mangkok, bebek goreng, soto ceker, hingga kalkun
berbalut tortila di kafe favoritmu.
Kita
juga menyapa mentari terbit di pesisir Nusa Dua. Apa kau juga masih ingat
bagaimana kita mencoba menebak-nebak bagaimana bentuk bubur kodok (Live) di
restoran China itu? Tapi diam-diam kita sama-sama berharap tak ada satu
pengunjung di sekitar kita memesan menu itu. Ya, aku menunggu senyum manis mu
itu.
***
1
February 2016. Ubud, desa favorit kita. Menakluk kan Bukit Campuhan dengan
sepeda –yang bagiku sepeda off road– dan memperkosa setiap hijau nya dengan
penuh sukacita.
Lihat
sayang, alam tertawa bahagia, sesekali mereka terharu dan merintik. Melihat
bagaimana bahagianya kita, dua insan yang sedang menyeduh anggur ternikmat di
dunia!
Akankah
perasaan ini selalu seindah ini? Sementara kita sebenarnya belum benar-benar
saling mengenal satu sama lain? Apakah kau juga setuju bahwa termasuk cinta
yang sedang kita tontonkan pada alam, semuanya
yang ada di dunia ini hanyalah fatamorgana?
Kita
biarkan saja Sang Raja berpikir... Dan selama itu, kita nikmati penuh syukur
semua skenarionya.
Kita
tak boleh mengecewakan penonton sejati kita. Alam.
***
14
Februari 2016. Ah biarlah semua semua deskripsi indah dan tidak indah di hari
itu menjadi milik kita berdua. Jika ada
sebuah pelajaran yang ingin alam ajarkan padaku di hari itu, mungkin hanya
satu. Aku harus bisa mengalahkan diri ku sendiri, sebelum memilikimu.
***
Setelah
semua tulisan ini, aku telah memenuhi janji yang kuucap pada hatiku sendiri: “Seburuk-buruknya
atau sesalah-salahnya, cinta kita tidak akan pernah menjadi cerita yang tak
tertulis.”
Terimakasih
untuk 100 hari.
Dariku,
Yang
menaruh harapan pada musim semi mendatang.