Senin, 24 Februari 2014

Tuhan, sedang apakah aku ini?

Lampu kamar yang belum diganti sejak seminggu yang lalu, membuat aktivitas merenung menjadi lebih banyak dari biasanya dan dimulai lebih cepat dari biasanya.

“ Apalah yang telah aku lakukan sejauh ini? Sedang ngapain lah aku ni, Tuhan....”

Pertanyaan yang kadang juga berupa pernyataan ini menghantui hati kecilku.

Aku tak meneteskan air mata. Tapi ada perasaan yang tidak biasa memenuhi dadaku, seperti ingin menangis, tapi tidak, aku tidak meneteskan nya, sedikitpun.
Menggapai mimpikah? Membalas dendam kah? Menjemput kebebasan kah? Menutup luka kah? Atau menghitung mundur waktu yang tersisa?

Tidak ada yang paling bahagia di dunia ini selain mengetahui bahwa ada makhluk lain di luar dirimu, yang begitu mengharapkan kehadiranmu, yang begitu membutuhkanmu, yang begitu bahagia dengan senyum mu, yang begitu memujamu, yang begitu ingin menghabiskan waktunya bersamamu, dan begitu merindukanmu di saat kau tidak bersamanya.

Setelah selesai membaca kalimat di atas, maka bayangan orang-orang yang kau sayangi berterbangan di kepalamu. Kenangan-kenangan bersama mereka mengelilingi bahumu. Senyum dan tawa mereka mengiringi gerakan bola matamu.

Dia mungkin saja ibumu. Atau ayahmu. Saudara perempuan atau saudara laki-lakimu. Tante dan pamanmu. Teman mu. Kekasih mu. Dan sebagainya.

Aku memutar lagu Cupumanik – Siklus Waktu di telepon genggamku. Membiarkan setiap liriknya meraba hatiku.

Duka datang tak terbayangkan. Bagaikan mimpi. Kepergian itu sangatlah nyata, kita memang terpisah. Siklus waktu tlah mengajarkan, sang mentaripun terbit dan tenggelam. Lihatlah. Perpisahan hanyalah perpindahan kehidupan, sebenarnya dia tak sungguh hilang. Hanya terpisah dengan raga. Kepergian itu menusuk hati. Menembus jiwa. Derai air mata tak akan membuat dia bahagia di sana.

Tidak ada perasaan paling bahagia ketika kau terpuruk dalam konflik perasaanmu, tak mampu berucap banyak sekalipun berjuta kata melayang-layang di kepalamu, berusaha diam dan menenangkan diri, tapi teman-teman mu datang menghampiri, menghiburmu, dan menjadikan masalahmu sebagai sebuah lelucon, sehingga kau mampu menertawai masalah itu sendiri.

Tidak ada perasaan paling bahagia ketika kau terburu-buru ke kampus dan tetiba ayahmu menelepon mu, bertanya, “Bagaimana dengan cucian mu yang kau tinggalkan pagi ini? Apa sudah bisa kuberi pengharum atau sudah bisa dikeringkan?”

Tidak ada perasaan paling bahagia ketika kau merasa terhimpit oleh masalahmu di luar rumah, tapi malam sesampainya di rumah, adik lelakimu selalu membukakan pintu untukmu, menanyai apakah kau sudah makan atau belum, hanya untuk menghabiskan waktu bercerita tentang kisah nya di sekolah seharian ini, yang terkadang terdengar garing untukmu.

Tidak ada perasaan paling bahagia saat kau tidur bersama juniormu, setelah selesai mandi, menggantungkan handuk di belakang pintu, lalu tetiba junior yang namanya baru kau kenal 2 hari menghampirimu, tersenyum, lalu berkata dengan penuh rona, “Kak, Leni dari awal ospek, udah lihat kakak, paling suka Leni lihat kakak!”

Tidak ada perasaan paling bahagia ketika seorang sahabat lelaki yang sering kau goda di setiap canda, terduduk dalam keseriusan, lalu mencurahkan isi hatinya, “Dari dulu lia, baru ada dua orang yang Iky mau kalahkan. Bukan dalam artian apa-apa. Karena Iky ada rasa salut tersendiri aja. Kawan SMA Iky dan Lia.”

Tidak ada perasaan paling bahagia ketika suatu pagi kau terbangun dalam penatmu, mengecek telepon genggammu, lalu mendapati sms dari seorang sahabat perempuanmu, yang tidak terlalu kau acuhkan dalam kesombonganmu, “Mama....... Tulisan mama malam ini benar-benar menginspirasi, sukses buat Tiwi nangis malam ini!”

Tidak ada perasaan paling bahagia, ketika malam itu kau merasa hampa, membuka akun media sosialmu, dan membaca status seorang sahabat perempuanmu, yang selama ini tidak menjadi perhatian utamamu, “Senangnya hari ini. Apalagi sama ketawa si Cornel. Makasih Tuhan.”

Tidak ada perasaan paling bahagia, ketika salah seorang senior yang baru kau kenal beberapa bulan lalu, kemudian bisa mengenal dirimu cukup dalam. Mengatakan bagaimana ia mengagumi mu dan bisa memahami bagaimana sebenarnya kau sedang dalam masalah. Kau kemudian menitikkan air mata bukan karena pujiannya yg mendalam, tapi caranya memahami mu dalam waktu yang singkat.

Tidak ada perasaan paling bahagia, ketika kau ingin menangis tapi tak bisa, lalu ada yang membelai-belai pelan rambutmu, membiarkan suasana diam, dan tidak menambah penuh kepalamu dengan berjuta kata berjuta nasihat berjuta pendapat. Menunggu dengan sabar, hingga air mata mu menetes, lalu tersenyum dan menawarkan susu cokelat kesukaanmu.

Tidak ada perasaan paling bahagia, ketika kedua adik lelakimu berebutan memamerkan hasil gambar mereka masing-masing kepadamu, hanya untuk mengetahui bagaimana penilaianmu terhadap gambar mereka.

Tidak ada perasaan paling bahagia, ketika setiap hari membaca status-status akun sosial kakak mu yang selalu berisi semangat dalam kehidupannya.

Tidak ada perasaan paling bahagia, ketika ada yang memelukmu erat, dan berbisik pelan “Aku benar-benar merindukanmu.”

Lalu akhirnya air mataku menetes juga.
Aku takut sekali.

Kehilangan kebahagiaan yang selama ini ku pandang sebelah mata.


Tuhan.. Sedang apakah aku ini?

Senin, 03 Februari 2014

27 Januari Punya Cerita

Awal tahun yang kacau atau umur 20 tahun yang sulit?

Aku menikmati awan siang itu. Mereka tersenyum lembut, seakan mampu mendengar suara hatiku.

27 Janurari 2014 adalah hari yang tak akan terlupakan.

Hari dengan masalah, yang lagi-lagi memaksaku untuk bersikap dewasa, seperti yang semua orang inginkan.

Bertemu dan merasakan saling mencintai bersama namamu adalah sesuatu yang cukup indah bagiku untuk mengawali tahun ini. Aku akui, kau memang bukan cinta yang pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, bahkan keenam, juga bukan yang ketujuh bagiku. Tapi cinta yang aku rasakan untukmu bukanlah yang lebih buruk daripada cinta-cinta sebelumnya. Ya, aku mencintaimu.

Banyak yang ingin aku katakan. Banyak yang ingin aku teriakan.

Tapi dedaunan itu berayun-ayun, memaksaku untuk tetap tenang, memintaku untuk memaafkan namamu perlahan-lahan dalam hatiku.

Hingga detik aku menulis semua ini, aku masih belum bisa percaya semua yang telah terjadi.

Banyak kenangan berputar-putar di kepalaku. Kenangan yang sebenarnya sejak awal telah memperingatkanku bahwa aku akan mengalami sesuatu yang pahit seperti ini.

Kisah (kurang lebih) dua tahun yang lalu. Bersama dia, lelaki yang berinisial P.
Persis. Hubungan kami kandas, seminggu setelah kejadian aku tidak diijinkan melihat telepon genggamnya. Hubungan kami kandas, setelah akhirnya ketahuan bahwa ternyata dia masih memiliki hubungan dengan wanita yang katanya adalah mantan kekasihnya. Tapi waktu itu nasibku tidak terlalu mujur. Setelah aku memilih meninggalkannya, dia pun kembali kepada wanita itu, hingga kini. Tak bisa kujelaskan bagaimana sedihnya aku waktu itu. Sekian kali putus cinta, ntah mengapa hanya dia yang mampu membuatku benar-benar menangis, saat memutuskan untuk meninggalkannya. Cerita lebih lengkap bisa kau baca di sini :

Setelah waktu berlalu dan aku mengerti bahwa dia bukan lelaki yang cukup baik untukku, kini aku merasa beruntung, beruntung telah memilih meninggalkannya.

Lalu aku kembali mengingat namamu. Bukankah persis? Hubungan kita pun menjadi tidak jelas, seminggu setelah aku tak kau ijinkan melihat telepon genggammu. Perasaan buruk benar-benar menghantui ku sejak senja itu. Aku masih ingat bagaimana kau menggunakan sekuat tenagamu untuk menarik telepon mu dari genggamanku.

Tak perlu kujelaskan secara rinci, apa saja yang telah aku pertanyakan, dan apa saja yang telah aku sampaikan kepadamu. Sejak aku mulai menyadari aku mencintaimu, aku telah mempersiapkan keikhlasan, dan sejak saat itu, aku pun mempertebal rasa ikhlas itu, bersiap-siap.

Ya, akhirnya terjadi juga cerita yang sama. Kau pun ternyata masih menjalin rasa dengan wanita yang kau katakan telah menjadi mantanmu. Aku hanya bisa tertawa pahit bersama pepohonan di medan bapaneh itu. Angin semilir membelai rambutku. Mereka berusaha meredakan panas dalam dadaku yang hingga kini belum mampu kukeluarkan.

Tak ku sangka, kau mampu melakukannya.

Dari sekian banyak ucapanmu, bisakah kita menghitung pernyataan yang bukan kebohongan?
Dari sekian mimpi yang kau rencanakan bersamaku, mimpi mana yang benar-benar bisa aku harapkan terjadi?
Dari sekian janji yang kau titipkan pada hatiku, masih adakah yang bisa aku tagih di hari-hari selanjutnya?
Hahaha.

Aku terlalu dini untuk rasa sakit ini.

Kepalaku pun berputar ke kisah satu tahun yang lalu.

Tentang kakak kandung ku yang dikecewakan kekasihnya di perantauan, kota pelajar, Jogjakarta.  Bukankah persis sama? Aku telah menceritakannya bukan? Bagaimana keluargaku telah begitu mempercayai mereka untuk tinggal bersama sepupu lainnya di bawah atap yang sama?

Aku masih mengingat jelas, bagaimana aku tidak bisa membantu kakak ku melewati masa sulitnya saat itu. Air mataku menggantung. Bagaimana bisa aku menyakiti wanita lain dengan cara yang sama, setelah aku tidak bisa membantu kakak ku melalui hari yang sulit itu?

Melihat air mata yang mengalir dari mata kekasih simpananmu pagi dan sore itu, aku merasa sakit yang luar biasa, yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Tidak hanya satu rasa sakit yang ku emban dalam dadaku. Aku merasakan sakit kekasihmu, aku juga kembali merasakan sakit kakakku, aku merasakan sakitnya aku yang tidak bisa membantu mereka berdua, dan berikut rasa sakitku sendiri karna semua kebohonganmu. Sakit. Luar biasa. Bug, berdebar kerasa jantungku.

Tak ada yang bisa aku lakukan. Aku tak tahu bagaimana. Mataku panas, tapi dia enggan menangis. Dadaku sesak, tapi bibirku bergetar setiap ingin bicara. Kepalaku berat dan penuh, tapi tak satupun menghasilkan keputusan. Jemariku ngilu, tapi tak bisa bergerak.

Kupu-kupu berterbangan indah di depanku, pindah dari bunga satu ke bunga lainnya. Mengelilingi tetumbuhan kecil di bawah pohon-pohon besar itu. Mereka melantunkan lagu yang benar-benar menyayat hatiku, tapi ntah mengapa bisa menyisipkan rasa bahagia dalam hatiku. Aku tak mampu bergeming, menikmati mereka menari dan bernyanyi.

“Aku ingin bersamamu.” desis hatiku. Kemudian tetiba kau hadir dan meminta ijin untuk duduk di sampingku. Walaupun hanya sebentar, aku hargai waktu yang kau beri padaku, menemaniku menikmati alam sore itu, dalam diam. Ya, setidaknya kita bersama-sama.

Senja tiba, dan kuteguk sebotol susu cokelat. Perutku panas tapi dia tidak lapar. Ntah kemana nafsu makan ku dibawa terbang. Ini kali pertama, seumur hidupku, aku mampu mengacuhkan perutku hingga 3 hari.

“ Romeo, take me somewhere we can be alone. I’ll be waiting, all thats left to do is run. You’ll be the prince and I’ll be the princess. Its a love story, baby just say yes! Romeo, save me, they try to tell me how to feel. This love is difficult, but its real. Dont be afraid, we’ll make it up of this mess. Its a love story, baby just say yes! ”

Parah. Aku benar-benar merasa cukup tua setelah kejadian ini.


Ya, kau menghadirkan bahagia dan sakit secara bersamaan. 
Terimakasih.