Rabu, 01 Oktober 2014

Setelah 3 Musim Itu...

Malam ini aku masih menangis. Padahal sudah 3 musim berlalu.
Sejak bertemu denganmu, aku mengoleksi film bergenre sedih lebih banyak dari biasanya. Karena aku membutuhkan alasan untuk menangis, menangis sendirian.

Dalam ruang kecil yang katanya ada di setiap hati manusia, aku masih menyimpan semua luka. Walaupun telah lebih banyak bahagia dan gelak yang kita seduh bersama.

Ya, hingga saat ini, belum ada kata maaf yang kau ucap secara langsung. Belum ada pelukan hangat yang kau balut untuk mencairkan luka yang kusimpan sendiri. Belum ada penjelasan yang kuterima sebagai seorang yang tidak sempurna. Belum ada airmata yang menetes.

Bagaimana bisa? Aku masih ingat bagaimana semua orang berpendapat sama, bahwa mereka sangat mengasihani dirinya. Bagaimana semua orang memojokkan ku, mengatakan aku jahat, tidak berperasaan, dan penganggu hubungan orang. Dan aku pun tak tahu mengapa bibirku dengan mudah berbohong dan merangkai cerita bahwa aku tidak pernah mencintaimu pada awalnya. Menjadi satu2nya orang yang lebih dulu serius terhadap hubungan kita adalah kenyataan pahit yang hanya kuteguk di pangkal lidah.

Bagaimana bisa, kau katakan bahwa panggilan cinta itu tak bermakna dan karna aku memperlakukan lelaki lain dengan cara yang sama. Padahal aku selalu membanggakan panggilan itu kepada dunia, dan bagaimana aku begitu serius menaggapinya.

Bagaimana bisa, aku telah mengakui kita jadian dan kau mengatakan belum ada hubungan terikat di antara kita.

Bagaimana bisa aku membiarkan semua orang tahu?

Bagaimana bisa? Dia merendahkanku bahkan melalui matanya yang tak bisa bicara. Bagaimana bisa? Kau memilih untuk menenangkan dirimu dan tak berusaha mendelikkan telingamu ke hatiku.

Aku lah si pengarang. Yang paling hebat merangkai kata. Memutar semua cerita secepat kau meninggalkan ku duduk di medan itu. Saat angin sore menyapa ujung rambutku.

Mataku bengkak dan tak ada yang mengelus punggungku, tak ada yang mengatakan aku harus berhenti bersedih. Bagaimana bisa? Aku telah lebih dulu mengatakan bahwa sesungguhnya aku tak mencintaimu sejak awal.

Hatiku sedih dan ingin memelukmu, sebagaimana dia bercerita kau membelainya, memeluknya, dan menunggunya, bahkan hingga kau tak tidur, untuk menunggu dia berhenti menangis di rumah yang telah kalian tinggali bersama itu. Tapi bagaimana bisa? Waktu untuk menatap mataku saja tak kau ikhlaskan.

Setiap malam, aku selalu membodohi diriku sendiri, membiarkan jantungku berdetak kencang menggetarkan luka dan mencairkan pedihnya, mengeluarkannya dalam hening melalui mata dan hembusan napas. Dlam hening, menunggu semua tertidur pulas terlebih dahulu.

Aku berusaha sejauh ini untuk menghapus lukaku sendiri. Memaksa diriku menyapamu duluan, memaafkanmu terlebih dahulu, melupakan semua cerita begitu saja, dan segera merangkai kisah bahagia yang aku rencanakan.

Bermanja denganmu di depan mereka semua, hanya untuk meyakinkan hatiku sendiri bahwa kau memang milkku. Bagaimana tidak? Kau tidak melakukannya.
Mengabadikan momen setiap kita bersama, agar semua orang tahu kau milikku. Bagaimana tidak? Kau tidak melakukannya.

Aku berusaha keras hanya untuk memberi tahu semua orang bahwa kita sudah bahagia dan melupakan masa lalu. Bagaimana tidak? Kau tidak melakukannya.

Tapi pada akhirnya adalah, aku tetap semakin merasa bodoh dan tetap harus menjadi satu2nya yang menangis diam2 di jantung malam.

Sering aku bertanya sebenarnya seperti apa dirimu sesungguhnya? Sebenarnya seperti apa aku ada di hatimu? Karena kau hanya diam dan tak pernah banyak berbuat dan menjelaakan.

Akhirnya aku hanya menemukanmu, sosok yang selalu mengikuti cerita yang ku rangkai, yang selalu menuruti permintaanku, yang mengabulkan apapun mauku. Sosok yang selalu ingin melihatku bahagia. Bukan karna kau bahagia melihatku bahagia, tapi karna kau tidak pernah sanggup bertanggungjawab untuk airmataku.

Tak tahukah kau bagaimana pedihnya setiap saat aku harus melihat punggungmu? Aku yang harus bergulat sendiri dengan semua pikiranku sendiri. Bagaimana takutnya aku jika kau jauh dariku? Bukan karna aku takut kau melirik wanita lain lagi. Aku hanya takut melihat punggungmu.

Karna hanya di belakangmu, airmata yang belum bisa kau pertanggungjawabkan ini akan menetes. Karna haya di depanmu, aku bisa bahagia, dan melupakan semua cerita. Terlepas dari itu sebuah kepura2anku atau tidak.

Sayang, jangan menjauh dan pergi terlalu lama. Aku tak suka menangis. Dan jika aku harus menangis, mengapa tak bisa kau tunggui aku sebentar saja? Seperti yang kau lakukan hingga subuh terhadap dirinya?

Aku merasa ketidakadilan selalu mengikutiku.
Mengapa?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro