Ini akan menjadi hal yang tidak
terlupakan oleh saya.
Bagi beberapa orang yang lahir dan
hidup dengan kondisi yang lebih beruntung daripada saya, mungkin pengalaman yang
akan saya ceritakan ini tidak terlalu banyak memberikan arti. Tapi jika Anda
punya waktu luang sekitar 15 menit ke depan, bacalah. Saya berharap bisa
memotivasi semua pembaca.
Sekalipun tidak ada niat menjelek2an
pihak tertentu agar menonjolkan atau mempromosikan pihak tertentu lain dalam
tulisan ini. Adapun yang saya tuliskan semuanya adalah fakta yang bisa
dipertanggungjawabkan.
Saya berharap agar pembaca mengambil
hikmah dari segi positif atas cerita saya ini. Saya sendiri juga tidak berniat
pamer atau sombong akan kejadian-kejadian yang akan saya ceritakan setelah ini.
Saya hanya menuliskan apa yang terjadi, agar bisa menjadi motivasi bagi semua
pembaca yang mungkin mengalami kesedihan akibat kegagalan dalam hidup Anda.
Lagipula saya tidak bisa merasakan kebahagiaan2 dalam hidup ini sendirian saja.
^_^
Mengikhlaskan PTN yang telah menerima
saya melalui ujian SNMPTN adalah pekerjaan yang tidak ringan. Apalagi bagi
pelajar baru lulus SMA yang secara psikologis sangat labil. Ketidaktenangan
batin saya memuncak saat itu. Nama Tuhan pun saya cerca karena menganggap ada
ketidakadilan yang telah Ia tuliskan pada masa depan saya.
Semua orang pasti bercita-cita ingin
melanjutkan pendidikan ke PTN daripada ke PTS. Bagaimana tidak? Dengan biaya
lebih murah, fasilitas yang juga lebih memadai dan lulusannya lebih dianggap
ketika melamar pekerjaan. Mungkin hanya beberapa orang (biasanya orang dengan
tingkat ekonomi lebih tinggi) yang sejak dini sudah memilih PTS. Banyak hal
yang bisa menyebabkannya, mulai dari ketakutan pribadi, keinginan orangtua,
untuk prestise tertentu, atau karena memang PTS tersebut lebih berkualitas
dibanding di PTN, dan sebagainya.
Begitu juga dengan saya. Walaupun
menyandang peringkat 1 ujian nasional SMA hanya untuk ruang lingkup kelas saya
sendiri (yang berjumlah 30 orang), saya merasa cukup bangga dan merasa diri
pantas untuk menginjakkan kaki di PTN. Saya pun belajar sedikit lebih giat,
bekerja sedikit lebih keras, karena orangtua saya tidak mengijinkan saya untuk
mengikuti bimbel (bimbingan belajar) di mana pun.
Singkat cerita, saya memutuskan
Univ.Gajah Mada dengan jurusan Hubungan Internasional untuk pilihan pertama dan
Univ.Padjajaran dengan jurusan Sastra Jepang untuk pilihan kedua. Dan malam di
mana papa baru keluar dari rumah sakit itu, pengumuman kelulusan melalui dunia
maya itu menyatakan bahwa saya lulus di pilihan kedua.
Tapi kenyataan tidak berpihak pada
keinginan saya. Dengan alasan "tidak ada biaya yang cukup", orangtua dan kedua kakak saya tidak mengizinkan saya melangkahkan kaki saya ke universitas di kota Bandung itu. Saya dengan penuh dilema, gejolak, dan kejadian menyedihkan, akhirnya memutuskan untuk melanjutkan
pendidikan di Univ. Bung Hatta, salah satu PTS di kota Padang, masih dengan
jurusan yang sama (Sastra Jepang). Keputusan inipun saya ambil tidak lebih
karena promosi menggiurkan, hitungan 2 menit, oleh guru SMA saya yang juga
dosen di jurusan tersebut. Terbersit keinginan untuk ke Jepang, walaupun saya
bukanlah maniak komik (manga), film Jepang, ataupun artis2 mereka. Bagaimana
karakteristik pribadi Jepang yang luar biasa lah yang membuat saya ingin ke
sana.
Saya tidak menjelek-jelekkan kota
yang sudah membesarkan saya selama 17 tahun ini. Tapi Padang adalah kota yang tidak mudah (bagi kami yang beragama non muslim) untuk berkembang, dan saya
adalah Katolik. Sebelumnya janganlah berpikiran picik ataupun negatif terlebih dahulu. Saya berbicara mengenai fakta. Banyak cerita dari senior-senior saya tentang bagaimana dan apa
yang terjadi pada kami yang minoritas secara agama di perguruan tinggi di sini.
Misalnya, tetap ada jadwal kuliah atau ujian di hari raya kami, diskriminasi
nilai atau sikap, menjelek2an hari raya tertentu dengan spanduk2 bahkan poster2
di kampus, pemaksaan penggunaan hijab (jilbab) bagi perempuan, isu kristenisasi
yang (dulu) sempat memicu kekerasan pada mahasiswa kristen dan sebagainya. Dan
semua kejadian yang saya sebutkan di atas masih terjadi hingga sekarang.
Tapi semua yang saya sebutkan di
atas, tidak terjadi di universitas saya ini. Itulah hal pertama yang selalu
menjadi kebanggan tersendiri bagi saya. Ketakutan pribadi saya lenyap oleh
senyum-senyum ramah para pengajar, teman-teman, dan senior-senior saya. Walaupun saya tidak pernah memaksanya, tanpa saya sangka ada beberapa dosen yang menyalami saya ketika hari raya saya tiba di tahun pertama saya di sebuah warung di kampus saya (di depan umum).
Beberapa teman saya yang kuliah di PTN/PTS lain bahkan mengatakan :
"Wah, berani sekali kamu memakai kalung salib ke kampus?"
" Enak ya di Bung Hatta sudah plural. Dosen saja mau nanyain kamu sudah buat kue atau tidak."
Lingkungan kampus saya memang bukanlah lingkungan yang penuh keberagaman agama, seperti PTS lainnya di pulau Jawa yang mayoritas dihuni masyarakat Tionghoa dan Katolik. Di kampus saya, katolik masih menjadi agama minoritas hingga sekarang, tapi itu tidak menjadi alasan bagi masyarakatnya untuk mengucilkan keberadaan saya. Kenyataan ini membuat saya tidak memiliki halangan apapun untuk maju. Itu membuat semangat melanjutkan studi di univ ini menjadi lebih tinggi. Beberapa orang hanya menjadikan PTS sebagai tempat persinggahan hingga tahun depan kembali mencoba mengikuti ujian SNMPTN lagi. Istilahnya “daripada tidak kuliah tahun ini”. Tapi saya tidak. Bagaimanapun orangtua, teman-teman mencomooh keberadaan saya di PTS, saya tidak peduli. Itu hanyalah lecutan untuk saya agar menjadi lebih giat daripada mereka.
Beberapa teman saya yang kuliah di PTN/PTS lain bahkan mengatakan :
"Wah, berani sekali kamu memakai kalung salib ke kampus?"
" Enak ya di Bung Hatta sudah plural. Dosen saja mau nanyain kamu sudah buat kue atau tidak."
Lingkungan kampus saya memang bukanlah lingkungan yang penuh keberagaman agama, seperti PTS lainnya di pulau Jawa yang mayoritas dihuni masyarakat Tionghoa dan Katolik. Di kampus saya, katolik masih menjadi agama minoritas hingga sekarang, tapi itu tidak menjadi alasan bagi masyarakatnya untuk mengucilkan keberadaan saya. Kenyataan ini membuat saya tidak memiliki halangan apapun untuk maju. Itu membuat semangat melanjutkan studi di univ ini menjadi lebih tinggi. Beberapa orang hanya menjadikan PTS sebagai tempat persinggahan hingga tahun depan kembali mencoba mengikuti ujian SNMPTN lagi. Istilahnya “daripada tidak kuliah tahun ini”. Tapi saya tidak. Bagaimanapun orangtua, teman-teman mencomooh keberadaan saya di PTS, saya tidak peduli. Itu hanyalah lecutan untuk saya agar menjadi lebih giat daripada mereka.
Satu-satu prestasi saya ukir. Saya
sendiri tidak ingat darimana saya mulai menjadi populer dan mulai
diperhitungkan oleh para pengajar dan teman-teman. Tapi prestasi yang pertama
yang saya ingat adalah pada tahun pertama saya, saya mendapatkan juara 2 lomba
mendongeng bahasa Inggris seprovinsi yang diselenggarakan oleh senior-senior
saya di jurusan Sastra Inggris. Sebelumnya saya tidak tahu bahwa kemampuan bahasa
Inggris adalah nilai lebih bagi mahasiswa Sastra Jepang. Ternyata kemampuan
tersebut adalah hal yang jarang diminati bagi beberapa dari kami. Sehingga kemampuan
bahasa Inggris saya yang sebenarnya tidak seberapapun seketika menjadi sorotan beberapa
pihak.
Berikutnya pada tahun pertama juga,
saya lulus ujian Noryokushiken (sejenis TOEFL, tapi dengan bahasa Jepang) dengan
level 5. Level itu adalah level terendah pada ujian tersebut. Hanya saya
mahasiswa tahun satu yang mengikuti ujian tersebut, selebihnya adalah mahasiswa
tahun dua. Tahun berikutnya saya menjadi yang satu-satunya lulus ujian level 4
di univ saya ketika sebagian besar teman-teman seangkatan saya mengikutinya.
Tahun kedua, saya meraih juara 1
untuk Lomba Pidato Bahasa Jepang se-Sumatera bagian tengah, mengalahkan 3 PTN
dari Padang, Riau, Lampung, serta PTS dan lembaga kursus lainnya. Prestasi itu
mengirim saya untuk mengikuti lomba yang sama di Jakarta untuk tingkat nasional
dan jika meraih juara 1 akan dikirim ke Jepang. Tapi ternyata saya harus
belajar untuk kalah, agar mau belajar lebih rajin lagi. Biasanya yang mengikuti
lomba tersebut adalah mahasiswa yang sudah mengambil mata kuliah Benron/Pidato
(tersedia pada tahun 3), bukan saya yang masih terbilang baru untuk hal
tersebut.
Kemudian tahun ketiga semester 1 saya
kembali mengikuti ujian Noryokushiken dengan level lebih tinggi yaitu level 3.
Walaupun semua sudah yakin saya akan lulus-lulus saja, ternyata saya tidak
lulus. Lagi-lagi saya diberi waktu untuk belajar lebih giat lagi. Semoga saja
saya lulus akhir tahun nanti ya.
Pada semester 2 nya dengan sangat
tidak pantas, saya mendapatkan juara 1 untuk Mahasiswa Berprestasi se-Universitas
(mahasiswa teladan). Mengapa tidak pantas? Karena memang karya tulis yang saya
kumpulkan sebenarnya bukanlah karya tulis yang terbagus. Tapi dengan faktor X yang
masih menjadi misteri Ilahi, saya pun menyandang gelar itu untuk tahun 2013 ini
(saya rasa mungkin karena kemampuan presentasi dan b.Inggris saya). Dengan
hormatnya nama saya dipanggil dan disalam oleh Rektor di depan para petinggi
kampus, dosen dan senior2 serta teman2 pada acara Dies Natalies ke 32
universitas saya. Saya mendapatkan uang tunai sebesar 1 juta rupiah untuk
prestasi itu, yang kemudian ¾ nya saya gunakan untuk membayar biaya KKN (kuliah
kerja nyata) saya, yang akan diadakan tahun ini di saat bulan puasa nanti. Peringkat
itu mengirim saya ke tingkat Kopertis (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta)
Wilayah X, berkompetisi dengan PTS asal Sumbar, Batam, Riau, dan Jambi. Sayang
sekali, saya lagi-lagi kalah dan masih harus banyak belajar lagi.
Pada tahun ini juga saya mengikuti
ujian beasiswa untuk melanjutkan studi ke Jepang di Sonoda Women University.
Beasiswa ini merupakan kerjasama pihak jurusan saya yang sudah berlangsung
selama 9 tahun. Setiap tahun, setiap mahasiswi (cewek saja) dengan tahun
angkatan yang masih available, memiliki
kesempatan untuk mendapatkannya. Hanya saja bukan merupakan beasiswa full,
karena untuk tiket awal dan kehidupan selama sebulan pertama kita harus
menggunakan biaya pribadi, yang ditotal sekitar 20 juta rupiah. Itu menjadi
beban tersendiri bagi saya karena orangtua saya tidak menyanggupinya jika saya
lulus. Orangtua saya sendiri dengan berat hati menandatangani surat perjanjian
terkait hal tersebut. Tahun ini kesempatan pertama saya, saya mengikutinya.
Cukup banyak yang sudah yakin saya akan mendapatkannya. Tapi tidak. Saya tidak
lulus bahkan di ujian pertama.
Di tahun yang sama, atas paksaan
dosen2, saya mengikuti kembali lomba pidato bahasa Jepang yang sudah saya juarai tahun kemarin. Dosen-dosen berharap kali ini saya bisa menang lagi sehingga
memenangkannya juga di tingkat nasional nantinya, lalu pergi ke Jepang
menjemput impian saya. Tapi bukan seperti itu jalan yang sudah dituliskan untuk
saya. Saya bahkan hanya mendapat peringkat harapan 1 tahun ini, dan saya
dikalahkan oleh peserta dari Lampung yang merupakan peserta yang sama yang
sudah saya kalahkan pada lomba sebelumnya. Sebenarnya jauh dalam lubuk hati
saya, saya merasa malu, merasa prestasi saya menurun. Tapi beberapa dosen tetap
mendukung saya bahkan menyuruh saya lagi untuk kembali ikut tahun depan. Karena
kebetulan memang banyak kesibukan dan tanggungjawab yang saya emban pada waktu
yang sama, sehingga saya tidak memberi fokus terlalu banyak untuk lomba tersebut.
Tidak lama setelah itu, adalah
sekarang.
Ketika saya menghirup udara dengan
jantung yang bergetar lebih kuat daripada biasanya.
Saya mendapat beasiswa dari program
JENESYS 2.0 (Japan – East Asia Network of Exchange for Students and Youths 2.0)
untuk mengikuti kegiatan semacam study tour selama seminggu ke Jepang dengan
segala biaya (transpor, akomodasi, logistik) full ditanggung oleh pihak
penyelenggara (kecuali biaya pribadi seperti jajan dan oleh2). Beasiswa ini
saya dapatkan setelah memenuhi beberapa persyaratan, seperti essay berbahasa
Inggris dengan tema “Hubungan Indonesia-Jepang”, sertifikat Toefl minimal 480,
dan administrasi lainnya. Beasiswa ini adalah kerjasama kementerian luar negeri
dengan Japan International Coorperation Center (JICE).
Ini tidak pernah menjadi rencana saya.
Info terkait program JENESYS 2.0 sendiri baru saya ketahui tahun ini. Sungguh
berkah Yang Maha Kuasa. Dukungan pihak dosen dan teman-teman juga tidak bisa
saya lupakan dalam hal ini.
Sejak tahun lalu, saat saya kalah di
lomba pidato di Jakarta, saya sudah menuliskan “Tahun 2013 harus di Jepang” di
kalender saya (yang masih terpampang hingga sekarang). Harapan saya saat
menulis itu adalah melalui beasiswa Sonoda. Harapan itu saya bawa dalam doa
setiap Minggu setiap ke Gereja. Karena saya tidak lulus ujian beasiswa Sonoda,
sempat terpikir Tuhan tidak mengabulkan doa saya, tapi saya keliru. Tuhan tetap
mengabulkan doa saya, hanya dengan jalur yang berbeda, dan menurut saya jauh
lebih menguntungkan.
Belum selesai urusan saya sampai di
sana. Untuk urusan pribadi seperti pasport, jelas merupakan biaya pribadi.
Karena tidak diberi waktu lama untuk membuatnya, dosen menyarankan saya untuk
mengambil jalan ilegal, dengan membayar lebih, sejumlah 900rb rupiah. Awalnya
saya bingung akan mendapatkan uang darimana, tapi Tuhan telah menitipkan sahabat
dan dosen yang ternyata memberi saya pinjaman uang.
Tulisan ini saya tuliskan H-4 sebelum
keberangkatan saya ke Jepang. Saya benar-benar terharu atas banyak kejadian
dalam hidup saya. Setelah saya melihat tiket yang dikirim melalui email di kos
seorang sahabat saya tadi sore, jantung saya bergetar sangat hebat. Ada yang
ingin saya peluk saat ini sebenarnya, orangtua saya. Tapi karena tidak
kesampaian, saya pun memeluk sahabat saya saja, karena saya tidak mampu menahan
getaran ini sendirian saja.
Rejeki saya belum selesai sampai di situ. Ada pertanyaan manusiawi yang muncul dari hati kecil saya, "Apakah saya akan ke Jepang dengan tangan kosong? Sampai hari ini orangtua saya tidak memberi tanda-tanda akan memberikan apa-apa."
Tapi saya jalani saja dulu semuanya dengan doa yang ikhlas dan semangat yang tak pernah padam. Hingga suatu hari saya mendapatkan rejeki 1 juta rupiah dari dosen saya, ketua jurusan saya. Awalnya saya tidak berniat menuliskan ini semua. Tapi tanpa beliau, saya jelas akan dengan tangan kosong ke Jepang. Setidaknya dengan uang beliau, saya bisa membelikan oleh2 untuk para dosen dan teman2 yang telah sangat banyak membantu saya.
Rejeki saya belum selesai sampai di situ. Ada pertanyaan manusiawi yang muncul dari hati kecil saya, "Apakah saya akan ke Jepang dengan tangan kosong? Sampai hari ini orangtua saya tidak memberi tanda-tanda akan memberikan apa-apa."
Tapi saya jalani saja dulu semuanya dengan doa yang ikhlas dan semangat yang tak pernah padam. Hingga suatu hari saya mendapatkan rejeki 1 juta rupiah dari dosen saya, ketua jurusan saya. Awalnya saya tidak berniat menuliskan ini semua. Tapi tanpa beliau, saya jelas akan dengan tangan kosong ke Jepang. Setidaknya dengan uang beliau, saya bisa membelikan oleh2 untuk para dosen dan teman2 yang telah sangat banyak membantu saya.
Setelah membaca runtutan ini saya
yakin, banyak yang berargumen bahwa saya adalah si kutu buku, si pembelajar
yang baik, dan tidak mengenal lingkungan sosial dengan baik. Itu salah. Saya
mengikuti organisasi di dalam dan luar kampus saya. Organisasi pertama yang
saya ikuti adalah PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia).
PMKRI adalah organisasi nasional dengan lebih dari 50 cabang se-Indonesia. Dari
namanya yang menyandang kata Katolik, mungkin Anda beranggapan itu adalah
organisasi keagamaan. Tapi bukan seperti itu, organisasi ini berlaku untuk agama
atau suku apa saja, asal menerima ajaran Katolik tetapi tanpa memaksa mereka
untuk menjadi Katolik. Organisasi ini berisi mahasiswa yang berjuang membela
rakyat miskin atau marginal, dalam rangka mencintai Gereja dan Tanah Air. Saya
sempat menjabat sebagai biro Presidium Pendidikan dan Kaderisasi di cabang
Padang.
Kemudian saya masuk ke UKM (unit
kegiatan mahasiswa) DIORAMA (radio suara mahasiswa), yang merupakan organisasi
tingkat universitas yang bergerak di bidang radio. Saya menjabat sebagai
sekretaris hingga sekarang. Sebelumnya saya juga ikut dalam organisasi tingkat
jurusan yaitu HIMA (Himpunan Mahasiswa Asia Timur) sebagai anggota divisi
Humas. Dan sekarang saya menjabat sebagai wakil gubernur untuk Badan Eksekutif
Masyarakat Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya. Jadi jangan khawatir dengan
kemampuan bersosialisasi saya.
Hanya saja, dengan kegiatan yang banyak,
memang membuat saya tidak menghabiskan banyak waktu di rumah. Saya rasa di
sinilah nilai minus saya. Kedua orangtua saya SERING SEKALI memarahi saya,
hampir setiap hari. Banyak pekerjaan rumah tangga yang terbengkalai sehingga
papa menjadi terbebani, karena mama saya bekerja di luar kota, di Pekanbaru, dan
hanya balik sekali seminggu ke rumah. Bagi mereka, segala prestasi yang saya
dapatkan menjadi tidak begitu berarti ketika saya tidak berhasil
bertanggungjawab akan kewajiban saya sebagai perempuan di rumah saya.
Seperti hari ini, walaupun saya akan
menikmati perjalanan pertama saya ke luar negeri, situasi di rumah saya tidak
seperti yang Anda bayangkan. Atmosfer yang biasa saja. Saya bisa memaklumi hal
tersebut. Saya mengerti kekecewaan mereka. Saya menerima dengan lapang dada
semua kemarahan mereka, ketidaksenangan mereka akan kehadiran saya. Terlebih
lagi dengan saya yang membutuhkan biaya kuliah jauh lebih besar dibandingkan
kakak2 saya sebelumnya, saya rasa saya pantas dikatakan sudah sangat merepotkan
mereka. Untuk hal yang satu ini saya mengungkapkan beribu maaf dalam tulisan
ini. Semoga suatu saat orangtua saya mengerti akan pilihan-pilihan saya, karena
saya akan bertanggungjawab akan itu. Saya tidak mengharapkan banyak hal dari orangtua saya, selain doa yang mereka panjatkan setiap menyebut nama Tuhan.
Begitulah sekiranya cerita singkat
saya selama berkuliah di Universitas Bung Hatta. Walaupun awalnya berat, tapi
sekarang saya benar-benar bersyukur, beruntung, dan bangga kuliah di sini. Saya
merasakan rahmat Tuhan yang luar biasa dalam kegagalan dan keberhasilan saya
saat proses perkuliahan. Karena saya belum tentu mendapat prestasi yang sama,
kebahagiaan yang setara jika saya memaksakan diri untuk kuliah di PTN.
Terimakasih telah membaca. Jika setelah membaca tulisan ini Anda tidak menghabiskan waktu 15 menit, maka gunakanlah sisanya untuk merenungkan mimpi Anda, yang bisa mulai dikerjakan SEKARANG.
Semoga inspiratif dan mampu
memotivasi yang belum termotivasi.
Salam.
weis asik. selamat yak. titip salam buat cewek2 di jepang wwkkwkwkw
BalasHapusmakasiii massss :D tapi tetap aja ya ujung2nya moduus :P
Hapusbagus sekali...ceritanya...
BalasHapusoh ya selamat ya...dapat hadiah belajar di jepang..
Makasii bang izon :) mohon doa nya ya mas :)
Hapusterharu bacanya,,,tetap semangaaaaat ya,,,
BalasHapussemoga keberuntungan selalu mengikuti...amiiin
Iya kamu juga tetap semangat yaaa :') Semua punya keberuntungannya masing2.. Trimakasih atas doanya :)
HapusInspiring everyone who read it.
BalasHapusSatu hal yg sering muncul dalam keadaan seperti ini, di tengah kesibukan dan prestasi yg sedang kita jalani dan nikmati adalah kata "sombong" yang akan selalu terdengar dari cibiran orang lain bahkan teman sendiri. Namun jgan pernah anggap itu sebagai rem perjalanan Kakak, namun sebagai bahan refleksi. Karena mereka yg berkata demikian adalah org yg tidak mengerti kita sedang melakukan apa.
Tetaplah bersinar sampai waktunya harus meredup.
okeee edo :) senang bisa menginspirasi pembaca :')
Hapusiya ingatin aja aku, kalau aku udah sombong yaa :)