Lampu
kamar yang belum diganti sejak seminggu yang lalu, membuat aktivitas merenung
menjadi lebih banyak dari biasanya dan dimulai lebih cepat dari biasanya.
“
Apalah yang telah aku lakukan sejauh ini? Sedang ngapain lah aku ni, Tuhan....”
Pertanyaan
yang kadang juga berupa pernyataan ini menghantui hati kecilku.
Aku
tak meneteskan air mata. Tapi ada perasaan yang tidak biasa memenuhi dadaku,
seperti ingin menangis, tapi tidak, aku tidak meneteskan nya, sedikitpun.
Menggapai
mimpikah? Membalas dendam kah? Menjemput kebebasan kah? Menutup luka kah? Atau menghitung mundur waktu yang tersisa?
Tidak
ada yang paling bahagia di dunia ini selain mengetahui bahwa ada makhluk lain
di luar dirimu, yang begitu mengharapkan kehadiranmu, yang begitu
membutuhkanmu, yang begitu bahagia dengan senyum mu, yang begitu memujamu, yang
begitu ingin menghabiskan waktunya bersamamu, dan begitu merindukanmu di saat
kau tidak bersamanya.
Setelah
selesai membaca kalimat di atas, maka bayangan orang-orang yang kau sayangi
berterbangan di kepalamu. Kenangan-kenangan bersama mereka mengelilingi bahumu.
Senyum dan tawa mereka mengiringi gerakan bola matamu.
Dia
mungkin saja ibumu. Atau ayahmu. Saudara perempuan atau saudara laki-lakimu.
Tante dan pamanmu. Teman mu. Kekasih mu. Dan sebagainya.
Aku
memutar lagu Cupumanik – Siklus Waktu di telepon genggamku. Membiarkan setiap
liriknya meraba hatiku.
Duka datang tak terbayangkan. Bagaikan
mimpi. Kepergian itu sangatlah nyata, kita memang terpisah. Siklus waktu tlah
mengajarkan, sang mentaripun terbit dan tenggelam. Lihatlah. Perpisahan
hanyalah perpindahan kehidupan, sebenarnya dia tak sungguh hilang. Hanya
terpisah dengan raga. Kepergian itu menusuk hati. Menembus jiwa. Derai air mata
tak akan membuat dia bahagia di sana.
Tidak
ada perasaan paling bahagia ketika kau terpuruk dalam konflik perasaanmu, tak
mampu berucap banyak sekalipun berjuta kata melayang-layang di kepalamu,
berusaha diam dan menenangkan diri, tapi teman-teman mu datang menghampiri,
menghiburmu, dan menjadikan masalahmu sebagai sebuah lelucon, sehingga kau
mampu menertawai masalah itu sendiri.
Tidak
ada perasaan paling bahagia ketika kau terburu-buru ke kampus dan tetiba ayahmu
menelepon mu, bertanya, “Bagaimana dengan cucian mu yang kau tinggalkan pagi
ini? Apa sudah bisa kuberi pengharum atau sudah bisa dikeringkan?”
Tidak
ada perasaan paling bahagia ketika kau merasa terhimpit oleh masalahmu di luar
rumah, tapi malam sesampainya di rumah, adik lelakimu selalu membukakan pintu
untukmu, menanyai apakah kau sudah makan atau belum, hanya untuk menghabiskan
waktu bercerita tentang kisah nya di sekolah seharian ini, yang terkadang
terdengar garing untukmu.
Tidak
ada perasaan paling bahagia saat kau tidur bersama juniormu, setelah selesai
mandi, menggantungkan handuk di belakang pintu, lalu tetiba junior yang namanya
baru kau kenal 2 hari menghampirimu, tersenyum, lalu berkata dengan penuh rona,
“Kak, Leni dari awal ospek, udah lihat kakak, paling suka Leni lihat kakak!”
Tidak
ada perasaan paling bahagia ketika seorang sahabat lelaki yang sering kau goda
di setiap canda, terduduk dalam keseriusan, lalu mencurahkan isi hatinya, “Dari
dulu lia, baru ada dua orang yang Iky mau kalahkan. Bukan dalam artian apa-apa.
Karena Iky ada rasa salut tersendiri aja. Kawan SMA Iky dan Lia.”
Tidak
ada perasaan paling bahagia ketika suatu pagi kau terbangun dalam penatmu,
mengecek telepon genggammu, lalu mendapati sms dari seorang sahabat
perempuanmu, yang tidak terlalu kau acuhkan dalam kesombonganmu, “Mama.......
Tulisan mama malam ini benar-benar menginspirasi, sukses buat Tiwi nangis malam
ini!”
Tidak
ada perasaan paling bahagia, ketika malam itu kau merasa hampa, membuka akun
media sosialmu, dan membaca status seorang sahabat perempuanmu, yang selama ini
tidak menjadi perhatian utamamu, “Senangnya hari ini. Apalagi sama ketawa si
Cornel. Makasih Tuhan.”
Tidak ada perasaan paling bahagia, ketika salah seorang senior yang baru kau kenal beberapa bulan lalu, kemudian bisa mengenal dirimu cukup dalam. Mengatakan bagaimana ia mengagumi mu dan bisa memahami bagaimana sebenarnya kau sedang dalam masalah. Kau kemudian menitikkan air mata bukan karena pujiannya yg mendalam, tapi caranya memahami mu dalam waktu yang singkat.
Tidak ada perasaan paling bahagia, ketika salah seorang senior yang baru kau kenal beberapa bulan lalu, kemudian bisa mengenal dirimu cukup dalam. Mengatakan bagaimana ia mengagumi mu dan bisa memahami bagaimana sebenarnya kau sedang dalam masalah. Kau kemudian menitikkan air mata bukan karena pujiannya yg mendalam, tapi caranya memahami mu dalam waktu yang singkat.
Tidak
ada perasaan paling bahagia, ketika kau ingin menangis tapi tak bisa, lalu ada
yang membelai-belai pelan rambutmu, membiarkan suasana diam, dan tidak menambah
penuh kepalamu dengan berjuta kata berjuta nasihat berjuta pendapat. Menunggu
dengan sabar, hingga air mata mu menetes, lalu tersenyum dan menawarkan susu
cokelat kesukaanmu.
Tidak
ada perasaan paling bahagia, ketika kedua adik lelakimu berebutan memamerkan
hasil gambar mereka masing-masing kepadamu, hanya untuk mengetahui bagaimana
penilaianmu terhadap gambar mereka.
Tidak
ada perasaan paling bahagia, ketika setiap hari membaca status-status akun
sosial kakak mu yang selalu berisi semangat dalam kehidupannya.
Tidak
ada perasaan paling bahagia, ketika ada yang memelukmu erat, dan berbisik pelan
“Aku benar-benar merindukanmu.”
Lalu
akhirnya air mataku menetes juga.
Aku
takut sekali.
Kehilangan
kebahagiaan yang selama ini ku pandang sebelah mata.
Tuhan..
Sedang apakah aku ini?