Awal
tahun yang kacau atau umur 20 tahun yang sulit?
Aku
menikmati awan siang itu. Mereka tersenyum lembut, seakan mampu mendengar suara
hatiku.
27
Janurari 2014 adalah hari yang tak akan terlupakan.
Hari
dengan masalah, yang lagi-lagi memaksaku untuk bersikap dewasa, seperti yang
semua orang inginkan.
Bertemu
dan merasakan saling mencintai bersama namamu adalah sesuatu yang cukup indah
bagiku untuk mengawali tahun ini. Aku akui, kau memang bukan cinta yang
pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, bahkan keenam, juga bukan yang ketujuh
bagiku. Tapi cinta yang aku rasakan untukmu bukanlah yang lebih buruk daripada
cinta-cinta sebelumnya. Ya, aku mencintaimu.
Banyak
yang ingin aku katakan. Banyak yang ingin aku teriakan.
Tapi
dedaunan itu berayun-ayun, memaksaku untuk tetap tenang, memintaku untuk
memaafkan namamu perlahan-lahan dalam hatiku.
Hingga
detik aku menulis semua ini, aku masih belum bisa percaya semua yang telah
terjadi.
Banyak
kenangan berputar-putar di kepalaku. Kenangan yang sebenarnya sejak awal telah
memperingatkanku bahwa aku akan mengalami sesuatu yang pahit seperti ini.
Kisah
(kurang lebih) dua tahun yang lalu. Bersama dia, lelaki yang berinisial P.
Persis.
Hubungan kami kandas, seminggu setelah kejadian aku tidak diijinkan melihat
telepon genggamnya. Hubungan kami kandas, setelah akhirnya ketahuan bahwa
ternyata dia masih memiliki hubungan dengan wanita yang katanya adalah mantan
kekasihnya. Tapi waktu itu nasibku tidak terlalu mujur. Setelah aku memilih
meninggalkannya, dia pun kembali kepada wanita itu, hingga kini. Tak bisa
kujelaskan bagaimana sedihnya aku waktu itu. Sekian kali putus cinta, ntah
mengapa hanya dia yang mampu membuatku benar-benar menangis, saat memutuskan
untuk meninggalkannya. Cerita lebih lengkap bisa kau baca di sini :
Setelah
waktu berlalu dan aku mengerti bahwa dia bukan lelaki yang cukup baik untukku,
kini aku merasa beruntung, beruntung telah memilih meninggalkannya.
Lalu
aku kembali mengingat namamu. Bukankah persis? Hubungan kita pun menjadi tidak
jelas, seminggu setelah aku tak kau ijinkan melihat telepon genggammu. Perasaan
buruk benar-benar menghantui ku sejak senja itu. Aku masih ingat bagaimana kau
menggunakan sekuat tenagamu untuk menarik telepon mu dari genggamanku.
Tak
perlu kujelaskan secara rinci, apa saja yang telah aku pertanyakan, dan apa
saja yang telah aku sampaikan kepadamu. Sejak aku mulai menyadari aku
mencintaimu, aku telah mempersiapkan keikhlasan, dan sejak saat itu, aku pun
mempertebal rasa ikhlas itu, bersiap-siap.
Ya,
akhirnya terjadi juga cerita yang sama. Kau pun ternyata masih menjalin rasa
dengan wanita yang kau katakan telah menjadi mantanmu. Aku hanya bisa tertawa
pahit bersama pepohonan di medan bapaneh itu. Angin semilir membelai rambutku.
Mereka berusaha meredakan panas dalam dadaku yang hingga kini belum mampu
kukeluarkan.
Tak
ku sangka, kau mampu melakukannya.
Dari
sekian banyak ucapanmu, bisakah kita menghitung pernyataan yang bukan
kebohongan?
Dari
sekian mimpi yang kau rencanakan bersamaku, mimpi mana yang benar-benar bisa
aku harapkan terjadi?
Dari
sekian janji yang kau titipkan pada hatiku, masih adakah yang bisa aku tagih di
hari-hari selanjutnya?
Hahaha.
Aku
terlalu dini untuk rasa sakit ini.
Kepalaku
pun berputar ke kisah satu tahun yang lalu.
Tentang
kakak kandung ku yang dikecewakan kekasihnya di perantauan, kota pelajar,
Jogjakarta. Bukankah persis sama? Aku
telah menceritakannya bukan? Bagaimana keluargaku telah begitu mempercayai
mereka untuk tinggal bersama sepupu lainnya di bawah atap yang sama?
Aku
masih mengingat jelas, bagaimana aku tidak bisa membantu kakak ku melewati masa
sulitnya saat itu. Air mataku menggantung. Bagaimana bisa aku menyakiti wanita
lain dengan cara yang sama, setelah aku tidak bisa membantu kakak ku melalui
hari yang sulit itu?
Melihat
air mata yang mengalir dari mata kekasih simpananmu pagi dan sore itu, aku
merasa sakit yang luar biasa, yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Tidak
hanya satu rasa sakit yang ku emban dalam dadaku. Aku merasakan sakit
kekasihmu, aku juga kembali merasakan sakit kakakku, aku merasakan sakitnya aku
yang tidak bisa membantu mereka berdua, dan berikut rasa sakitku sendiri karna
semua kebohonganmu. Sakit. Luar biasa. Bug, berdebar kerasa jantungku.
Tak
ada yang bisa aku lakukan. Aku tak tahu bagaimana. Mataku panas, tapi dia
enggan menangis. Dadaku sesak, tapi bibirku bergetar setiap ingin bicara.
Kepalaku berat dan penuh, tapi tak satupun menghasilkan keputusan. Jemariku
ngilu, tapi tak bisa bergerak.
Kupu-kupu
berterbangan indah di depanku, pindah dari bunga satu ke bunga lainnya.
Mengelilingi tetumbuhan kecil di bawah pohon-pohon besar itu. Mereka
melantunkan lagu yang benar-benar menyayat hatiku, tapi ntah mengapa bisa
menyisipkan rasa bahagia dalam hatiku. Aku tak mampu bergeming, menikmati
mereka menari dan bernyanyi.
“Aku
ingin bersamamu.” desis hatiku. Kemudian tetiba kau hadir dan meminta ijin
untuk duduk di sampingku. Walaupun hanya sebentar, aku hargai waktu yang kau
beri padaku, menemaniku menikmati alam sore itu, dalam diam. Ya, setidaknya
kita bersama-sama.
Senja
tiba, dan kuteguk sebotol susu cokelat. Perutku panas tapi dia tidak lapar.
Ntah kemana nafsu makan ku dibawa terbang. Ini kali pertama, seumur hidupku,
aku mampu mengacuhkan perutku hingga 3 hari.
“ Romeo, take me somewhere we
can be alone. I’ll be waiting, all thats left to do is run. You’ll be the
prince and I’ll be the princess. Its a love story, baby just say yes! Romeo,
save me, they try to tell me how to feel. This love is difficult, but its real.
Dont be afraid, we’ll make it up of this mess. Its a love story, baby just say
yes! ”
Parah.
Aku benar-benar merasa cukup tua setelah kejadian ini.
Ya,
kau menghadirkan bahagia dan sakit secara bersamaan.
Terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro