Sebelumnya,
guys, cerita gue kali ini rada panjang. Butuh kurang lebih 20 menit, untuk
kecepatan membaca rata-rata. Sebelum lo putuskan buat baca, mending cek dulu,
yakin lagi ga ada kegiatan? Daripada lo baca setengah-setengah, terus ntar lo
pada udah sok ngomen segala. Kan sakitnya tu di sini *garing*.
.......
Gue
akui gue emang termasuk orang yang ‘pembangkang’.
Dalam
beberapa hal, pembangkang sebenarnya memberikan cukup banyak efek positif buat
gue secara pribadi. Banyak guru, dosen, atau mungkin teman, kerabat (bahkan
orangtua gue sendiri) yang tidak sekali dua kali sering merasa kesal hingga
benci dengan gue yang selalu “terlalu berani” , “melawan”, atau mungkin bisa
dibilang “gila”.
Semua
berawal ketika gue jadi korban bully di kelas 1 SMP.
WHAT??!?!?? Seorang Cornelia di bully?!?
Waktu
itu gue belum seberisik dan seberani sekarang. Gue yang berasal dari sekolah
dasar yang sederhana, dengan 2 lokal saja setiap angkatannya. Kemudian beranjak
ke sekolah menengah yang satu angkatan bisa sampai 5 lokal dan 1 lokal bisa
mencapai 40 orang. My parents didn’t treat me as well as I need, so gue mesti
beradaptasi, mengenal, dan mempelajari semuanya dengan cara gue sendiri yang
masih berumur 12 tahun (skripsi gue banget nih).
Langsung
saja. Waktu itu, di kelas 1, gue di dudukin di bangku paling depan, bersama
seorang cowok. Dan saat itulah aktivitas yang gue bilang ‘bully’ tadi dimulai!
Doi yang paling hobi banget gangguin gue adalah teman sebangku gue, dengan
inisial D.
‘Bully’
nya itu seperti ini. Ketika dia lebih dulu masuk kelas dan duduk dibanding gue,
maka dia bakal letakkin kakinya di atas kursi gue. Ga peduli lonceng udah
bunyi, sebelum guru masuk, dia bakal letak kakinya di kursi gue. Sehingga di
saat teman udah pada duduk, gue masih berdiri. Atau ketika gue udah duduk
duluan di kursi, atau ketika istirahat atau jam kosong, tapi saat itu guru
nggak ada atau belum masuk, doi bakal nendang-nendang kursi gue, kaki meja gue,
atau bahkan kaki gue sendiri. Yang ujung-ujungnya memaksa gue untuk berdiri
hingga guru masuk. Begitulah ceritanya, gue di bully bahkan sebelum gue
mengenal istilah bully waktu itu.
Bagaimana
dengan teman-teman gue yang lain? Hmm. Gue kurang tau apa yang mereka rasain,
at least gue cuma ingat gimana cara mereka semua natap kasihan ke gue, tapi ga
bisa ngelakuin apa-apa. Mungkin ada beberapa yang memberanikan diri bilang
“sini duduk berdua aja dulu sambil nunggu guru datang.”
Sedih,
malu, ngerasa down banget (ingat gue masih 1 SMP loh), didukung pula dengan
orangtua, kakak, dan abang gue yang waktu itu keberadaannya di hidup gue antara
ada dan tiada. Mereka ga tau apa-apa soal ini, sampai sekarang mungkin. Tapi
setelah hampir satu semester, gue yang waktu itu ceritanya seorang gadis kecil
yang lemah belum juga memutuskan untuk menangis.
Di
istirahat siang suatu hari, gue iseng memberanikan diri ngomong ke wali kelas
gue yang sekaligus guru Bahasa Inggris.
“Misteeeer!
Si D (inisial si tukang bully gue) tu haaa! Dia hobi kali gangguin saya.
Nendang-nendang kursi saya lah, meja saya lah, kaki saya lah.”
Gue
berusaha mengucapkannya senormal mungkin, supaya ga terasa kalau gue sedang
butuh dikasihani. Dan waktu itu si mister menanggapinya dengan bercanda.
“Heee,
Cornelia ni ada-ada aja. Suka dia sama kamu tuh. Kalau ditendang ya tendang
baliklah!” ucap mister sambil cengengesan, lalu beralih ke murid lain yang juga
ingin bicara dengannya.
Gue
langsung terdiam, memutuskan sebaiknya pembicaraan selesai sampai di situ saja.
Waktu itu gue berpikir, “Hmm yaudah deh gue tendang balik aja. Kalau kena
marah, nanti bilang aja si mister yang suruh.” Sejenak keberanian gue muncul.
Tapi
ketika kejadian bully itu terjadi (lagi), ntah kemana semua keberanian itu
terbang. Gue kembali jadi sosok lemah tak berdaya dan bersayap patah,
wkakakakaka :D akhirnya si tukang bully tetap saja mendapatkan kepuasannya hari
itu hingga seterusnya.
Hingga
hari yang tak tertahankan itu tiba.
Gue
masih ingat persis kejadiannya di hari Jumat pertama di awal bulan. Dan si mister
wali kelas gue makai kemeja berwarna hijau lembut.
Dua
menit di bully oleh si D, gue pun menumpahkan semua air mata. Perasaan malu,
sedih, ngerasa rendah, sakit, kayak-kayak anak remaja labil yang ngerasa “i am
nothing in this world” gitu lah. Gue pun nyembunyiin muka gue di lipatan kedua
tangan gue di atas meja. I was totally full of shame! Gue berharap gue bisa
menghilang. Atau berharap kedatangan bidadari yang sering muncul bantuin caca
alias ‘marshanda’ di sinetron yang waktu itu lagi hits. Dan sejak saat itu, gue
jadi kebiasaan kalo nangis di depan umum pasti mesti nyembunyiin muka di
lipatan tangan.
Ketika
itulah si D mulai bergetar dan mencolek lengan gue, “woy Cornel, ngapa pula lu
nangis? Woy, diam lah. Mister mau masuk tu ha.” Doi ngelihatin mister yang
berjalan ke arah kelas gue dan seisi kelas rasanya ngelihatin punggung gue yang
ga sanggup buat gue angkat lagi.
Alhasil,
si mister dan seisi kelas fokus ke gue yang sedang nangis.
“Kenapa
Cornelia?” tanya mister sambil ngegoyang-goyangin lengan gue.
Gue
tetap nunduk, diam, dan tetap nangis. Terus ntah siapa salah satu temen lokal
gue ngelapor, “Dia diganggu si D terus mister.”
“Kamu
apakan si Cornelia? Suka kamu sama dia, D?” si mister masih menanggapi dengan
candaan. Beberapa teman cekikikan menggoda.
Gue
tetap nunduk, diam, nangis.
Kemudian
terdengar suara dari speaker yang ada di setiap lokal. “Bagi siswa yang katolik
segera berkumpul untuk pergi misa Jumat pertama bersama-sama.”
Gue
tetap nunduk, diam, nangis.
Lalu si
mister berucap, “Hey sudahlah Cornelia,” melihat gue masih nggak nanggepin dia,
si mister bergidik ke siswa lain, “Eh yang katolik udah boleh keluar, pergi
Jumat pertama sama-sama.”
Akhirnya
gue ga ikut pergi misa Jumat pertama, begitu juga dengan si mister, begitu juga
dengan si tukang bully (tapi gue ga tau dia ga ikut misa karena gue atau karna
dia bukan katolik.)
Si
mister akhirnya ngebawa gue dan si tukang bully bertemu dengan kepala sekolah
(kepsek) ke kantor TU yang ada sofanya. Singkat cerita, ibu kepsek marah besar
sama si tukang bully. Kalau gue ga salah, dulu si D sampai ditampar sama ibu
kepsek. Dan si ibu kepsek bertindak seperti sangat mengkhawatirkan gue. Dia
ngambil minyak angin terus ngolesin minyak angin berkali-kali ke paha dan kaki
kiri gue, kaki yang ceritanya sering ditendang si tukang bully.
Terus
salah seorang wakil kepala sekolah masuk ruangan dan ikut masuk ke dalam
pembicaraan. “Ada apa bu?” si kepsek menjelaskan singkat ke bapak wakasek, “Ondeh.
Padahal si Cornelia ni termasuk pintar, hampir masuk kelas unggul. Cuma kurang
sedikit rata-ratanya. Mungkin karena inilah tu bu. Iya Cornelia?”
Gue
diam. Gue melihat si mister wali kelas gue mengangguk pelan sambil menyisir
rambut lurusnya dengan jemarinya ke belakang. Dia masih muda, berumur sekitar
25 tahunan sepertinya. Ntah darimana dan sejak kapan bapak itu memperhatikan
nilai gue, gue ga peduli, hidung gue sempat push up, tapi siap itu ga peduli
lagi, karena kembali fokus ke adegan si kepsek marah-marahin si tukang bully.
Awalnya
gue lumayan lega, si kepsek marah-marahin si tukang bully. Seakan-akan semua
yang tertahan rapi dalam hati gue, tersalurkan lewat bibir si kepsek. Sampai
akhirnya si kepsek ngeluarin kata-kata yang ga cuma bikin diam si tukang bully,
tapi juga gue. Kami sama-sama terdiam natap wajah si kepsek sesaat, kemudian sama-sama
menatap kaki kecil kami di bawah meja.
Kurang
lebih beginilah ucapan si kepsek, “Ngapain kamu tendang-tendang anak orang ha?
Kamu ni laki-laki tau. Apa kaya gitu cara bapak kamu ke mande (mama) kamu ya?
Coba kasih tau ibu, gimana kalau bapak kamu ke mande kamu?”
Kami
berdua terdiam. Si ibu kepsek melanjutkan, “Iya? Kok ndak jawab ibu? Iya? Emang
gitu kamu lihat bapak sama mande kamu ya?”
Gue ga
tau apa yang buat si tukang bully terdiam. Waktu itu gue cuma berharap si
tukang bully ga punya perasaan dan pemikiran yang sama kaya di pikiran gue.
Karna kalau ternyata sama, gue yakin si tukang bully pasti bakalan sedih, lebih
sedih daripada gue.
Saat
itu semua terjadi, pandangan gue terhadap guru mulai berubah. Ntah kenapa waktu
itu gue udah ngerti seharusnya seorang guru terutama kepsek tidak berbicara
seperti itu kepada muridnya. Murid yang notabene kelas 1 SMP, baru 6 bulan
meninggalkan bangku SD. Terlalu berlebihan menurut gue. Karena si kepsek nggak
menimbang bagaimana dengan perasaan kami yang mungkin saja punya jawaban “ya
orangtua saya memang begitu” di kepala kami.
Kemudian
gue mulai berpikir bahwa tindakan beliau yang terlihat sangat mengkhawatirkan
gue adalah sebuah kepura-puraan. Ntah kenapa muncul pikiran sederhana seperti,
“Bisa jadi si kepsek ini berlebihan begini supaya gue ga ngadu ke ortu gue,
trus supaya ortu gue ga nuntut guru di sekolah. Suatu saat, bisa saja kalo gue
yang melakukan kesalahan, pasti bakal dimaki secara berlebihan kaya gitu juga.”
Sehingga
akhirnya sayap-sayap putih yang selama ini gue lihat di punggung guru-guru
mulai merapuh, kusam, dan patah-patah. Ini bukan hanya sekedar analogi. Tapi
emang bener. Sejak sebelum sekolah, gue sering diajak papa nganter kakak dan
abang gue ke sekolah. Gue selalu melihat bahwa guru itu seperti malaikat yang
punya sayap dan selalu bercahaya. Terlepas dari kenyataan bahwa mayoritas guru
SD gue dulu tionghoa yang berkulit putih ya, hehehe. Itu mengapa gue selalu
pengen cepat-cepat sekolah, gue senang ke sekolah, dan akhirnya umur 5 tahun
gue udah duduk di caturwulan 1 di bangku SD.
Singkat
cerita selesailah semua perkara di sana. Si tukang bully ntah kena skorsing
ntah dipanggil orangtua ntah kena hukuman apa gue lupa. Trus si mister
nganterin gue dan si tukang bully kembali ke kelas kami sambil mengeluh,
“Heehh, gara-gara kamu Cornelia. Ndak bisa saya ikut misa Jumat pertama.”
Gue
langsung ngerasa “nyooos” kaya ban kempes. Hellooooow? Bukannya situ wali kelas
yang kemarin nanggepin pembicaraan saya hanya bercanda saja? Kira-kira
begitulah isi hati saya waktu itu. But I didnt say anything to him. Gue masih belum
jadi Cornelia yang seberani sekarang.
Waktu
itu juga, langsunglah seluruh sayap di punggung semua guru resmi hilang di mata
gue. They are not an angel anymore. I hate them, and I dont believe on them!
Segala respek tingkat dewa yang selama ini lengket di setiap pundak guru
seketika terbang tinggi, hilang di langit biru.
Setelah
kejadian itu, si tukang bully berubah. Jangankan nendang kursi gue, bahkan kami
tidak banyak bertatap mata dan bertegur sapa. Sepertinya si tukang bully merasa
benar-benar menyesal, atau merasa benar-benar sedih. Ntah kenapa, terbersit
sedikit rasa menyesal di hati gue, karena udah ngebawa si tukang bully ke dalam
kondisi dia yang seperti itu.
Baiklah
cerita ‘bully’ saat SMP selesai. Dan ntah kenapa memang benar, walau di kelas 1
gue gagal masuk kelas unggul, tapi di kelas 2 gue berhasil masuk kelas unggul.
Gue jadi teringat ucapan si bapak wakasek.
Tapi
cerita tentang gue yang berubah menjadi ‘pembagkang’ belum selesai. Semua
disambung ke waktu gue duduk di kelas 1 SMA.
(Tarik
napas dulu sejenak ya. Kurang lebih 15 menit lagi, cerita nya selesai kok.)
Sepertinya
semua telah direncanakan dengan baik oleh alam. Ibu kepsek SMP yang gue
ceritakan tadi kemudian tahun itu (saat gue masuk kelas 1 SMA) menjadi kepsek
di SMA gue. Gue cuma bisa mendengus sebal. Ini fakta. TK, SD, SMP, dan SMA gue
adalah sekolah yang berada di bawah satu yayasan. Sehingga memang sering
terjadi perpindahan guru dan kepala sekolah setiap beberapa tahun.
Tapi
yasudahlah, toh gue udah mulai berubah, gue udah ga selemah dulu lagi. Ga akan
ada lagi murid yang bakal nge bully gue, jadi ga ada lagi alasan gue mesti
berurusan sama si kepsek ini.
Kehidupan
kelas 1 SMA gue awalnya berjalan normal. Sampai suatu hari di akhir semester
pertama, di siang yang cukup terik. Gue masih ingat waktu itu hari kamis,
karena besoknya hari Jumat dan itu adalah hari dimana mama pulang dari
Bukittinggi. Ibu guru bimbingan konseling (BK) memanggil gue secara personal ke
dalam kelas untuk menemuinya di ruang BK. Perasaan gue langsung berubah menjadi
tidak enak. Tapi tidak dengan seisi kelas, mereka sepertinya sudah tahu mengapa
gue dipanggil. Tapi gue belum terlalu peduli.
Sesampainya
di ruang BK, gue langsung duduk berhadapan dengan si ibu BK. Ibu yang bertubuh
kecil dengan rambut keriting ini adalah orangtua dari salah seorang senior gue
di SMA itu. Si ibu tidak menanyai gue satu pertanyaanpun, sehingga gue yang
mulai bertanya.
“Bu,
ada apa saya dipanggil bu?”
“Ibu
kepala sekolah mau bertemu sama kamu. Tunggu saja.”
“Memangnya
ada apa bu?”
“Kamu
tidak merasa punya salah?”
“Sejauh
ini nggak ada bu. Emangnya ada apa sih bu?”
“Kamu
pikir-pikirlah dulu. Coba ingat-ingat apa salah kamu? Ga mungkin ibu kepala
sekolah mau ketemu sama kamu kalau kamu memang ga ada salah.”
Gue
terdiam. Apa lagi sih urusan gue sama si kepsek ini. Gue terdiam, berpikir
cukup keras tentang apa kesalahan gue. Tak lama kemudian masuklah beliau ke
ruang BK. Wanita berkulit putih, terlihat seperti berumur 40an (ga tau aslinya
berapa), belum menikah hingga saat itu (dan hingga sekarang), dengan mata sipit
dan kacamatanya, memandang saya dengan tatapan hina lalu berkata, “Ini dia si
Cornelia tu?”
Dalam
hati saya tertegun. Masa iya dia ga inget gue? Bzzz. Tapi gue diam aja.
“Sudah
ada ibu bilang sama dia bu?” tanya si ibu kepsek pada ibu BK.
“Gimana
Cornelia, sudah tau kamu apa kesalahan kamu?” tanya ibu BK ke gue.
Gue
menggeleng pelan. Toh emang gue ga tau.
“Kamu
emang ga tau atau kamu ga merasa bersalah kalau kamu mencontek saat ujian?”
ucap si kepsek langsung mengenai inti permasalahan (headshot!)
Gue
langsung menjawab dengan lantang, “Yang mencontek juga banyak kali bu!”
Helllooow?
Gue ga salah kan? Siswa mana sih yang ga pernah mencontek saat ujian? Minimal
intip-intip sedikit kertas ujian temannya pasti ada. Huh!
“Jadi
ngaku kamu kalau kamu mencontek?” ucap si kepsek.
Sumpah
gue kesal banget. Ga lama kemudian bapak wakil kepala sekolah (wakasek) masuk
ke ruang BK. Ntah kenapa, bapak tersebut juga adalah bapak wakasek waktu gue di
SMP, dia juga menjabat sebagai wakaseknya si ibu ini. Apa mereka emang
ditugaskan selalu sepaket ya? Ntahlah. Tapi memang begitu kejadiannya. Keingat
kejadian 3 tahun lalu, gue berharap ini bapak bakal membantu gue. Lalu kemudian
bibir si bapak terbuka, “Pantaslah bu, saya bisa heran kenapa si Cornelia ini
bisa dapat nilai bagus, padahal dulu waktu SMP saja dia ga pernah masuk sepuluh
besar.”
Jantung
gue langsung berdegup kencang. BUSEEEET DAAAH! Dulu dia sendiri yang bilang dan mengakui gue pantas masuk kelas unggul, nah sekarang? Bzzz. Bapak wakasek ini peran nya
emang selalu bagian mengompori ya? Atau cari muka banget sama kepala sekolah?
HUUUH! Pengen banget gue ngebahas kejadian 3 tahun yang lalu, tapi kondisi
tidak memungkinkan. Gue sekarang ada di posisi si tukang bully, gue yang
dihadapkan dengan tiga guru di ruang BK ini cuma bisa diam dan menyimpan semua
rasa kesal gue dengan rapi dalam hati.
Gue pun
mengerti kalau sebenarnya orang yang ngaduin gue mencontek ga punya bukti
apa-apa tentang perbuatan gue. Tetapi akibat pernyataan gue barusan, si kepsek
menganggap itu sebagai sebuah pengakuan. FINE. Dan akhirnya keluarlah sebuah
surat untuk memanggil orangtua ke sekolah.
“Mama
saya baru bisa datang hari Sabtu bu.”
Gue pun
disuruh kembali ke kelas. Saat jalan menuju kelas, gue berpikir keras, tentang
siapa yang ngaduin tindakan mencontek gue. Karna gue yakin, semua orang pasti
mencontek. Orang yang berani ngaduin gue mencontek pastilah orang yang cukup
percaya diri bahwa dia nggak pernah mencontek. Siapa ya? Hmm.
Sesampainya
di kelas, seorang teman gue yang berkulit sedikit gelap membisikkan sesuatu di
telinga gue dengan logat bataknya, “Aku tau siapa yang ngaduin kau. Si E. Dia
dari tadi pagi ngajakin salah satu dari kita untuk ngaduin kau ke ruang kepsek.
Tapi aku tolak. Ternyata si N yang mau temenin dia. Hati-hati ajalah kau lagi.
Jangan kau kasih tau, aku yang bilang ya?”
Dia
mengedipkan matanya. Gue tertegun pelan. E (laki-laki) dan N (perempuan) adalah
teman gue, gue bahkan menganggapnya teman dekat malah. Terlebih N, cewek teman
sebangku gue yang hanya melewati SMP dengan 2 tahun karena mengikuti kelas
akselerasi (kelas percepatan). Sempat gue berpikir yang terlalu negatif tentang
sistem percepatan belajar yang membuat tumbuh kembang emosional seorang anak
menjadi tidak baik. Tapi ntahlah gue sedang gak bisa berpikir banyak. Mengetahui bahwa
dia telah mengajak cukup banyak orang
tapi tidak ada yang mau kecuali N, itu cukup membuat gue drop. Gue baru ingat
kenapa hari ini si N pindah duduk ke kursi di sebelah si E. Padahal selama ini
si N duduk sebangku dengan gue. Sehingga pada hari itu gue merasa benar-benar
nista. Setelah dihukum dan ketahuan mencontek, ditambah lagi dengan kenyataan
bahwa teman sebangku gue bahkan mengkhianati gue. Mungkin ini bukan tentang 'bully' lagi. Tapi yang pasti lagi-lagi gue bermasalah dengan teman sebangku dan kepsek. Anjiiiing.
Hmm. Sekarang
gue baru ngerti kenapa ada teman yang berani ngaduin gue. Karena ya emang
mereka berdua adalah siswa yang tergolong pandai. Kami bertiga ditambah seorang
perempuan berinisial M adalah 4 orang yang nilainya cukup bersaing untuk merebut
peringkat 3 besar di kelas di semester satu itu. Persaingan itu jelas.
Pantas
saja, pikirku. Ketika orang lain mencontek mungkin hanya sekedar untuk bisa
mencapai nilai standar kelulusan. Maka gue yang emang udah dasarnya “berotak”
ketika ditambah dengan mencontek, hasilnya bisa sempurna untuk mendapat
peringkat di kelas. Mereka pasti sangat iri. Biarlah. Aku tak urus, toh mama
tak memarahiku. Dan semua isi kelas juga masing-masing bisa menilai sendiri.
Dan pada akhir semester, ternyata benar aku dapat peringkat 3. Si E mendapat
peringkat 2, dan si M mendapat peringkat 1.
Hari
Jumat malam, mama baru nyampai di rumah. Mama kerja di Bukittinggi, waktu itu. Sementara
dari Jumat hingga Minggu di minggu itu, gue ada jadwal live in (semacam
kegiatan siswa tinggal di rumah penduduk gitu) di Pasaman bersama beberapa
teman. Sehingga sejak pagi sudah meninggalkan rumah dan baru akan kembali
Minggu sore. Alhasil gue memutuskan diri untuk menulis dengan rapi di sebuah
kertas:
“Ma, besok mama ke sekolah ya. Dipanggil
guru. Pagi jam 10 ma. Lia diadukan mencontek sama teman ma. Padahal semua orang
juga mencontek. Maafin lia ya Ma. Lia pergi ke Pasaman dulu.”
Gue
taruh kertas itu di lemari mama gue dan Jumat pagi, sebelum mama gue nyampai
Padang, gue udah berangkat ke Pasaman. Ntah kenapa semua waktunya sudah disusun
serapi itu oleh alam. Sehingga Jumat Sabtu gue ga perlu ke sekolah, dan ga
perlu malu karena melihat mama gue dipanggil ke sekolah.
Ntah
apa yang terjadi antara mama dan sekolah hari itu, gue ga tau persis. Mungkin
mama dipermalukan? Dimarahi? Atau sebaliknya? Hmm, seharusnya gue ceritain dulu
tentang kejadian 3 tahun yang lalu ke mama biar mama bisa balik marah ke si
kepsek. Tapi semua pikiran gue berakhir begitu saja, ketika sampai rumah, mama
dan papa tidak membahas apapun tentang gue dan sekolah gue. Dan gue pun ntah
mengapa juga tidak cukup berani untuk bertanya banyak.
Cerita
tentang gue kelas 1 SMA ketahuan mencontek selesai dulu sampai di sini.
Sekarang
kita beralih ke ruangan audio visual (AV). Ruangan ini sering dipakai guru
ekonomi yang katanya killer, karena memiliki AC sehingga adem. Masih di kelas 1
SMA, tetapi di ujung-ujung semester dua. Guru yang mengajar ekonomi tersebut
adalah seorang bapak yang sudah menamatkan sekolah hingga S2. Dengan umurnya
yang mungkin sudah hampir mencapai 50 tahun dan pengalaman mengecap pendidikan
S2, jelas membuat beliau banyak bercerita pengalaman di saat pelajaran.
Sehingga kadang itu membuat gue ga fokus. Dari pelajaran, ke cerita, dari
cerita, ke pelajaran. Begitulah.
Jadi
waktu itu gue sedang asik menggambar-gambar di buku catatan. Gue duduk paling
belakang berdua dengan si E. Cowok yang sejak awal kenal hingga setelah gue tau
dia yang aduin gue mencontek, tetap gue anggap teman. Gue gatau si E tau atau
nggak kalau gue tau bahwa dia yang ngaduin gue mencontek. Karena setelah
kejadian ‘ketahuan mencontek’ tadi, gue dengan si E dan si N tetap berteman
baik.
Sejak
mengetahui kenyataan itu, gue ga pernah menghadang mereka dengan banyak
pertanyaan atau membahas masalah mencontek itu dengan mereka. Gue merasa itu
adalah sebuah kondisi dimana “gue cukup tau” aja. Dan sampai sekarang pun, gue
masih berteman baik dengan mereka, sekalipun tiada kata maaf keluar dari
mereka.
Sedang
asyik mencoret-coret buku catatan tetiba gue mendengar suara si bapak ekonomi
berbicara dengan nada yang menaik kemudian wajahnya mengarah ke kami berdua.
Fokus gue langsung berubah dari buku catatan ke si bapak dan mendengar ucapan
si bapak berikutnya.
“Jangan
kamu terbawa-bawa perilaku teman, Dek. Saya tahu kamu pasti terbawa-bawa
perilaku teman kamu itu. Kalau berteman tu, yang baik ambil, yang buruk
tinggalkan.”
Si
bapak memang udah tua, tapi itu lah ciri khasnya, setiap berbicara sering
menyapa muridnya dengan ‘dek’, mungkin supaya terasa tetap muda, ntahlah.
Tapi
kemudian gue tertegun, terdiam, berpikir. Apa sih maksudnya???? Saya melirik ke
si E, dia hanya menunduk ke buku catatannya. Fokus mencatat-catat sesuatu,
bahkan tidak melihat ke arah si bapak atau ke arah gue. Apa yang terjadi?
Selesai
mata pelajaran ekonomi, di saat istirahat, aku mendekati salah seorang temanku.
Aku tidak ingat persis siapa waktu itu.
“Eh,
tadi bapak ekonomi ngomong gitu ke si E maksudnya apa sih?” tanyaku sambil
menikmati gorengan bakwan.
“Loh?
Lu ndak tau?”
“Ndak. Kenapa
ha?” berlagak agak cuek, sambil mengigit rawit.
“Ihh
masa iya ndak tahu? Dia ketahuan mencontek.”
“HE?
Ketahuan mencontek? Sama siapa? Kapan? Kok gua ga tau?”
“Iya,
sama ibu Fisika, waktu ujian geografi (kalau ndak salah). Ibu itu nangkap si E
lagi buka buku. Tapi ibu tu langsung suruh diam gitu aja. Lu kan duduk di
depan.”
Hmm. I
got the point. FUCK! Sebenarnya gue senang, tapi dalam hati gue kesal
selangit-langit. Why? Ya iyalah, ketika dengan jelas orang yang dulu ngaduin
gue mencontek ternyata ketahuan mencontek di depan mata guru, dia ga disalahin?
Orangtua dia ga dipanggil? Trus yang disalahin, itu semua karena dia berteman sama
gue? ANJIIIIIINGGGG.
Gue pun
berpikir dengan jernih dan membandingkannya dengan kejadian bully 3 tahun yang
lalu. Yap, ternyata bayangan gue waktu itu benar. Ketika gue ada di pihak
tersangka, maka si pendakwa akan selamanya dipuji-puji dan diangkat-angkat. Saat
itu gue menyadari betapa E adalah anak dengan orangtua yang lebih mampu
daripada gue. Beberapa kali di majalah sekolah, selalu ada ucapan terimakasih
untuk kedua orangtuanya. Hmm. Sudahlah. Tidak bisa dijelaskan bagaimana
perasaan anak yang baru beranjak ke usia 15 tahun saat itu. Dan sekali lagi,
gue menyimpan semua ini sendiri, bahkan juga dari orangtua gue.
Di satu
sisi ga ada gunanya gue cerita. Di sisi lain, gue tetap berpikir positif. Ya
sudahlah, toh yang bisa berpikir jernih akan selalu berpikir jernih. Dan yang
berpikir kotor ya akan selalu kotor. Jadi ga ada gunanya gue memperbaiki nama
baik gue, walaupun gue kesal dan jijik sampai ke ubun-ubun dengan si bapak
ekonomi itu. Tindakan menyalahkan gue di depan seisi kelas itu tidak akan
pernah gue lupakan. Padahal seharusnya itu menjadi kesalahan mereka yang
notabene adalah GURU. Seharusnya mereka introspeksi diri, bahwa mencontek bisa
menjadi perbuatan siswa mana saja. Dan mereka seharusnya menghukum siswa dengan
adil. Bukan dengan menyalahkan siswa lainnya. Tau gitu dari awal gue ogahan
mempertahankan diri berteman dekat dengan si E.
Mereka
bukan guru yang seharusnya bisa membimbing murid dengan sepatutnya, dan
seadilnya. Bahkan si bapak ekonomi, setelah itu (di saat gue kelas 2 dan 3) juga
sering menyinggung-nyinggung dosa mencontek gue itu di depan kelas. Seakan-akan
itu kesalahan besar yang jauh lebih besar daripada kesalahannya yang telah mengorbankan
perasaan gue (gadis berumur 15 tahun) yang harus menanggung beban dan rasa
bersalah karena ternyata dosa mencontek teman sekelas gue adalah karena
berteman dengan gue. You was fucking irresponsible teacher!
Saat
itu lah, tonggak awal gue mulai benar-benar membenci guru, juga trauma memiliki
sahabat dekat
Gue gak mudah mempercayai siapapun dan apapun yang mereka
ajarkan. Gue ga mau didikte begitu saja sama orang-orang keji dan menjijikan
seperti mereka!
Setiap guru
mengajarkan A = B ke gue, gue selalu mengatur otak gue untuk berpikir bagaimana
jika ada kondisi A = C. Dengan kata lain, gue selalu berusaha keras untuk
menjatuhkan dan menyalahkan pernyataan ajaran-ajaran yang diucapkan guru ke
gue. Hingga sampai kuliah semua berlangsung seperti itu.
Alhasil
itu dia yang gue bilang tadi. Kebiasaan itu memberikan efek yang positif. Gue
jadi terbiasa berpikir di luar kotak. Gue selalu berusaha membangkang dan
mengomentari guru atau siapapun yang berbicara di depan gue. Sejak saat itu,
setiap guru berbicara, gue pasti juga bicara di tempat duduk, mengomentari
beliau dan mengatakan bahwa sudut pandang yang dikatakan beliau itu tidak
sepenuhnya benar. Gue akan berusaha membaca lebih banyak, mencari tahu lebih
dalam, tentang kemungkinan-kemungkinan lain untuk menjatuhkan pernyataan guru
atau dosen. Beberapa teman paling hanya tertawa kecil atau mengomentari, “ada
ada se lu mah.”
Karena
gue berusaha membaca lebih banyak dengan begitu gue menjadi tahu lebih banyak
dibanding teman-teman gue. Karena gue berusaha mencari tahu lebih dalam, dengan
begitu gue menjadi mengerti lebih cepat dibanding yang lain. Ketika mungkin
mereka hanya mengikuti si dosen naik satu tangga, gue udah naik dua atau bahkan
tiga tangga di atas mereka.
Banyak
kejadian atau aktivitas membangkang gue, terutama terhadap si bapak ekonomi
yang katanya ‘killer’ tersebut. Mungkin yang lain pada takut, atau memilih posisi
aman dengan tidak mencari masalah dengan beliau. Tapi itu bukan gue. Gue adalah
siswi (siswi loh ya!?) yang merasa keren dengan berani ngerjain beliau saat
pelajaran dia di kelas gue (di kelas dua). Gue selalu memiscall hape beliau.
Menelponnya, menunggunya melihat handphone, lalu mematikannya dengan cepat
ketika beliau ingin mengangkat telepon. Gue selalu berusaha mengganggu
konsentrasi beliau. Itu berlangsung sampai sekitar satu semester sebelum
akhirnya ketahuan karena diaduin sama kakak senior yang lagi cari muka beliau.
Dan
banyak kejadian lainnya. Seperti gue lari-lari diikuti beberapa siswi lainnya
saat beliau ga masuk kelas. Akhirnya kita dikeluarkan dari kelas. HAHA. Ada
juga kejadian dimana saat beliau nyinggung-nyinggung masalah mencontek, gue
tatap tu mata bapak dengan tajam dan perasaan benci sebenci-bencinya. Beliau
manggil gue ke depan kelas dan berbicara panjang lebar. Gue pun berusaha keras
melawan beliau dengan mengatakan, “saya tidak pernah mencontek lagi.” Walaupun
akhirnya gue menemukan kelemahan gue sendiri. Ya, ketika gue benar-benar
ngungkapin apa yang ada di hati gue, gue bakalan nangis. Ga tau kenapa, mungkin
karena sejak insiden 1 SMP. Atau karena semuanya begitu rapi gue tumpuk didalam
hati. Atau karena perbuatan guru dan orangtua yang membuat tidak sempurnanya tumbuh
kembang gue secara psikologis, ntahlah. Akhirnya emang gue nangis di depan
kelas, dengan posisi menghadap si bapak dan membelakangi teman-teman sekelas.
Gue ga bakal lupa kejadian itu.
Kejadian
yang lain misalnya, dengan guru yang mengaku di setiap kelas betapa dia gak senang
sama gue secara pribadi. Waktu itu gue diminta untuk bikin tulisan tentang
kelas gue, buat diterbitin di majalah sekolah. Dan beliau tersebut adalah guru
pembina untuk majalah sekolah, yang bisa dibilang secara terimplisit berperan
sebagai editor. Ga butuh waktu terlalu lama gue berhasil nulis dengan gaya
tulisan gue sendiri. Dan finally, tulisan gue ditolak mentah-mentah. Katanya
karena tulisan gue terlalu kasar. Soalnya ketika yang lain nulis pakai subjek
kata ganti “aku, kamu, dia, dsb”. Gue pake kata ganti “otak”. Contohnya begini:
“Kelas 3-2 adalah kelas yang punya 32 otak.
Setiap otak memiliki perannya masing-masing. Ada otak yang berperan sebagai
minyak. Ada otak sebagai sumbu. Ada otak yang sebagai angin berhembus. Bla bla
bla...”
Ntah dimana
letak kasarnya, sampai sekarang gue ga ngerti. Gue tetap menganggap tulisan gue
keren. Mampus aja tu pendapat guru. Semakin Anda kesal, semakin saya senang.
HAHAHA.
Dan
masih banyak contoh perbuatan aneh gue lainnya saat SMA hingga kuliah yang ga bisa
gue ceritain satu persatu. Mungkin di lain kesempatan, karena tulisan ini saja
sudah mencapai 11 halaman. Hoaaam. Walaupun sebenarnya tidak semua guru di SMP
dan SMA gue yang berperilaku mengecewakan seperti cerita di atas. Tapi, karena
tidak ada satupun yang membela gue atau setidaknya berperilaku lebih baik dari
si bapak ekonomi, si bapak wakasek, atau si ibu kepsek, maka gue memutuskan
untuk menyamaratakan saja mereka semua. Sejak saat itu. Hingga sekarang.
Gue
berpikir, seandainya pun suatu saat gue mesti jadi guru, setidaknya gue udah
tahu gue harus menjadi guru yang seperti apa.
Buat beberapa teman yang masuk dalam cerita ini. Jangan merasa kalau gue mempersalahkan kalian dalam hal ini. Sejak awal hingga sekarang, gue menganggap kesalahan2 kecil itu bukanlah kesalahan kalian sepenuhnya. Karena dalam kejadian yang gue ceritain di atas, kita semua berada di umur yang sama. Baik si D, si E, maupun si N. Umur belasan yang secara psikologis belum matang dalam mengambil keputusan. Ketidakmatangan tersebut seharusnya menjadi tanggungjawab guru dan orangtua kita masing-masing. Kesalahan dan penyimpangan perilaku kita (remaja 15thn) tidak lepas dari kelemahan guru dan orangtua kita masing-masing.
Selamat
menikmati hari-hari berikutnya, dan sampai jumpa di kisah selanjutnya.