Selasa, 23 Oktober 2012

Cinta Kampung !



Sekarang, mampu berbicara tentang hal-hal yang bersifat nasional, sudah menjadi tren tersendiri untuk beberapa anak muda. Berbicara menggunakan istilah khusus pun menjadi kebanggaan tersendiri. Semua seakan berlomba-lomba untuk mencari kesempatan berbicara tentang hal-hal yang sebenarnya tidak mereka mengerti seutuhnya. Sok mencaruti korupsi pada dunia politik, tapi ujian masih menyontek. Bukankah korupsi dan menyontek memiliki dasar kesalahan yang sama yaitu berbohong? Lantang mengomentari perekonomian yang cacat dan sebagainya, tapi belum mampu berpikir kritis untuk membangun industri kreatif. Berani memperdebatkan masalah pendidikan, tapi tidak pernah menghadirkan model pembelajaran inovatif. Dan sebagainya. Ikut berbicara pada sebuah masalah tanpa bijak mengadvokasi.
Sebenarnya tidak masalah jika memang berbicara atas dasar data, pengertian, fakta, atau sejarah yang benar dan menghasilkan solusi yang nyata. Nah, masalahnya sekarang, tren aneh tersebut malah dijadikan ajang keren-kerenan. Coba analisis secara sederhana saja, generasi macam apa yang akan tercipta?
Mayoritas media pun begitu, semua seakan saling membius dan dibius oleh segala macam pemberitaan pusat, sehingga melupakan banyak hal kecil yang perlu dibenahi dari lingkungan kita sendiri. Terhipnotis pada hal-hal besar, meremehkan hal-hal kecil, akhirnya semua usaha dan pekerjaan menjadi tidak semaksimal yang semestinya. Kita lihat saja tema diskusi-diskusi yang ada di sekeliling kita. Ada diskusi bela negara, diskusi UU Perguruan Tinggi, diskusi pemberantasan korupsi, dan sebagainya. Semua diskusi kebanyakan hanya berupa pemberian materi secara kaku, akhirnya diskusi akan berakhir mengambang, tanpa ada aksi tindak lanjut yang bermanfaat. Pernah tidak terbersit untuk mendiskusikan kebersihan toilet umum di Padang atau kebiasaan cimeeh orang Padang? Silakan menertawakan diri sendiri.
Tulisan ini sekedar ingin mengajak teman-teman untuk tidak melihat terlalu jauh dan mengambang. Coba kritis pada hal dasar yang akan memperkaya budaya dan mempengaruhi peradaban kita. Mulailah segala sesuatu dari diri sendiri dengan menjernihkan hati.
Saya sedang bermimpi mengupas kearifan lokal bersama teman-teman muda. 
Kita mengenang aset genetik Padang, seperti siamang dan beruk. Menciptakan merchandise unik dengan mencoba mengabadikannya dalam produk kreatif, seperti kaos, gantungan kunci, bahkan boneka. Menjualnya secara merata pada setiap toko terutama di lokasi wisata dan turisme.
Setelah itu saya mencicipi kekhasan cita rasa makanan atau kuliner tradisional pada kunjungan ke Festival Kuliner Ketan. Ada lamang tapai, beragam lapek, galamai, beragam bubur, dan kue-kue an. Sayapun menikmati bubur ketan hitam kesukaan saya. Wah, ramai sekali pedagang yang menebar senyum di sini.
Kemudian saya berterimakasih pada tim yang bekerja fokus dan memaksimalkan pelayanan pada daerah pariwisata Padang. Tiba-tiba saja saya berada di Bukittinggi dalam kereta api yang bergerak menuju Pantai Padang. Perjalanan yang luar biasa, bibir pantai begitu bersih dan pergerakan wisatawan terkontrol dengan tertib.
Seakan dipermainkan mesin waktu, saya baru saja mendarat dan sedang berjalan pada koridor bandara menuju hotel. Mereka memberikan atmosfir tradisional yang kental pada tempat-tempat yang terkait wisata dan turisme. Mulai dari kuliner lokal pada kafe-kafenya. Lagu dan instrumen musik lokal diputar mendengungkan telinga, Bahkan tarian beserta pakaian lokalnya ditampilkan pada lobi. Bukan hanya orang asing berambut pirang saja yang ikut meramaikan. Teman-teman muda pun banyak yang berusaha mengabadikan momen tersebut dalam kamera jinjingnya.
Kemudian, adik-adik saya mulai terangsang ikut melahirkan dan melestarikan produk lokal Padang yang unik, di mana saja.
Ahh, mimpi indah.
Mengusap keringat pada dahi, lalu membatin, saya mencintai kampung saya.



Jumat, 19 Oktober 2012

Sekilas Tentang Instrukturku

-->
-->
 Berbekal pengetahuan yang tidak seberapa, saya pun melangkahkan kaki keluar dari Gedung Auditorium Gubernur dengan bingung. Sosok seperti apa yang akan saya jadikan objek reportase saya? Sayapun melirik arloji hadiah dari mama tahun ini. Sudah pukul 15.45. Saya harus kembali lagi ke sini, pukul 17.30. Tiba-tiba saya teringat pukul 16.00 saya ada jadwal Sekolah Public Speaking dan Retorika Indonesia di Gedung RRI, tanpa ragu saya segera menuju TKP.
Sesampainya di lokal belajar pada salah satu ruangan di Gedung RRI, saya kembali melirik arloji. Masih pukul 15.50, sementara belum banyak peserta yang hadir. Saya terdiam sebentar dan kembali mengingat tugas reportase dari Bang Iwan. Saya langsung membatin, bagaimana kalau sang instruktur yang saya jadikan objek? Segera saya menorehkan pertanyaan-pertanyaan mendasar pada secarik kertas. Lalu menemui beliau di kursi belakang ruangan.
“Tidak, saya tidak sibuk. Ada apa?”
Jawaban yang saya harapkan, membatin sendiri.
 “Oh, tugas reportase? Boleh.. Boleh..”
Seketika itu juga saya lega. Satu persatu jawaban mengalun indah menemani setiap pertanyaan yang terlontar dari bibir saya. Perkenalkan, Nofrion Sikumbang, lebih sering dipanggil Pak Dion. Ia merupakan kepala Sekolah Public Speaking dan Retorika Indonesia (SPSRI) di RRI untuk dua tahun belakangan ini. Prestasi yang didapatkan dalam perjalanan, membuat ia diberi kepercayaan untuk amanat tersebut.
Dalam perjalananannya, melalui SPSRI, Dion berharap peserta didik bukan hanya sekedar bisa, tapi mampu berkomunikasi dengan etika yang benar. Walau SPSRI bersifat pendidikan non formal, banyak sekali tamatan peserta didik yang sangat terbantu, terutama ketika dalam dan mencari pekerjaan. Tamatan peserta didik juga ada yang sudah menjadi penyiar dan reporter. Menurutnya, kemampuan komunikasi merupakan faktor pendukung yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, di mana pun juga.
Pertemuan kali ini adalah pertemuan ketiga SPSRI dalam periode ini. Dion sosok komunikan ramah dan murah senyum. Pembawaan yang menarik, membuat suasana belajar menjadi tidak kaku dan menyenangkan. Setiap sepuluh menit ada saja gelak tawa dari peserta didik, hasil dari lelucon yang dilontarkannya. Benar-benar komunikan yang pantas sebagai instruktur SPSRI, batin saya. Ada rasa kebangaan tersendiri memiliki kesempatan mengenalnya.
Di balik kemampuan komunikasinya, sosok yang tetap bangga menempelkan suku Sikumbang pada namanya ini, ternyata memiliki cita-cita sederhana. Menjadi guru. Dion ingin menjadi orang yang bermanfaat dan merasa tertantang dalam hal berbagi ilmu dengan sesama. Konon ceritanya, dulu saat bersekolah di kota kelahiran, Solok, banyak guru yang sering bolos mengajar karena sakit. Dan hal itu yang mendorong mengapa ia ingin menjadi guru. Seakan-akan matanya ingin menyampaikan, berbagi ilmu adalah perbuatan mulia dan harus dilestarikan. Tekad dan kerja keras benar-benar membuat ia meraih cita-citanya dan sekarang bekerja sebagai Dosen Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) di Universitas Negeri Padang (UNP). Bukan itu saja, ketulusan niat menjadi tenaga pendidik membuat ia menyandang Dosen Luar Biasa Poli-Unand Jurusan Bahasa Inggris, Konsentrasi Public Speaking dan TV/Radio Broadcasting. Selain menjadi kepala SPSRI, saat ini ia juga aktif menjadi Penyiar Pro1 dengan program unggulan “Pelangi Edukasi”. Benar-benar pendidik, batin saya lagi.
Bapak kelahiran 11 November 1978 ini merupakan putera kedua Bapak Asmar dan Ibu Nurjida. Maret 2003 lalu, ia lulus S-1 Pendidikan Geografi, Yudisium Dengan Pujian. Pada masa kuliah, gelar Mahasiswa Teladan dan Juara LKTI Kelompok IPS juga berhasil ia raih. Tidak sedikit prestasi yang tercatat. Beberapa diantaranya, juara 1 Pria Lomba LP2P4 Tingkat Nasional tahun 1997, juara 1 MSQ Tingkat Sumatera Barat tahun 1999, juara 1 Pidato HIPORI Nasional tahun 2000, Pembawa Acara dan MC Terbaik Sumatera Barat tahun 2000, Pembaca Berita, Radio/TV Terbaik Sumatera Barat tahun 2000, Penyaji Terbaik Tingkat Nasional dalam PIMNAS tahun 2003, dan juara 1 Pemilihan Penyiar RRI yang membuat ia dikontrak sebagai Penyiar Pro2. Prestasi yang cukup berkesan baginya adalah Peserta Terbaik LPJ CPNS Golongan III tahun 2010 dan Juara 2 Kompetisi Suara Kencana Nasional tahun 2010.
Niat berbagi ilmu dan keterampilan telah Dion wujudkan dengan mendirikan Pusat Pengembangan Potensi Anak (P3A) Sakinah, khusus bagi Anak Jalanan di Kota Padang (2003-2004), Announcer And MC Course (2007), dan Sekolah Public Speaking dan Retorika Indonesia (2011). Kemampuan komunikasi yang patut diacungi jempol, membuat ia memperluas ranah permainannya. Sehingga pernah diundang menjadi pembicara dan instruktur sebuah acara  hingga ke Pulau Jawa
Banyaknya prestasi dan kepercayaan-kepercayaan berkelas yang telah diraih, tidak membuat ia berhenti bercita-cita. Tidak banyak Putra Minangkabau yang peduli dengan generasinya, seperti Dion. Sekarang, ia berharap sekali dapat mendirikan lembaga pembelajaran atau kursus terkait kemampuan komunikasi dengan konsentrasi sosial dan media, namun bersifat tidak komersil di Sumatera Barat, khususnya Padang. Hal ini mengingat mahalnya biaya untuk pelatihan komunikasi di Indonesia. Sementara dalam hasil survei National Association of Colleges and Employers, USA, 2002 (disurvei pada 457 pimpinan), kemampuan komunikasi adalah softskill nomor satu yang dianggap penting. Dion pun sudah mulai mengupayakannya, mendiskusikannya, juga melakukan seminar-seminar pendukung, tetapi masih menunggu investor-investor yang mau membantu dan lebih peduli pada peningkatan softskill generasi muda bangsa di Sumatera Barat.
“Sebelumnya, mendirikan SPSRI juga memiliki kendala-kendala tersendiri, terutama dalam hal birokrasi.” ungkap Dion.
Seharusnya pihak terkait bisa menilik hal ini dengan lebih cerdas, mengingat tingkat urgensi softskill yang satu ini, lagi-lagi saya membatin.
Awalnya, minat Dion akan dunia komunikasi bukannya tidak memiliki hambatan. Minimnya ketersediaan tempat kursus terkait di Padang, merupakan salah satunya. Beruntung sekali, pria dengan dua orang anak ini, lahir dan dibesarkan oleh orangtua yang juga sebagai tenaga pendidik. Sehingga dalam aktivitasnya, ia mendapat didikan, latihan, dan dukungan yang sehat dari kedua orangtua. Ia pun tetap semangat belajar otodidak (melalui buku dan menghadiri pelatihan-pelatihan terkait). Kini, Dion pun lebih nyaman dikategorikan sebagai tenaga pendidik, daripada sebagai public speaker.
Beberapa catatan pelatihan yang pernah beliau ikuti :
1.      Pelatihan MC dan Announcer Telkom persiapan MTQ Telkom Tingkat Nasional tahun 2000.
2.      Pembekalan Pewara dan MC MTQ PTP Nusantara tahun 2000.
3.      Pelatihan Pekerja Sosial dan Pendamping Orang Tua Anak Jalanan Program ADB dan APBN tahun 2000.
4.      Workshop Internet Bersama Roy Suryo tahun 2000.
5.      Workshop Pewara, MC, Moderator, dan Presenter LPP RRO tahun 2002, 2004, dan 2008.
6.      Pelatihan Pewara/MC Departemen Agama Sumbar tahun 2004.
7.      In House Training Dunia Siaran Radio, Pelatihan Program Radio Berbasis Multimedia tahun 2008.
8.      Pelatihan Dosen Muda Berkepribadian Unggul Dan Dosen Penasehat Akademik tahun 2010.
“Cerdas dalam intelegensi dan cerdas kemampuan berkomunikasi.” harapan Dion di penutup pembicaraan kami sore ini, sambungnya, “Kemampuan berkomunikasi merupakan pencitraan tersendiri sebagai seorang pribadi.”
Ia pun menyarankan, generasi muda, mahasiswa khususnya, agar aktif belajar tentang apapun di lingkungannya, membuka cakrawala dengan berkecimpung dalam organisasi, dan rajin mengikuti kursus-kursus untuk kemampuan softskill.
Singkat dan tidak muluk-muluk, batin saya yang terakhir.

Oleh : Cornelia Napitupulu
Jurusan Sastra Jepang 2010, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Bung Hatta Padang
19 Oktober 2012

Senin, 15 Oktober 2012

Sang Mantan Sulit Dilupakan


Ketika mendapat pengalaman menyakitkan dalam cinta setiap orang pasti berharap bisa dengan mudah untuk melupakannya. Tapi faktanya tidak semua orang bisa melakukannya terutama ketika harus melupakan sang mantan. Lalu sebenarnya apa yang membuat sang mantan sulit untuk dilupakan oleh sebagian besar orang? Berikut adalah beberapa penyebabnya:

1. Masih menyimpan kenangan indah
Masa-masa indah bersama mantan pacar memang sulit untuk dilupakan. Bisa jadi ini adalah salah satu penyebab kamu sulit untuk melupakan sang mantan. Tapi cobalah secara perlahan untuk menganggap kalau masa itu sudah berlalu. Jangan terlalu cepat untuk menghapusnya. Kalau masih belum bisa juga, akan lebih baik jika kamu tidak lagi mengungkit semua hal yang ada hubungannya dengan sang mantan terutama kenangan indah kalian berdua.

2. Rasa penasaran yang belum terjawab
Sampai sekarang kamu mungkin masih dilanda rasa bingung karena ketidakjelasan dari hubungan kalian yang berakhir begitu saja. Hal ini tentu secara tidak langsung membuat kamu kembali teringat dengan sang mantan. Cobalah untuk memuaskan rasa penasaran kamu dengan mencari tahu alasan jelas dari sang mantan. Lakukan dengan profesional jangan pakai perasaan. Kalau sampai kamu menggunakan perasaan yang ada justru kamu akan semakin sulit untuk melupakan dan lepas dari dirinya.

3. Rasa penyesalan
Setelah lama berpisah kamu mulai menyesali keputusan kamu untuk pisah dari sang mantan. Tapi karena satu dan lain hal kamu dan dia tidak mungkin untuk kembali berhubungan. Hal ini sangat memungkinkan kamu untuk semakin sulit melupakan dia. Cobalah untuk membuang rasa penyesalan itu. Tanamkan pada diri kamu kalau hubungan kalian memang harus berakhir. Oleh karena itu, kamu harus jadi pribadi lebih baik agar rasa penyesalan itu terbayar dengan perubahan yang baik dari diri kamu dan dia.

4. Belum siap untuk kehilangan
Terkadang tanpa bisa kita pungkiri pasti ada yang hilang ketika putus apalagi kalau kita diputuskan secara tiba-tiba. Kita masih mengingkari kenyataan dengan berpikiran kalau kamu dan dia sebenarnya belum putus. Rasa tidak siap seperti ini bisa menghambat proses untuk melupakan sang mantan. Cobalah untuk jujur pada diri sendiri kalau memang kamu belum terbiasa dan akan terbiasa seiring waktu berjalan.
Memang tidak mudah untuk melupakan semua hal yang pernah terjadi terutama yang ada hubungannya dengan perasaan. Tapi percayalah itu semua adalah proses yang harus kamu lalui. Seberapa berat proses itu harus kamu hadapi, cobalah untuk menghadapinya dengan tenang. Cobalah berpikir masih memikirkan sang mantan bukan berarti kamu masih mengingatnya tapi itu adalah proses untuk melupakannya.

Rabu, 10 Oktober 2012

Sejarah Pemikiran Jepang : Hubungan Aliran Sorai dengan Pendidikan Tradisional



Perlu diketahui bersama, pada intinya Sorai memperkenalkan suaut pilihan non-politik ke dalam sistemnya dengan pembedaan antara publik dan pribadi. Tujuan filsafat Sorai ada dua : di satu pihak, pemeliharaan tata tertib dalam negara dan perdamaian di dunia, dan di lain pihak, memperluas pandangan seseorang dan mempelajari fakta. Puisi, sastra, dan sejarah semuanya termasuk ke dalam bagian kedua, bidang urusan pribadi. Akan tetapi, diterimanya semua ajaran yang mampu memajukan usaha mengembangkan moral individu, bukan berarti bahwa Sorai melupakan kemurnian Jalan kaum Bijak.
Banyak faktor yang rumit yang menyumbang terbentuk nya Pendidikan Tradisional Nasional (kokugaku) dan asal usulnya sebagai suatu aliran tidak dapat dengan mudah didefenisikan, tetapi tidak dapat disangkal bahwa teori Sorai merupakan moment penting dalam penyusunan tersebut, karena sasarannya adalah menganalisis hubungan intelektual antara kedua aliran tersebut
Tujuannya tidaklah untuk menelusuri pengaruh Sorai atas cendikiawan secara individual tetapi memastikan bagaimana prosos disintegrasi aliran Pemikiran Chi Hsi masuk dalam penyusunan cara berpikir yang seragam yang dikenal sebagai Pendidikan Tradisional Nasional, dan sebagai hasilnya meneliti macam hubungan struktural yang berkembang diantara kedua aliran tersebut.
Para cendikiawan Pendidikan Tradisional Nasional mengacu pada aliran mereka sebagai “aliran Pendidikan Tradisional Kuno”. Para cendikiawan konfusian pada masa itu yakin bahwa aliran mereka berasal dari aliran Konfusian dari Pendidikan Tradisional Kuno, maka para cendekiawan Pendidikan Tradisional Nasional membuat suatu pernyataan khusus tentang tidak adanya hubungan apapun dengan aliran tersebut.
Kutsu Keizan, merupakan seorang Konfusian dari aliran Chi Hsi. Mungkin karena pengaruh surat menyuratnya dengan Sorai, mungkin karena ia mulai menjadi mitra kerja Sorai sesudah ia meninggalkan aliran Chu Hsi, dan mungkin karena gabungan dari kedua aliran tersebut, pemikirannya menjadi mirip sekali dengan pemikiran Sorai.
Keizan mengemukakan pendapat bahwa Li (azaz) tidak mungkin merupakan suatu standar mutlak sebagai azaz tertinggi, kerena merupakan suatu azaz yang abstrak, azaz tersebut dapat digunakan dengan cara apapun. Hal yang secara khusus menarik ialah penolakan Keizan atas rigorisme moral. Dalam mempelajari karya klasik konfusian, kurang lebih mengikuti aliran Chu Hsi, tetapi jika menyangkut tentang interpretasi puisi, yang berpendapat bahwa uraian Chi Hsi tidak mampu memahami esensinya.
Jalan menurut aliran Chu Hsi didasarkan atas azaz langit, bumi dan alam. Azaz in imeresapi langit dan manusia, meliputi masyarakat dan alam semesta. Azaz merupakan standar normatif dan juga hukum alam. Azaz merumuskan “apa yang harus ada” tetapi juga “apa yang ada”, yaitu kodrat asli (honzen no sei). Tetapi sebagai hasil disintegrasi cara berpikir kontinuatif , yang sudah ditelusuri melalui Soko, Jinsai, Ekken, unsur yang berbeda dari jalan Chi Hsi yang mutlak dan meliputi segala sesuatunya ini berlahan-lahan menjadi independen.
Sorai adalah orang prtama yang menyangkal bahwa Jalan merupakan azaz tertinggi, dengan menjadikannya tergantung pada manusia tertentu, kaum bijak. Tetapi karena manusia ini diangkat ke tingkat kehidupan luar dunia. Jalan tetap memiliki jalan keabsahan mutlak dan universal.
Konfusian dari awal masa Tokugawa berusaha membebaskan Shinto, yang sudah berkompromi dengan Budhisme seperti Sanno Shinto dan Ryobu Shinto, dan lainnya. Dengan pengaruh Budhis, dan bahkan menghubungkannya dengan Konfusianisme. Awal dari usaha semacam itu adalah dapat dilihat dalam tulisan-tulisan Fujiwara Seika, pendiri Konfusianisme Tokugawa menulis : “ tujuan akhir Shinto Jepang ialah meluruskan hati (kokoro), untuk menaruh belas kasih kepada setiap orang, dan untuk bertindak dengan murah hati. Tujuan akhir jalan yao dan shun sama. Di Cina, jalan ini disebut dengan Konfusianisme. Di Jepang disebut Shinto. Nama berbeda, namun jiwa tetap sama”.
Tujuan akhir Shinto dan Konfusianisme sama, maka ajaran dari jalan harus juga sama. Istilah “Shinto dari aliran rasionalis, yaitu aliran Chu hsi, berlaku bagi aliran Shinto dari Yoshikaa Yoretaru (1616-1694), yang muncul dari Yoshida Shinto untuk menjadi pejabat bakufu yang mengurusi Shinto, menujukkan dengan kelas sikap kompromi Shinto terhadap konfusianisme. Tetapi kebangkitan dan ketenaran aliran Sorai bagaikan sengatan arus yang melumpuhkan aliran yang aktif ke arah menyatunya Shinto dan Konfusianisme.”
Namun demikian, sudah jelas bahwa kemurnian intelektual aliran Sorai, karena pandangannya terhadap Shinto, menjadi perantara negatif antara aliran Sorai dan Pendidikan Tradisional Nasional.
Sebaliknya Norinaga mengalami perubahan besar. Dengan mendasarkan dirinya pada kesimpulan dari contoh-contoh dalam Kojiki, ia berpandangan bahwa disamping banyak dewa yang terdapat dalam karya klasik Jepang. Menurut Norinaga, “istilah ‘dewayang digunakan di negara Cina hanyalah suatu azas kosong dan tidak mengacu pada sesuatu apa pun yang bener ada. Tetapi, para dewa dari negara kekaisaran kita adalah nenek moyang Kaisar yang memerintah sekarang ini. Mereka jauh berbeda dari dewa-dewa yang didasarkan atas azas kosong. Dengan demikian ia memperjelas ia memperjelas penolakan sepenuhnya atas semua pandangan tentang dewa yang abstrak dan diidealisasikan.
Ada pendapat bahwa asal usul dari segala sesuatu langit dan bumi, alam dan kehidupan manusia manusia itu ditemukan pada para dewa, sedang menurut Norinaga “Segala tindakan para Dewa tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh manusia dalam kerangka azas biasa.” Ketika mereka berbicara tentang Jalan Langit dan para Dewa, mereka hanya menggunakan istilah dalam rangka pengertian. Tetapi tidaklah jelas bagi mereka apakah semua hal itu ada atau tidak.
Aliran Sorai memberikan dukungan internal kepada reformasi aliran Norinaga yang didirikan dalam Shinto. Karena Norinaga menarik kaum bijak turun ke bumi, ia secara dasar membuat perbedaan mutlak antara struktur suatu cara pemikiran dan bagi pemikiran ini Jalan merupakan  suatu cara ciptaan para dewa nenek moyang Jepang, dan struktur cara pemikiran Sorai, yang diungkapkan dalam pernyataan sederhana bahwa “ Jalan sejati bukanlah Jalan yang didasarkan pada manusia.”
Bagi aliran Norinaga , tidak penting lagi harus memberikan ciri kedewaan pada langit. Pada akhirnya langit hanyalah negara di mana dewa-dewa surgawi hidup. Isi  ajaran Norinaga memang berbeda  sekali dari ajaran Sorai, tetapi menggunakan metode pemikiran yang sama dalam menentukan landasannya. Ia menggunakan kritik Sorai terhadap rasionalisme Chu Hsi seluruhnya, dengan menggunakannya sebagai untuk mengahancurkan Konfusianisme dan segala aliran Konfusian ( yaitu aliran yang disebut karagokoro, atau “roh China”).
Aliran Sorai dan Norinaga mempunyai landasan yang sama dalam menciptakan pribadi-pribadi  ilahi sebagai landasan tertinggi bagi norma-norma dan mereka sebagai landasan untuk menolak normatif li yang impersonal.
Yang pertama dari hasil-hasil ini adalah warisan atau perkembangan pengaruh Sorai tentang kata dan istilah kuno jelas nampak dalam kedua tokoh Azumaro dan Mabuchi. “Sangat menonjol dalam hubungan antara Sorai dan Norinaga adalah fakta bahwa keinginan untuk membuang segala penilaian subyektif yang serampangan dari analisis philogis sesuai dengan sikap yang memberikan tempat keyakinan mutlak dalam entitas yang dipersonifikasikan, suatu sikap dasar bagi kedua aliran Sorai dan Norinaga.”
Baik Sorai maupun  Norinaga memberikan tekanan pada pentingnya untuk  membebaskan kesusasteraan dari etika dan politik dengan menyebutkan penggunaan politik dan sosialnya hanya sebagai hal yang tidak begitu penting. Cara berpikir mereka sama tetapi, kali ini Norinaga sudah mulai melampaui Sorai.  Norinaga yang jauh lebih muda, bahwa sastra mempunyai kegunaan politik. Optimis Norigana yang memandang zaman kuno sebagai suatu zaman ideal ketika setiap orang “hidup dengan damai dan bahagia”.
Pendidikan Tradisional Nasional dengan demikian muncul sebagai warisan bagi gerakan pemikiran di Jepang yang menyangkal segala temuan Konfusianisme. Dalam filsafat Sorai, perasaan batin manusia diberikan sebagai kebebasan negatif sebagai apa yang dapat disebut kehidupan pribadi, tetapi mereka menjadi kunci dari filsafat Pendidikan Tradisional Nasional.
Pendidikan Tradisional Nasional mewarisi aspek pribadi, non politis dari aliran Sorai, tetapi sepenuhnya menolak aspek publiknya. Bagi Norinaga, “Para cendekiawan haruslah memandang tugas mereka untuk meneliti dan menjelaskan jalan. Bukan secara pribadi melaksanakan jalan.” Itu mengapa jelas aliran Norinaga ini terkait dengan aliran Sorai, melalui aspek pribadi aliran Sorai.
Ada satu pemikiran Norinaga yang menarik untuk kita perhatikan sebagai mahasiswa. Norinaga sering sekali memuji Mabuchi (muridnya) karena ia selalu menasihati muridnya untuk tidak terikat oleh teori-teori guru mereka. “Jika seorang guru menyampaikan pandangannya, ornag tetap diam, menyembunyikan da menutupi kekurangannya agar kedengaran baik walaupun ia tahu itu keliru, ia hanya menunjukkan rasa hormat kepada gurunya dan tidak memikirkan Jalan.” Norinaga berpesan : “Jika orang orang berguru pada saya, mereka tidak boleh terpengaruh begitu saja oleh pandangan-pandangan pribadi saya. Mereka harus menunjukkan kekeliruan-kekeliruan saya dan membantu menyebarkan ide-ide yang lebih baik.