Rabu, 10 Oktober 2012

Sejarah Pemikiran Jepang : Hubungan Aliran Sorai dengan Pendidikan Tradisional



Perlu diketahui bersama, pada intinya Sorai memperkenalkan suaut pilihan non-politik ke dalam sistemnya dengan pembedaan antara publik dan pribadi. Tujuan filsafat Sorai ada dua : di satu pihak, pemeliharaan tata tertib dalam negara dan perdamaian di dunia, dan di lain pihak, memperluas pandangan seseorang dan mempelajari fakta. Puisi, sastra, dan sejarah semuanya termasuk ke dalam bagian kedua, bidang urusan pribadi. Akan tetapi, diterimanya semua ajaran yang mampu memajukan usaha mengembangkan moral individu, bukan berarti bahwa Sorai melupakan kemurnian Jalan kaum Bijak.
Banyak faktor yang rumit yang menyumbang terbentuk nya Pendidikan Tradisional Nasional (kokugaku) dan asal usulnya sebagai suatu aliran tidak dapat dengan mudah didefenisikan, tetapi tidak dapat disangkal bahwa teori Sorai merupakan moment penting dalam penyusunan tersebut, karena sasarannya adalah menganalisis hubungan intelektual antara kedua aliran tersebut
Tujuannya tidaklah untuk menelusuri pengaruh Sorai atas cendikiawan secara individual tetapi memastikan bagaimana prosos disintegrasi aliran Pemikiran Chi Hsi masuk dalam penyusunan cara berpikir yang seragam yang dikenal sebagai Pendidikan Tradisional Nasional, dan sebagai hasilnya meneliti macam hubungan struktural yang berkembang diantara kedua aliran tersebut.
Para cendikiawan Pendidikan Tradisional Nasional mengacu pada aliran mereka sebagai “aliran Pendidikan Tradisional Kuno”. Para cendikiawan konfusian pada masa itu yakin bahwa aliran mereka berasal dari aliran Konfusian dari Pendidikan Tradisional Kuno, maka para cendekiawan Pendidikan Tradisional Nasional membuat suatu pernyataan khusus tentang tidak adanya hubungan apapun dengan aliran tersebut.
Kutsu Keizan, merupakan seorang Konfusian dari aliran Chi Hsi. Mungkin karena pengaruh surat menyuratnya dengan Sorai, mungkin karena ia mulai menjadi mitra kerja Sorai sesudah ia meninggalkan aliran Chu Hsi, dan mungkin karena gabungan dari kedua aliran tersebut, pemikirannya menjadi mirip sekali dengan pemikiran Sorai.
Keizan mengemukakan pendapat bahwa Li (azaz) tidak mungkin merupakan suatu standar mutlak sebagai azaz tertinggi, kerena merupakan suatu azaz yang abstrak, azaz tersebut dapat digunakan dengan cara apapun. Hal yang secara khusus menarik ialah penolakan Keizan atas rigorisme moral. Dalam mempelajari karya klasik konfusian, kurang lebih mengikuti aliran Chu Hsi, tetapi jika menyangkut tentang interpretasi puisi, yang berpendapat bahwa uraian Chi Hsi tidak mampu memahami esensinya.
Jalan menurut aliran Chu Hsi didasarkan atas azaz langit, bumi dan alam. Azaz in imeresapi langit dan manusia, meliputi masyarakat dan alam semesta. Azaz merupakan standar normatif dan juga hukum alam. Azaz merumuskan “apa yang harus ada” tetapi juga “apa yang ada”, yaitu kodrat asli (honzen no sei). Tetapi sebagai hasil disintegrasi cara berpikir kontinuatif , yang sudah ditelusuri melalui Soko, Jinsai, Ekken, unsur yang berbeda dari jalan Chi Hsi yang mutlak dan meliputi segala sesuatunya ini berlahan-lahan menjadi independen.
Sorai adalah orang prtama yang menyangkal bahwa Jalan merupakan azaz tertinggi, dengan menjadikannya tergantung pada manusia tertentu, kaum bijak. Tetapi karena manusia ini diangkat ke tingkat kehidupan luar dunia. Jalan tetap memiliki jalan keabsahan mutlak dan universal.
Konfusian dari awal masa Tokugawa berusaha membebaskan Shinto, yang sudah berkompromi dengan Budhisme seperti Sanno Shinto dan Ryobu Shinto, dan lainnya. Dengan pengaruh Budhis, dan bahkan menghubungkannya dengan Konfusianisme. Awal dari usaha semacam itu adalah dapat dilihat dalam tulisan-tulisan Fujiwara Seika, pendiri Konfusianisme Tokugawa menulis : “ tujuan akhir Shinto Jepang ialah meluruskan hati (kokoro), untuk menaruh belas kasih kepada setiap orang, dan untuk bertindak dengan murah hati. Tujuan akhir jalan yao dan shun sama. Di Cina, jalan ini disebut dengan Konfusianisme. Di Jepang disebut Shinto. Nama berbeda, namun jiwa tetap sama”.
Tujuan akhir Shinto dan Konfusianisme sama, maka ajaran dari jalan harus juga sama. Istilah “Shinto dari aliran rasionalis, yaitu aliran Chu hsi, berlaku bagi aliran Shinto dari Yoshikaa Yoretaru (1616-1694), yang muncul dari Yoshida Shinto untuk menjadi pejabat bakufu yang mengurusi Shinto, menujukkan dengan kelas sikap kompromi Shinto terhadap konfusianisme. Tetapi kebangkitan dan ketenaran aliran Sorai bagaikan sengatan arus yang melumpuhkan aliran yang aktif ke arah menyatunya Shinto dan Konfusianisme.”
Namun demikian, sudah jelas bahwa kemurnian intelektual aliran Sorai, karena pandangannya terhadap Shinto, menjadi perantara negatif antara aliran Sorai dan Pendidikan Tradisional Nasional.
Sebaliknya Norinaga mengalami perubahan besar. Dengan mendasarkan dirinya pada kesimpulan dari contoh-contoh dalam Kojiki, ia berpandangan bahwa disamping banyak dewa yang terdapat dalam karya klasik Jepang. Menurut Norinaga, “istilah ‘dewayang digunakan di negara Cina hanyalah suatu azas kosong dan tidak mengacu pada sesuatu apa pun yang bener ada. Tetapi, para dewa dari negara kekaisaran kita adalah nenek moyang Kaisar yang memerintah sekarang ini. Mereka jauh berbeda dari dewa-dewa yang didasarkan atas azas kosong. Dengan demikian ia memperjelas ia memperjelas penolakan sepenuhnya atas semua pandangan tentang dewa yang abstrak dan diidealisasikan.
Ada pendapat bahwa asal usul dari segala sesuatu langit dan bumi, alam dan kehidupan manusia manusia itu ditemukan pada para dewa, sedang menurut Norinaga “Segala tindakan para Dewa tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh manusia dalam kerangka azas biasa.” Ketika mereka berbicara tentang Jalan Langit dan para Dewa, mereka hanya menggunakan istilah dalam rangka pengertian. Tetapi tidaklah jelas bagi mereka apakah semua hal itu ada atau tidak.
Aliran Sorai memberikan dukungan internal kepada reformasi aliran Norinaga yang didirikan dalam Shinto. Karena Norinaga menarik kaum bijak turun ke bumi, ia secara dasar membuat perbedaan mutlak antara struktur suatu cara pemikiran dan bagi pemikiran ini Jalan merupakan  suatu cara ciptaan para dewa nenek moyang Jepang, dan struktur cara pemikiran Sorai, yang diungkapkan dalam pernyataan sederhana bahwa “ Jalan sejati bukanlah Jalan yang didasarkan pada manusia.”
Bagi aliran Norinaga , tidak penting lagi harus memberikan ciri kedewaan pada langit. Pada akhirnya langit hanyalah negara di mana dewa-dewa surgawi hidup. Isi  ajaran Norinaga memang berbeda  sekali dari ajaran Sorai, tetapi menggunakan metode pemikiran yang sama dalam menentukan landasannya. Ia menggunakan kritik Sorai terhadap rasionalisme Chu Hsi seluruhnya, dengan menggunakannya sebagai untuk mengahancurkan Konfusianisme dan segala aliran Konfusian ( yaitu aliran yang disebut karagokoro, atau “roh China”).
Aliran Sorai dan Norinaga mempunyai landasan yang sama dalam menciptakan pribadi-pribadi  ilahi sebagai landasan tertinggi bagi norma-norma dan mereka sebagai landasan untuk menolak normatif li yang impersonal.
Yang pertama dari hasil-hasil ini adalah warisan atau perkembangan pengaruh Sorai tentang kata dan istilah kuno jelas nampak dalam kedua tokoh Azumaro dan Mabuchi. “Sangat menonjol dalam hubungan antara Sorai dan Norinaga adalah fakta bahwa keinginan untuk membuang segala penilaian subyektif yang serampangan dari analisis philogis sesuai dengan sikap yang memberikan tempat keyakinan mutlak dalam entitas yang dipersonifikasikan, suatu sikap dasar bagi kedua aliran Sorai dan Norinaga.”
Baik Sorai maupun  Norinaga memberikan tekanan pada pentingnya untuk  membebaskan kesusasteraan dari etika dan politik dengan menyebutkan penggunaan politik dan sosialnya hanya sebagai hal yang tidak begitu penting. Cara berpikir mereka sama tetapi, kali ini Norinaga sudah mulai melampaui Sorai.  Norinaga yang jauh lebih muda, bahwa sastra mempunyai kegunaan politik. Optimis Norigana yang memandang zaman kuno sebagai suatu zaman ideal ketika setiap orang “hidup dengan damai dan bahagia”.
Pendidikan Tradisional Nasional dengan demikian muncul sebagai warisan bagi gerakan pemikiran di Jepang yang menyangkal segala temuan Konfusianisme. Dalam filsafat Sorai, perasaan batin manusia diberikan sebagai kebebasan negatif sebagai apa yang dapat disebut kehidupan pribadi, tetapi mereka menjadi kunci dari filsafat Pendidikan Tradisional Nasional.
Pendidikan Tradisional Nasional mewarisi aspek pribadi, non politis dari aliran Sorai, tetapi sepenuhnya menolak aspek publiknya. Bagi Norinaga, “Para cendekiawan haruslah memandang tugas mereka untuk meneliti dan menjelaskan jalan. Bukan secara pribadi melaksanakan jalan.” Itu mengapa jelas aliran Norinaga ini terkait dengan aliran Sorai, melalui aspek pribadi aliran Sorai.
Ada satu pemikiran Norinaga yang menarik untuk kita perhatikan sebagai mahasiswa. Norinaga sering sekali memuji Mabuchi (muridnya) karena ia selalu menasihati muridnya untuk tidak terikat oleh teori-teori guru mereka. “Jika seorang guru menyampaikan pandangannya, ornag tetap diam, menyembunyikan da menutupi kekurangannya agar kedengaran baik walaupun ia tahu itu keliru, ia hanya menunjukkan rasa hormat kepada gurunya dan tidak memikirkan Jalan.” Norinaga berpesan : “Jika orang orang berguru pada saya, mereka tidak boleh terpengaruh begitu saja oleh pandangan-pandangan pribadi saya. Mereka harus menunjukkan kekeliruan-kekeliruan saya dan membantu menyebarkan ide-ide yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro