Selasa, 18 Juni 2013

15 menit Kisahku

Ini akan menjadi hal yang tidak terlupakan oleh saya.

Bagi beberapa orang yang lahir dan hidup dengan kondisi yang lebih beruntung daripada saya, mungkin pengalaman yang akan saya ceritakan ini tidak terlalu banyak memberikan arti. Tapi jika Anda punya waktu luang sekitar 15 menit ke depan, bacalah. Saya berharap bisa memotivasi semua pembaca.

Sekalipun tidak ada niat menjelek2an pihak tertentu agar menonjolkan atau mempromosikan pihak tertentu lain dalam tulisan ini. Adapun yang saya tuliskan semuanya adalah fakta yang bisa dipertanggungjawabkan.

Saya berharap agar pembaca mengambil hikmah dari segi positif atas cerita saya ini. Saya sendiri juga tidak berniat pamer atau sombong akan kejadian-kejadian yang akan saya ceritakan setelah ini. Saya hanya menuliskan apa yang terjadi, agar bisa menjadi motivasi bagi semua pembaca yang mungkin mengalami kesedihan akibat kegagalan dalam hidup Anda. Lagipula saya tidak bisa merasakan kebahagiaan2 dalam hidup ini sendirian saja. ^_^

Mengikhlaskan PTN yang telah menerima saya melalui ujian SNMPTN adalah pekerjaan yang tidak ringan. Apalagi bagi pelajar baru lulus SMA yang secara psikologis sangat labil. Ketidaktenangan batin saya memuncak saat itu. Nama Tuhan pun saya cerca karena menganggap ada ketidakadilan yang telah Ia tuliskan pada masa depan saya.

Semua orang pasti bercita-cita ingin melanjutkan pendidikan ke PTN daripada ke PTS. Bagaimana tidak? Dengan biaya lebih murah, fasilitas yang juga lebih memadai dan lulusannya lebih dianggap ketika melamar pekerjaan. Mungkin hanya beberapa orang (biasanya orang dengan tingkat ekonomi lebih tinggi) yang sejak dini sudah memilih PTS. Banyak hal yang bisa menyebabkannya, mulai dari ketakutan pribadi, keinginan orangtua, untuk prestise tertentu, atau karena memang PTS tersebut lebih berkualitas dibanding di PTN, dan sebagainya.

Begitu juga dengan saya. Walaupun menyandang peringkat 1 ujian nasional SMA hanya untuk ruang lingkup kelas saya sendiri (yang berjumlah 30 orang), saya merasa cukup bangga dan merasa diri pantas untuk menginjakkan kaki di PTN. Saya pun belajar sedikit lebih giat, bekerja sedikit lebih keras, karena orangtua saya tidak mengijinkan saya untuk mengikuti bimbel (bimbingan belajar) di mana pun.

Singkat cerita, saya memutuskan Univ.Gajah Mada dengan jurusan Hubungan Internasional untuk pilihan pertama dan Univ.Padjajaran dengan jurusan Sastra Jepang untuk pilihan kedua. Dan malam di mana papa baru keluar dari rumah sakit itu, pengumuman kelulusan melalui dunia maya itu menyatakan bahwa saya lulus di pilihan kedua.

Tapi kenyataan tidak berpihak pada keinginan saya. Dengan alasan "tidak ada biaya yang cukup", orangtua dan kedua kakak saya tidak mengizinkan saya melangkahkan kaki saya ke universitas di kota Bandung itu. Saya dengan penuh dilema, gejolak, dan kejadian menyedihkan,  akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Univ. Bung Hatta, salah satu PTS di kota Padang, masih dengan jurusan yang sama (Sastra Jepang). Keputusan inipun saya ambil tidak lebih karena promosi menggiurkan, hitungan 2 menit, oleh guru SMA saya yang juga dosen di jurusan tersebut. Terbersit keinginan untuk ke Jepang, walaupun saya bukanlah maniak komik (manga), film Jepang, ataupun artis2 mereka. Bagaimana karakteristik pribadi Jepang yang luar biasa lah yang membuat saya ingin ke sana.

Saya tidak menjelek-jelekkan kota yang sudah membesarkan saya selama 17 tahun ini. Tapi Padang adalah kota yang tidak mudah (bagi kami yang beragama non muslim) untuk berkembang, dan saya adalah Katolik. Sebelumnya janganlah berpikiran picik ataupun negatif terlebih dahulu. Saya berbicara mengenai fakta. Banyak cerita dari senior-senior saya tentang bagaimana dan apa yang terjadi pada kami yang minoritas secara agama di perguruan tinggi di sini. Misalnya, tetap ada jadwal kuliah atau ujian di hari raya kami, diskriminasi nilai atau sikap, menjelek2an hari raya tertentu dengan spanduk2 bahkan poster2 di kampus, pemaksaan penggunaan hijab (jilbab) bagi perempuan, isu kristenisasi yang (dulu) sempat memicu kekerasan pada mahasiswa kristen dan sebagainya. Dan semua kejadian yang saya sebutkan di atas masih terjadi hingga sekarang.

Tapi semua yang saya sebutkan di atas, tidak terjadi di universitas saya ini. Itulah hal pertama yang selalu menjadi kebanggan tersendiri bagi saya. Ketakutan pribadi saya lenyap oleh senyum-senyum ramah para pengajar, teman-teman, dan senior-senior saya. Walaupun saya tidak pernah memaksanya, tanpa saya sangka ada beberapa dosen yang menyalami saya ketika hari raya saya tiba di tahun pertama saya di sebuah warung di kampus saya (di depan umum).

Beberapa teman saya yang kuliah di PTN/PTS lain bahkan mengatakan :
"Wah, berani sekali kamu memakai kalung salib ke kampus?"
" Enak ya di Bung Hatta sudah plural. Dosen saja mau nanyain kamu sudah buat kue atau tidak."

Lingkungan kampus saya memang bukanlah lingkungan yang penuh keberagaman agama, seperti PTS lainnya di pulau Jawa yang mayoritas dihuni masyarakat Tionghoa dan Katolik. Di kampus saya, katolik masih menjadi agama minoritas hingga sekarang, tapi itu tidak menjadi alasan bagi masyarakatnya untuk mengucilkan keberadaan saya. Kenyataan ini membuat saya tidak memiliki halangan apapun untuk maju. Itu membuat semangat melanjutkan studi di univ ini menjadi lebih tinggi. Beberapa orang hanya menjadikan PTS sebagai tempat persinggahan hingga tahun depan kembali mencoba mengikuti ujian SNMPTN lagi. Istilahnya “daripada tidak kuliah tahun ini”. Tapi saya tidak. Bagaimanapun orangtua, teman-teman mencomooh keberadaan saya di PTS, saya tidak peduli. Itu hanyalah lecutan untuk saya agar menjadi lebih giat daripada mereka.

Satu-satu prestasi saya ukir. Saya sendiri tidak ingat darimana saya mulai menjadi populer dan mulai diperhitungkan oleh para pengajar dan teman-teman. Tapi prestasi yang pertama yang saya ingat adalah pada tahun pertama saya, saya mendapatkan juara 2 lomba mendongeng bahasa Inggris seprovinsi yang diselenggarakan oleh senior-senior saya di jurusan Sastra Inggris. Sebelumnya saya tidak tahu bahwa kemampuan bahasa Inggris adalah nilai lebih bagi mahasiswa Sastra Jepang. Ternyata kemampuan tersebut adalah hal yang jarang diminati bagi beberapa dari kami. Sehingga kemampuan bahasa Inggris saya yang sebenarnya tidak seberapapun seketika menjadi sorotan beberapa pihak.

Berikutnya pada tahun pertama juga, saya lulus ujian Noryokushiken (sejenis TOEFL, tapi dengan bahasa Jepang) dengan level 5. Level itu adalah level terendah pada ujian tersebut. Hanya saya mahasiswa tahun satu yang mengikuti ujian tersebut, selebihnya adalah mahasiswa tahun dua. Tahun berikutnya saya menjadi yang satu-satunya lulus ujian level 4 di univ saya ketika sebagian besar teman-teman seangkatan saya mengikutinya.

Tahun kedua, saya meraih juara 1 untuk Lomba Pidato Bahasa Jepang se-Sumatera bagian tengah, mengalahkan 3 PTN dari Padang, Riau, Lampung, serta PTS dan lembaga kursus lainnya. Prestasi itu mengirim saya untuk mengikuti lomba yang sama di Jakarta untuk tingkat nasional dan jika meraih juara 1 akan dikirim ke Jepang. Tapi ternyata saya harus belajar untuk kalah, agar mau belajar lebih rajin lagi. Biasanya yang mengikuti lomba tersebut adalah mahasiswa yang sudah mengambil mata kuliah Benron/Pidato (tersedia pada tahun 3), bukan saya yang masih terbilang baru untuk hal tersebut.

Kemudian tahun ketiga semester 1 saya kembali mengikuti ujian Noryokushiken dengan level lebih tinggi yaitu level 3. Walaupun semua sudah yakin saya akan lulus-lulus saja, ternyata saya tidak lulus. Lagi-lagi saya diberi waktu untuk belajar lebih giat lagi. Semoga saja saya lulus akhir tahun nanti ya.

Pada semester 2 nya dengan sangat tidak pantas, saya mendapatkan juara 1 untuk Mahasiswa Berprestasi se-Universitas (mahasiswa teladan). Mengapa tidak pantas? Karena memang karya tulis yang saya kumpulkan sebenarnya bukanlah karya tulis yang terbagus. Tapi dengan faktor X yang masih menjadi misteri Ilahi, saya pun menyandang gelar itu untuk tahun 2013 ini (saya rasa mungkin karena kemampuan presentasi dan b.Inggris saya). Dengan hormatnya nama saya dipanggil dan disalam oleh Rektor di depan para petinggi kampus, dosen dan senior2 serta teman2 pada acara Dies Natalies ke 32 universitas saya. Saya mendapatkan uang tunai sebesar 1 juta rupiah untuk prestasi itu, yang kemudian ¾ nya saya gunakan untuk membayar biaya KKN (kuliah kerja nyata) saya, yang akan diadakan tahun ini di saat bulan puasa nanti. Peringkat itu mengirim saya ke tingkat Kopertis (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta) Wilayah X, berkompetisi dengan PTS asal Sumbar, Batam, Riau, dan Jambi. Sayang sekali, saya lagi-lagi kalah dan masih harus banyak belajar lagi.

Pada tahun ini juga saya mengikuti ujian beasiswa untuk melanjutkan studi ke Jepang di Sonoda Women University. Beasiswa ini merupakan kerjasama pihak jurusan saya yang sudah berlangsung selama 9 tahun. Setiap tahun, setiap mahasiswi (cewek saja) dengan tahun angkatan yang masih available, memiliki kesempatan untuk mendapatkannya. Hanya saja bukan merupakan beasiswa full, karena untuk tiket awal dan kehidupan selama sebulan pertama kita harus menggunakan biaya pribadi, yang ditotal sekitar 20 juta rupiah. Itu menjadi beban tersendiri bagi saya karena orangtua saya tidak menyanggupinya jika saya lulus. Orangtua saya sendiri dengan berat hati menandatangani surat perjanjian terkait hal tersebut. Tahun ini kesempatan pertama saya, saya mengikutinya. Cukup banyak yang sudah yakin saya akan mendapatkannya. Tapi tidak. Saya tidak lulus bahkan di ujian pertama.

Di tahun yang sama, atas paksaan dosen2, saya mengikuti kembali lomba pidato bahasa Jepang yang sudah saya juarai tahun kemarin. Dosen-dosen berharap kali ini saya bisa menang lagi sehingga memenangkannya juga di tingkat nasional nantinya, lalu pergi ke Jepang menjemput impian saya. Tapi bukan seperti itu jalan yang sudah dituliskan untuk saya. Saya bahkan hanya mendapat peringkat harapan 1 tahun ini, dan saya dikalahkan oleh peserta dari Lampung yang merupakan peserta yang sama yang sudah saya kalahkan pada lomba sebelumnya. Sebenarnya jauh dalam lubuk hati saya, saya merasa malu, merasa prestasi saya menurun. Tapi beberapa dosen tetap mendukung saya bahkan menyuruh saya lagi untuk kembali ikut tahun depan. Karena kebetulan memang banyak kesibukan dan tanggungjawab yang saya emban pada waktu yang sama, sehingga saya tidak memberi fokus terlalu banyak untuk lomba tersebut.

Tidak lama setelah itu, adalah sekarang.

Ketika saya menghirup udara dengan jantung yang bergetar lebih kuat daripada biasanya.

Saya mendapat beasiswa dari program JENESYS 2.0 (Japan – East Asia Network of Exchange for Students and Youths 2.0) untuk mengikuti kegiatan semacam study tour selama seminggu ke Jepang dengan segala biaya (transpor, akomodasi, logistik) full ditanggung oleh pihak penyelenggara (kecuali biaya pribadi seperti jajan dan oleh2). Beasiswa ini saya dapatkan setelah memenuhi beberapa persyaratan, seperti essay berbahasa Inggris dengan tema “Hubungan Indonesia-Jepang”, sertifikat Toefl minimal 480, dan administrasi lainnya. Beasiswa ini adalah kerjasama kementerian luar negeri dengan Japan International Coorperation Center (JICE).

Ini tidak pernah menjadi rencana saya. Info terkait program JENESYS 2.0 sendiri baru saya ketahui tahun ini. Sungguh berkah Yang Maha Kuasa. Dukungan pihak dosen dan teman-teman juga tidak bisa saya lupakan dalam hal ini.

Sejak tahun lalu, saat saya kalah di lomba pidato di Jakarta, saya sudah menuliskan “Tahun 2013 harus di Jepang” di kalender saya (yang masih terpampang hingga sekarang). Harapan saya saat menulis itu adalah melalui beasiswa Sonoda. Harapan itu saya bawa dalam doa setiap Minggu setiap ke Gereja. Karena saya tidak lulus ujian beasiswa Sonoda, sempat terpikir Tuhan tidak mengabulkan doa saya, tapi saya keliru. Tuhan tetap mengabulkan doa saya, hanya dengan jalur yang berbeda, dan menurut saya jauh lebih menguntungkan.

Belum selesai urusan saya sampai di sana. Untuk urusan pribadi seperti pasport, jelas merupakan biaya pribadi. Karena tidak diberi waktu lama untuk membuatnya, dosen menyarankan saya untuk mengambil jalan ilegal, dengan membayar lebih, sejumlah 900rb rupiah. Awalnya saya bingung akan mendapatkan uang darimana, tapi Tuhan telah menitipkan sahabat dan dosen yang ternyata memberi saya pinjaman uang.

Tulisan ini saya tuliskan H-4 sebelum keberangkatan saya ke Jepang. Saya benar-benar terharu atas banyak kejadian dalam hidup saya. Setelah saya melihat tiket yang dikirim melalui email di kos seorang sahabat saya tadi sore, jantung saya bergetar sangat hebat. Ada yang ingin saya peluk saat ini sebenarnya, orangtua saya. Tapi karena tidak kesampaian, saya pun memeluk sahabat saya saja, karena saya tidak mampu menahan getaran ini sendirian saja.

Rejeki saya belum selesai sampai di situ. Ada pertanyaan manusiawi yang muncul dari hati kecil saya, "Apakah saya akan ke Jepang dengan tangan kosong? Sampai hari ini orangtua saya tidak memberi tanda-tanda akan memberikan apa-apa."

Tapi saya jalani saja dulu semuanya dengan doa yang ikhlas dan semangat yang tak pernah padam. Hingga suatu hari saya mendapatkan rejeki 1 juta rupiah dari dosen saya, ketua jurusan saya. Awalnya saya tidak berniat menuliskan ini semua. Tapi tanpa beliau, saya jelas akan dengan tangan kosong ke Jepang. Setidaknya dengan uang beliau, saya bisa membelikan oleh2 untuk para dosen dan teman2 yang telah sangat banyak membantu saya.

Setelah membaca runtutan ini saya yakin, banyak yang berargumen bahwa saya adalah si kutu buku, si pembelajar yang baik, dan tidak mengenal lingkungan sosial dengan baik. Itu salah. Saya mengikuti organisasi di dalam dan luar kampus saya. Organisasi pertama yang saya ikuti adalah PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). PMKRI adalah organisasi nasional dengan lebih dari 50 cabang se-Indonesia. Dari namanya yang menyandang kata Katolik, mungkin Anda beranggapan itu adalah organisasi keagamaan. Tapi bukan seperti itu, organisasi ini berlaku untuk agama atau suku apa saja, asal menerima ajaran Katolik tetapi tanpa memaksa mereka untuk menjadi Katolik. Organisasi ini berisi mahasiswa yang berjuang membela rakyat miskin atau marginal, dalam rangka mencintai Gereja dan Tanah Air. Saya sempat menjabat sebagai biro Presidium Pendidikan dan Kaderisasi di cabang Padang.

Kemudian saya masuk ke UKM (unit kegiatan mahasiswa) DIORAMA (radio suara mahasiswa), yang merupakan organisasi tingkat universitas yang bergerak di bidang radio. Saya menjabat sebagai sekretaris hingga sekarang. Sebelumnya saya juga ikut dalam organisasi tingkat jurusan yaitu HIMA (Himpunan Mahasiswa Asia Timur) sebagai anggota divisi Humas. Dan sekarang saya menjabat sebagai wakil gubernur untuk Badan Eksekutif Masyarakat Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya. Jadi jangan khawatir dengan kemampuan bersosialisasi saya.

Hanya saja, dengan kegiatan yang banyak, memang membuat saya tidak menghabiskan banyak waktu di rumah. Saya rasa di sinilah nilai minus saya. Kedua orangtua saya SERING SEKALI memarahi saya, hampir setiap hari. Banyak pekerjaan rumah tangga yang terbengkalai sehingga papa menjadi terbebani, karena mama saya bekerja di luar kota, di Pekanbaru, dan hanya balik sekali seminggu ke rumah. Bagi mereka, segala prestasi yang saya dapatkan menjadi tidak begitu berarti ketika saya tidak berhasil bertanggungjawab akan kewajiban saya sebagai perempuan di rumah saya.

Seperti hari ini, walaupun saya akan menikmati perjalanan pertama saya ke luar negeri, situasi di rumah saya tidak seperti yang Anda bayangkan. Atmosfer yang biasa saja. Saya bisa memaklumi hal tersebut. Saya mengerti kekecewaan mereka. Saya menerima dengan lapang dada semua kemarahan mereka, ketidaksenangan mereka akan kehadiran saya. Terlebih lagi dengan saya yang membutuhkan biaya kuliah jauh lebih besar dibandingkan kakak2 saya sebelumnya, saya rasa saya pantas dikatakan sudah sangat merepotkan mereka. Untuk hal yang satu ini saya mengungkapkan beribu maaf dalam tulisan ini. Semoga suatu saat orangtua saya mengerti akan pilihan-pilihan saya, karena saya akan bertanggungjawab akan itu. Saya tidak mengharapkan banyak hal dari orangtua saya, selain doa yang mereka panjatkan setiap menyebut nama Tuhan.

Begitulah sekiranya cerita singkat saya selama berkuliah di Universitas Bung Hatta. Walaupun awalnya berat, tapi sekarang saya benar-benar bersyukur, beruntung, dan bangga kuliah di sini. Saya merasakan rahmat Tuhan yang luar biasa dalam kegagalan dan keberhasilan saya saat proses perkuliahan. Karena saya belum tentu mendapat prestasi yang sama, kebahagiaan yang setara jika saya memaksakan diri untuk kuliah di PTN.

Terimakasih telah membaca. Jika setelah membaca tulisan ini Anda tidak menghabiskan waktu 15 menit, maka gunakanlah sisanya untuk merenungkan mimpi Anda, yang bisa mulai dikerjakan SEKARANG. 

Semoga inspiratif dan mampu memotivasi yang belum termotivasi.

Salam.

8 komentar:

  1. weis asik. selamat yak. titip salam buat cewek2 di jepang wwkkwkwkw

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasiii massss :D tapi tetap aja ya ujung2nya moduus :P

      Hapus
  2. bagus sekali...ceritanya...
    oh ya selamat ya...dapat hadiah belajar di jepang..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasii bang izon :) mohon doa nya ya mas :)

      Hapus
  3. terharu bacanya,,,tetap semangaaaaat ya,,,
    semoga keberuntungan selalu mengikuti...amiiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kamu juga tetap semangat yaaa :') Semua punya keberuntungannya masing2.. Trimakasih atas doanya :)

      Hapus
  4. Inspiring everyone who read it.
    Satu hal yg sering muncul dalam keadaan seperti ini, di tengah kesibukan dan prestasi yg sedang kita jalani dan nikmati adalah kata "sombong" yang akan selalu terdengar dari cibiran orang lain bahkan teman sendiri. Namun jgan pernah anggap itu sebagai rem perjalanan Kakak, namun sebagai bahan refleksi. Karena mereka yg berkata demikian adalah org yg tidak mengerti kita sedang melakukan apa.

    Tetaplah bersinar sampai waktunya harus meredup.

    BalasHapus
    Balasan
    1. okeee edo :) senang bisa menginspirasi pembaca :')

      iya ingatin aja aku, kalau aku udah sombong yaa :)

      Hapus

Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro