Perlu diketahui bersama, pada intinya
Sorai memperkenalkan suaut pilihan non-politik ke dalam sistemnya dengan
pembedaan antara publik dan pribadi. Tujuan filsafat Sorai ada dua : di satu
pihak, pemeliharaan tata tertib dalam negara dan perdamaian di dunia, dan di
lain pihak, memperluas pandangan seseorang dan mempelajari fakta. Puisi,
sastra, dan sejarah semuanya termasuk ke dalam bagian kedua, bidang urusan
pribadi. Akan tetapi, diterimanya semua ajaran yang mampu memajukan usaha
mengembangkan moral individu, bukan berarti bahwa Sorai melupakan kemurnian
Jalan kaum Bijak.
Banyak faktor yang rumit yang menyumbang
terbentuk nya Pendidikan Tradisional Nasional (kokugaku) dan asal usulnya
sebagai suatu aliran tidak dapat dengan mudah didefenisikan, tetapi tidak dapat
disangkal bahwa teori Sorai merupakan moment penting dalam penyusunan tersebut,
karena sasarannya adalah menganalisis hubungan intelektual antara kedua aliran
tersebut
Tujuannya tidaklah untuk menelusuri
pengaruh Sorai atas cendikiawan secara individual tetapi memastikan bagaimana
prosos disintegrasi aliran Pemikiran Chi Hsi masuk dalam penyusunan cara
berpikir yang seragam yang dikenal sebagai Pendidikan Tradisional Nasional, dan
sebagai hasilnya meneliti macam hubungan struktural yang berkembang diantara
kedua aliran tersebut.
Para cendikiawan Pendidikan Tradisional
Nasional mengacu pada aliran mereka sebagai “aliran Pendidikan Tradisional
Kuno”. Para cendikiawan konfusian pada masa itu yakin bahwa aliran mereka
berasal dari aliran Konfusian dari Pendidikan Tradisional Kuno, maka para
cendekiawan Pendidikan Tradisional Nasional membuat suatu pernyataan khusus
tentang tidak adanya hubungan apapun dengan aliran tersebut.
Kutsu Keizan, merupakan seorang Konfusian
dari aliran Chi Hsi. Mungkin karena pengaruh surat menyuratnya dengan Sorai,
mungkin karena ia mulai menjadi mitra kerja Sorai sesudah ia meninggalkan
aliran Chu Hsi, dan mungkin karena gabungan dari kedua aliran tersebut,
pemikirannya menjadi mirip sekali dengan pemikiran Sorai.
Keizan mengemukakan pendapat bahwa Li
(azaz) tidak mungkin merupakan suatu standar mutlak sebagai azaz tertinggi, kerena
merupakan suatu azaz yang abstrak, azaz tersebut dapat digunakan dengan cara
apapun. Hal yang secara khusus menarik ialah penolakan Keizan atas rigorisme
moral. Dalam mempelajari karya klasik konfusian, kurang lebih mengikuti aliran
Chu Hsi, tetapi jika menyangkut tentang interpretasi puisi, yang berpendapat
bahwa uraian Chi Hsi tidak mampu memahami esensinya.
Jalan menurut aliran Chu Hsi didasarkan
atas azaz langit, bumi dan alam. Azaz in imeresapi langit dan manusia, meliputi
masyarakat dan alam semesta. Azaz merupakan standar normatif dan juga hukum
alam. Azaz merumuskan “apa yang harus ada” tetapi juga “apa yang ada”, yaitu
kodrat asli (honzen no sei). Tetapi sebagai hasil disintegrasi cara berpikir
kontinuatif , yang sudah ditelusuri melalui Soko, Jinsai, Ekken, unsur yang
berbeda dari jalan Chi Hsi yang mutlak dan meliputi segala sesuatunya ini berlahan-lahan
menjadi independen.
Sorai adalah orang prtama yang menyangkal
bahwa Jalan merupakan azaz tertinggi, dengan menjadikannya tergantung pada
manusia tertentu, kaum bijak. Tetapi karena manusia ini diangkat ke tingkat
kehidupan luar dunia. Jalan tetap memiliki jalan keabsahan mutlak dan
universal.
Konfusian dari awal masa Tokugawa berusaha
membebaskan Shinto, yang sudah berkompromi dengan Budhisme seperti Sanno Shinto
dan Ryobu Shinto, dan lainnya. Dengan pengaruh Budhis, dan bahkan menghubungkannya
dengan Konfusianisme. Awal dari usaha semacam itu adalah dapat dilihat dalam
tulisan-tulisan Fujiwara Seika, pendiri Konfusianisme Tokugawa menulis : “
tujuan akhir Shinto Jepang ialah meluruskan hati (kokoro), untuk menaruh belas
kasih kepada setiap orang, dan untuk bertindak dengan murah hati. Tujuan akhir
jalan yao dan shun sama. Di Cina, jalan ini disebut dengan Konfusianisme. Di Jepang
disebut Shinto. Nama berbeda, namun jiwa tetap sama”.
Tujuan akhir Shinto dan Konfusianisme
sama, maka ajaran dari jalan harus juga sama. Istilah “Shinto dari aliran
rasionalis, yaitu aliran Chu hsi, berlaku bagi aliran Shinto dari Yoshikaa
Yoretaru (1616-1694), yang muncul dari Yoshida Shinto untuk menjadi pejabat
bakufu yang mengurusi Shinto, menujukkan dengan kelas sikap kompromi Shinto
terhadap konfusianisme. Tetapi kebangkitan dan ketenaran aliran Sorai bagaikan
sengatan arus yang melumpuhkan aliran yang aktif ke arah menyatunya Shinto dan
Konfusianisme.”
Namun demikian, sudah jelas bahwa
kemurnian intelektual aliran Sorai, karena pandangannya terhadap Shinto,
menjadi perantara negatif antara aliran Sorai dan Pendidikan Tradisional Nasional.
Sebaliknya Norinaga mengalami perubahan
besar. Dengan mendasarkan dirinya pada kesimpulan dari contoh-contoh dalam Kojiki, ia berpandangan bahwa disamping
banyak dewa yang terdapat dalam karya klasik Jepang. Menurut Norinaga, “istilah
‘dewa’ yang digunakan di negara Cina hanyalah suatu azas kosong dan tidak
mengacu pada sesuatu apa pun yang bener ada. Tetapi, para dewa dari negara
kekaisaran kita adalah nenek moyang Kaisar yang memerintah sekarang ini. Mereka
jauh berbeda dari dewa-dewa yang didasarkan atas azas kosong. Dengan demikian
ia memperjelas ia memperjelas penolakan sepenuhnya atas semua pandangan tentang
dewa yang abstrak dan diidealisasikan.
Ada pendapat bahwa asal usul dari segala
sesuatu langit dan bumi, alam dan kehidupan manusia manusia itu ditemukan pada
para dewa, sedang menurut Norinaga “Segala tindakan para Dewa tidak dapat
dipahami sepenuhnya oleh manusia dalam kerangka azas biasa.” Ketika mereka
berbicara tentang Jalan Langit dan para Dewa, mereka hanya menggunakan istilah
dalam rangka pengertian. Tetapi tidaklah jelas bagi mereka apakah semua hal itu
ada atau tidak.
Aliran Sorai memberikan dukungan internal
kepada reformasi aliran Norinaga yang didirikan dalam Shinto. Karena Norinaga
menarik kaum bijak turun ke bumi, ia secara dasar membuat perbedaan mutlak antara
struktur suatu cara pemikiran dan bagi pemikiran ini Jalan merupakan suatu cara ciptaan para dewa nenek moyang
Jepang, dan struktur cara pemikiran Sorai, yang diungkapkan dalam pernyataan
sederhana bahwa “ Jalan sejati bukanlah
Jalan yang didasarkan pada manusia.”
Bagi aliran Norinaga , tidak penting lagi
harus memberikan ciri kedewaan pada langit. Pada akhirnya langit hanyalah
negara di mana dewa-dewa surgawi hidup. Isi
ajaran Norinaga memang berbeda
sekali dari ajaran Sorai, tetapi menggunakan metode pemikiran yang sama
dalam menentukan landasannya. Ia menggunakan kritik Sorai terhadap rasionalisme
Chu Hsi seluruhnya, dengan menggunakannya sebagai untuk mengahancurkan Konfusianisme
dan segala aliran Konfusian ( yaitu aliran yang disebut karagokoro, atau “roh China”).
Aliran Sorai dan Norinaga mempunyai
landasan yang sama dalam menciptakan pribadi-pribadi ilahi sebagai landasan tertinggi bagi
norma-norma dan mereka sebagai landasan untuk menolak normatif li yang
impersonal.
Yang pertama dari hasil-hasil ini adalah
warisan atau perkembangan pengaruh Sorai tentang kata dan istilah kuno jelas
nampak dalam kedua tokoh Azumaro dan Mabuchi. “Sangat menonjol dalam hubungan antara Sorai dan Norinaga adalah fakta
bahwa keinginan untuk membuang segala penilaian subyektif yang serampangan dari
analisis philogis sesuai dengan sikap yang memberikan tempat keyakinan mutlak
dalam entitas yang dipersonifikasikan, suatu sikap dasar bagi kedua aliran
Sorai dan Norinaga.”
Baik Sorai maupun Norinaga memberikan tekanan pada pentingnya
untuk membebaskan kesusasteraan dari
etika dan politik dengan menyebutkan penggunaan politik dan sosialnya hanya
sebagai hal yang tidak begitu penting. Cara berpikir mereka sama tetapi, kali
ini Norinaga sudah mulai melampaui Sorai.
Norinaga yang jauh lebih muda, bahwa sastra mempunyai kegunaan politik.
Optimis Norigana yang memandang zaman kuno sebagai suatu zaman ideal ketika
setiap orang “hidup dengan damai dan bahagia”.
Pendidikan Tradisional Nasional dengan
demikian muncul sebagai warisan bagi gerakan pemikiran di Jepang yang
menyangkal segala temuan Konfusianisme. Dalam filsafat Sorai, perasaan batin
manusia diberikan sebagai kebebasan negatif sebagai apa yang dapat disebut
kehidupan pribadi, tetapi mereka menjadi kunci dari filsafat Pendidikan
Tradisional Nasional.
Pendidikan Tradisional Nasional mewarisi
aspek pribadi, non politis dari aliran Sorai, tetapi sepenuhnya menolak aspek
publiknya. Bagi Norinaga, “Para cendekiawan haruslah memandang tugas mereka
untuk meneliti dan menjelaskan jalan. Bukan secara pribadi melaksanakan jalan.”
Itu mengapa jelas aliran Norinaga ini terkait dengan aliran Sorai, melalui
aspek pribadi aliran Sorai.
Ada satu pemikiran Norinaga yang menarik
untuk kita perhatikan sebagai mahasiswa. Norinaga sering sekali memuji Mabuchi
(muridnya) karena ia selalu menasihati muridnya untuk tidak terikat oleh
teori-teori guru mereka. “Jika seorang guru menyampaikan pandangannya, ornag
tetap diam, menyembunyikan da menutupi kekurangannya agar kedengaran baik
walaupun ia tahu itu keliru, ia hanya menunjukkan rasa hormat kepada gurunya
dan tidak memikirkan Jalan.” Norinaga berpesan : “Jika orang orang berguru pada
saya, mereka tidak boleh terpengaruh begitu saja oleh pandangan-pandangan
pribadi saya. Mereka harus menunjukkan kekeliruan-kekeliruan saya dan membantu
menyebarkan ide-ide yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro