Sabtu, 07 Maret 2015

EFEK POSITIF SIFAT PEMBANGKANG

Sebelumnya, guys, cerita gue kali ini rada panjang. Butuh kurang lebih 20 menit, untuk kecepatan membaca rata-rata. Sebelum lo putuskan buat baca, mending cek dulu, yakin lagi ga ada kegiatan? Daripada lo baca setengah-setengah, terus ntar lo pada udah sok ngomen segala. Kan sakitnya tu di sini *garing*.

.......

Gue akui gue emang termasuk orang yang ‘pembangkang’.

Dalam beberapa hal, pembangkang sebenarnya memberikan cukup banyak efek positif buat gue secara pribadi. Banyak guru, dosen, atau mungkin teman, kerabat (bahkan orangtua gue sendiri) yang tidak sekali dua kali sering merasa kesal hingga benci dengan gue yang selalu “terlalu berani” , “melawan”, atau mungkin bisa dibilang “gila”.

Semua berawal ketika gue jadi korban bully di kelas 1 SMP.

WHAT??!?!?? Seorang Cornelia di bully?!?

Waktu itu gue belum seberisik dan seberani sekarang. Gue yang berasal dari sekolah dasar yang sederhana, dengan 2 lokal saja setiap angkatannya. Kemudian beranjak ke sekolah menengah yang satu angkatan bisa sampai 5 lokal dan 1 lokal bisa mencapai 40 orang. My parents didn’t treat me as well as I need, so gue mesti beradaptasi, mengenal, dan mempelajari semuanya dengan cara gue sendiri yang masih berumur 12 tahun (skripsi gue banget nih).

Langsung saja. Waktu itu, di kelas 1, gue di dudukin di bangku paling depan, bersama seorang cowok. Dan saat itulah aktivitas yang gue bilang ‘bully’ tadi dimulai! Doi yang paling hobi banget gangguin gue adalah teman sebangku gue, dengan inisial D.

‘Bully’ nya itu seperti ini. Ketika dia lebih dulu masuk kelas dan duduk dibanding gue, maka dia bakal letakkin kakinya di atas kursi gue. Ga peduli lonceng udah bunyi, sebelum guru masuk, dia bakal letak kakinya di kursi gue. Sehingga di saat teman udah pada duduk, gue masih berdiri. Atau ketika gue udah duduk duluan di kursi, atau ketika istirahat atau jam kosong, tapi saat itu guru nggak ada atau belum masuk, doi bakal nendang-nendang kursi gue, kaki meja gue, atau bahkan kaki gue sendiri. Yang ujung-ujungnya memaksa gue untuk berdiri hingga guru masuk. Begitulah ceritanya, gue di bully bahkan sebelum gue mengenal istilah bully waktu itu.

Bagaimana dengan teman-teman gue yang lain? Hmm. Gue kurang tau apa yang mereka rasain, at least gue cuma ingat gimana cara mereka semua natap kasihan ke gue, tapi ga bisa ngelakuin apa-apa. Mungkin ada beberapa yang memberanikan diri bilang “sini duduk berdua aja dulu sambil nunggu guru datang.”

Sedih, malu, ngerasa down banget (ingat gue masih 1 SMP loh), didukung pula dengan orangtua, kakak, dan abang gue yang waktu itu keberadaannya di hidup gue antara ada dan tiada. Mereka ga tau apa-apa soal ini, sampai sekarang mungkin. Tapi setelah hampir satu semester, gue yang waktu itu ceritanya seorang gadis kecil yang lemah belum juga memutuskan untuk menangis.

Di istirahat siang suatu hari, gue iseng memberanikan diri ngomong ke wali kelas gue yang sekaligus guru Bahasa Inggris.

“Misteeeer! Si D (inisial si tukang bully gue) tu haaa! Dia hobi kali gangguin saya. Nendang-nendang kursi saya lah, meja saya lah, kaki saya lah.”

Gue berusaha mengucapkannya senormal mungkin, supaya ga terasa kalau gue sedang butuh dikasihani. Dan waktu itu si mister menanggapinya dengan bercanda.

“Heee, Cornelia ni ada-ada aja. Suka dia sama kamu tuh. Kalau ditendang ya tendang baliklah!” ucap mister sambil cengengesan, lalu beralih ke murid lain yang juga ingin bicara dengannya.

Gue langsung terdiam, memutuskan sebaiknya pembicaraan selesai sampai di situ saja. Waktu itu gue berpikir, “Hmm yaudah deh gue tendang balik aja. Kalau kena marah, nanti bilang aja si mister yang suruh.” Sejenak keberanian gue muncul.

Tapi ketika kejadian bully itu terjadi (lagi), ntah kemana semua keberanian itu terbang. Gue kembali jadi sosok lemah tak berdaya dan bersayap patah, wkakakakaka :D akhirnya si tukang bully tetap saja mendapatkan kepuasannya hari itu hingga seterusnya.

Hingga hari yang tak tertahankan itu tiba.

Gue masih ingat persis kejadiannya di hari Jumat pertama di awal bulan. Dan si mister wali kelas gue makai kemeja berwarna hijau lembut.

Dua menit di bully oleh si D, gue pun menumpahkan semua air mata. Perasaan malu, sedih, ngerasa rendah, sakit, kayak-kayak anak remaja labil yang ngerasa “i am nothing in this world” gitu lah. Gue pun nyembunyiin muka gue di lipatan kedua tangan gue di atas meja. I was totally full of shame! Gue berharap gue bisa menghilang. Atau berharap kedatangan bidadari yang sering muncul bantuin caca alias ‘marshanda’ di sinetron yang waktu itu lagi hits. Dan sejak saat itu, gue jadi kebiasaan kalo nangis di depan umum pasti mesti nyembunyiin muka di lipatan tangan.

Ketika itulah si D mulai bergetar dan mencolek lengan gue, “woy Cornel, ngapa pula lu nangis? Woy, diam lah. Mister mau masuk tu ha.” Doi ngelihatin mister yang berjalan ke arah kelas gue dan seisi kelas rasanya ngelihatin punggung gue yang ga sanggup buat gue angkat lagi.

Alhasil, si mister dan seisi kelas fokus ke gue yang sedang nangis.

“Kenapa Cornelia?” tanya mister sambil ngegoyang-goyangin lengan gue.

Gue tetap nunduk, diam, dan tetap nangis. Terus ntah siapa salah satu temen lokal gue ngelapor,  “Dia diganggu si D terus mister.”

“Kamu apakan si Cornelia? Suka kamu sama dia, D?” si mister masih menanggapi dengan candaan. Beberapa teman cekikikan menggoda.

Gue tetap nunduk, diam, nangis.

Kemudian terdengar suara dari speaker yang ada di setiap lokal. “Bagi siswa yang katolik segera berkumpul untuk pergi misa Jumat pertama bersama-sama.”

Gue tetap nunduk, diam, nangis.

Lalu si mister berucap, “Hey sudahlah Cornelia,” melihat gue masih nggak nanggepin dia, si mister bergidik ke siswa lain, “Eh yang katolik udah boleh keluar, pergi Jumat pertama sama-sama.”

Akhirnya gue ga ikut pergi misa Jumat pertama, begitu juga dengan si mister, begitu juga dengan si tukang bully (tapi gue ga tau dia ga ikut misa karena gue atau karna dia bukan katolik.)

Si mister akhirnya ngebawa gue dan si tukang bully bertemu dengan kepala sekolah (kepsek) ke kantor TU yang ada sofanya. Singkat cerita, ibu kepsek marah besar sama si tukang bully. Kalau gue ga salah, dulu si D sampai ditampar sama ibu kepsek. Dan si ibu kepsek bertindak seperti sangat mengkhawatirkan gue. Dia ngambil minyak angin terus ngolesin minyak angin berkali-kali ke paha dan kaki kiri gue, kaki yang ceritanya sering ditendang si tukang bully.

Terus salah seorang wakil kepala sekolah masuk ruangan dan ikut masuk ke dalam pembicaraan. “Ada apa bu?” si kepsek menjelaskan singkat ke bapak wakasek, “Ondeh. Padahal si Cornelia ni termasuk pintar, hampir masuk kelas unggul. Cuma kurang sedikit rata-ratanya. Mungkin karena inilah tu bu. Iya Cornelia?”

Gue diam. Gue melihat si mister wali kelas gue mengangguk pelan sambil menyisir rambut lurusnya dengan jemarinya ke belakang. Dia masih muda, berumur sekitar 25 tahunan sepertinya. Ntah darimana dan sejak kapan bapak itu memperhatikan nilai gue, gue ga peduli, hidung gue sempat push up, tapi siap itu ga peduli lagi, karena kembali fokus ke adegan si kepsek marah-marahin si tukang bully.

Awalnya gue lumayan lega, si kepsek marah-marahin si tukang bully. Seakan-akan semua yang tertahan rapi dalam hati gue, tersalurkan lewat bibir si kepsek. Sampai akhirnya si kepsek ngeluarin kata-kata yang ga cuma bikin diam si tukang bully, tapi juga gue. Kami sama-sama terdiam natap wajah si kepsek sesaat, kemudian sama-sama menatap kaki kecil kami di bawah meja.

Kurang lebih beginilah ucapan si kepsek, “Ngapain kamu tendang-tendang anak orang ha? Kamu ni laki-laki tau. Apa kaya gitu cara bapak kamu ke mande (mama) kamu ya? Coba kasih tau ibu, gimana kalau bapak kamu ke mande kamu?”

Kami berdua terdiam. Si ibu kepsek melanjutkan, “Iya? Kok ndak jawab ibu? Iya? Emang gitu kamu lihat bapak sama mande kamu ya?”

Gue ga tau apa yang buat si tukang bully terdiam. Waktu itu gue cuma berharap si tukang bully ga punya perasaan dan pemikiran yang sama kaya di pikiran gue. Karna kalau ternyata sama, gue yakin si tukang bully pasti bakalan sedih, lebih sedih daripada gue.

Saat itu semua terjadi, pandangan gue terhadap guru mulai berubah. Ntah kenapa waktu itu gue udah ngerti seharusnya seorang guru terutama kepsek tidak berbicara seperti itu kepada muridnya. Murid yang notabene kelas 1 SMP, baru 6 bulan meninggalkan bangku SD. Terlalu berlebihan menurut gue. Karena si kepsek nggak menimbang bagaimana dengan perasaan kami yang mungkin saja punya jawaban “ya orangtua saya memang begitu” di kepala kami.

Kemudian gue mulai berpikir bahwa tindakan beliau yang terlihat sangat mengkhawatirkan gue adalah sebuah kepura-puraan. Ntah kenapa muncul pikiran sederhana seperti, “Bisa jadi si kepsek ini berlebihan begini supaya gue ga ngadu ke ortu gue, trus supaya ortu gue ga nuntut guru di sekolah. Suatu saat, bisa saja kalo gue yang melakukan kesalahan, pasti bakal dimaki secara berlebihan kaya gitu juga.”

Sehingga akhirnya sayap-sayap putih yang selama ini gue lihat di punggung guru-guru mulai merapuh, kusam, dan patah-patah. Ini bukan hanya sekedar analogi. Tapi emang bener. Sejak sebelum sekolah, gue sering diajak papa nganter kakak dan abang gue ke sekolah. Gue selalu melihat bahwa guru itu seperti malaikat yang punya sayap dan selalu bercahaya. Terlepas dari kenyataan bahwa mayoritas guru SD gue dulu tionghoa yang berkulit putih ya, hehehe. Itu mengapa gue selalu pengen cepat-cepat sekolah, gue senang ke sekolah, dan akhirnya umur 5 tahun gue udah duduk di caturwulan 1 di bangku SD.

Singkat cerita selesailah semua perkara di sana. Si tukang bully ntah kena skorsing ntah dipanggil orangtua ntah kena hukuman apa gue lupa. Trus si mister nganterin gue dan si tukang bully kembali ke kelas kami sambil mengeluh, “Heehh, gara-gara kamu Cornelia. Ndak bisa saya ikut misa Jumat pertama.”

Gue langsung ngerasa “nyooos” kaya ban kempes. Hellooooow? Bukannya situ wali kelas yang kemarin nanggepin pembicaraan saya hanya bercanda saja? Kira-kira begitulah isi hati saya waktu itu. But I didnt say anything to him. Gue masih belum jadi Cornelia yang seberani sekarang.

Waktu itu juga, langsunglah seluruh sayap di punggung semua guru resmi hilang di mata gue. They are not an angel anymore. I hate them, and I dont believe on them! Segala respek tingkat dewa yang selama ini lengket di setiap pundak guru seketika terbang tinggi, hilang di langit biru.

Setelah kejadian itu, si tukang bully berubah. Jangankan nendang kursi gue, bahkan kami tidak banyak bertatap mata dan bertegur sapa. Sepertinya si tukang bully merasa benar-benar menyesal, atau merasa benar-benar sedih. Ntah kenapa, terbersit sedikit rasa menyesal di hati gue, karena udah ngebawa si tukang bully ke dalam kondisi dia yang seperti itu.

Baiklah cerita ‘bully’ saat SMP selesai. Dan ntah kenapa memang benar, walau di kelas 1 gue gagal masuk kelas unggul, tapi di kelas 2 gue berhasil masuk kelas unggul. Gue jadi teringat ucapan si bapak wakasek.

Tapi cerita tentang gue yang berubah menjadi ‘pembagkang’ belum selesai. Semua disambung ke waktu gue duduk di kelas 1 SMA.

(Tarik napas dulu sejenak ya. Kurang lebih 15 menit lagi, cerita nya selesai kok.)

Sepertinya semua telah direncanakan dengan baik oleh alam. Ibu kepsek SMP yang gue ceritakan tadi kemudian tahun itu (saat gue masuk kelas 1 SMA) menjadi kepsek di SMA gue. Gue cuma bisa mendengus sebal. Ini fakta. TK, SD, SMP, dan SMA gue adalah sekolah yang berada di bawah satu yayasan. Sehingga memang sering terjadi perpindahan guru dan kepala sekolah setiap beberapa tahun.

Tapi yasudahlah, toh gue udah mulai berubah, gue udah ga selemah dulu lagi. Ga akan ada lagi murid yang bakal nge bully gue, jadi ga ada lagi alasan gue mesti berurusan sama si kepsek ini.

Kehidupan kelas 1 SMA gue awalnya berjalan normal. Sampai suatu hari di akhir semester pertama, di siang yang cukup terik. Gue masih ingat waktu itu hari kamis, karena besoknya hari Jumat dan itu adalah hari dimana mama pulang dari Bukittinggi. Ibu guru bimbingan konseling (BK) memanggil gue secara personal ke dalam kelas untuk menemuinya di ruang BK. Perasaan gue langsung berubah menjadi tidak enak. Tapi tidak dengan seisi kelas, mereka sepertinya sudah tahu mengapa gue dipanggil. Tapi gue belum terlalu peduli.

Sesampainya di ruang BK, gue langsung duduk berhadapan dengan si ibu BK. Ibu yang bertubuh kecil dengan rambut keriting ini adalah orangtua dari salah seorang senior gue di SMA itu. Si ibu tidak menanyai gue satu pertanyaanpun, sehingga gue yang mulai bertanya.

“Bu, ada apa saya dipanggil bu?”

“Ibu kepala sekolah mau bertemu sama kamu. Tunggu saja.”

“Memangnya ada apa bu?”

“Kamu tidak merasa punya salah?”

“Sejauh ini nggak ada bu. Emangnya ada apa sih bu?”

“Kamu pikir-pikirlah dulu. Coba ingat-ingat apa salah kamu? Ga mungkin ibu kepala sekolah mau ketemu sama kamu kalau kamu memang ga ada salah.”

Gue terdiam. Apa lagi sih urusan gue sama si kepsek ini. Gue terdiam, berpikir cukup keras tentang apa kesalahan gue. Tak lama kemudian masuklah beliau ke ruang BK. Wanita berkulit putih, terlihat seperti berumur 40an (ga tau aslinya berapa), belum menikah hingga saat itu (dan hingga sekarang), dengan mata sipit dan kacamatanya, memandang saya dengan tatapan hina lalu berkata, “Ini dia si Cornelia tu?”

Dalam hati saya tertegun. Masa iya dia ga inget gue? Bzzz. Tapi gue diam aja.

“Sudah ada ibu bilang sama dia bu?” tanya si ibu kepsek pada ibu BK.

“Gimana Cornelia, sudah tau kamu apa kesalahan kamu?” tanya ibu BK ke gue.

Gue menggeleng pelan. Toh emang gue ga tau.

“Kamu emang ga tau atau kamu ga merasa bersalah kalau kamu mencontek saat ujian?” ucap si kepsek langsung mengenai inti permasalahan (headshot!)

Gue langsung menjawab dengan lantang, “Yang mencontek juga banyak kali bu!”

Helllooow? Gue ga salah kan? Siswa mana sih yang ga pernah mencontek saat ujian? Minimal intip-intip sedikit kertas ujian temannya pasti ada. Huh!

“Jadi ngaku kamu kalau kamu mencontek?” ucap si kepsek.

Sumpah gue kesal banget. Ga lama kemudian bapak wakil kepala sekolah (wakasek) masuk ke ruang BK. Ntah kenapa, bapak tersebut juga adalah bapak wakasek waktu gue di SMP, dia juga menjabat sebagai wakaseknya si ibu ini. Apa mereka emang ditugaskan selalu sepaket ya? Ntahlah. Tapi memang begitu kejadiannya. Keingat kejadian 3 tahun lalu, gue berharap ini bapak bakal membantu gue. Lalu kemudian bibir si bapak terbuka, “Pantaslah bu, saya bisa heran kenapa si Cornelia ini bisa dapat nilai bagus, padahal dulu waktu SMP saja dia ga pernah masuk sepuluh besar.”

Jantung gue langsung berdegup kencang. BUSEEEET DAAAH! Dulu dia sendiri yang bilang dan mengakui gue pantas masuk kelas unggul, nah sekarang? Bzzz. Bapak wakasek ini peran nya emang selalu bagian mengompori ya? Atau cari muka banget sama kepala sekolah? HUUUH! Pengen banget gue ngebahas kejadian 3 tahun yang lalu, tapi kondisi tidak memungkinkan. Gue sekarang ada di posisi si tukang bully, gue yang dihadapkan dengan tiga guru di ruang BK ini cuma bisa diam dan menyimpan semua rasa kesal gue dengan rapi dalam hati.

Gue pun mengerti kalau sebenarnya orang yang ngaduin gue mencontek ga punya bukti apa-apa tentang perbuatan gue. Tetapi akibat pernyataan gue barusan, si kepsek menganggap itu sebagai sebuah pengakuan. FINE. Dan akhirnya keluarlah sebuah surat untuk memanggil orangtua ke sekolah.

“Mama saya baru bisa datang hari Sabtu bu.”

Gue pun disuruh kembali ke kelas. Saat jalan menuju kelas, gue berpikir keras, tentang siapa yang ngaduin tindakan mencontek gue. Karna gue yakin, semua orang pasti mencontek. Orang yang berani ngaduin gue mencontek pastilah orang yang cukup percaya diri bahwa dia nggak pernah mencontek. Siapa ya? Hmm.

Sesampainya di kelas, seorang teman gue yang berkulit sedikit gelap membisikkan sesuatu di telinga gue dengan logat bataknya, “Aku tau siapa yang ngaduin kau. Si E. Dia dari tadi pagi ngajakin salah satu dari kita untuk ngaduin kau ke ruang kepsek. Tapi aku tolak. Ternyata si N yang mau temenin dia. Hati-hati ajalah kau lagi. Jangan kau kasih tau, aku yang bilang ya?”

Dia mengedipkan matanya. Gue tertegun pelan. E (laki-laki) dan N (perempuan) adalah teman gue, gue bahkan menganggapnya teman dekat malah. Terlebih N, cewek teman sebangku gue yang hanya melewati SMP dengan 2 tahun karena mengikuti kelas akselerasi (kelas percepatan). Sempat gue berpikir yang terlalu negatif tentang sistem percepatan belajar yang membuat tumbuh kembang emosional seorang anak menjadi tidak baik. Tapi ntahlah gue sedang gak bisa berpikir banyak. Mengetahui bahwa dia telah  mengajak cukup banyak orang tapi tidak ada yang mau kecuali N, itu cukup membuat gue drop. Gue baru ingat kenapa hari ini si N pindah duduk ke kursi di sebelah si E. Padahal selama ini si N duduk sebangku dengan gue. Sehingga pada hari itu gue merasa benar-benar nista. Setelah dihukum dan ketahuan mencontek, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa teman sebangku gue bahkan mengkhianati gue. Mungkin ini bukan tentang 'bully' lagi. Tapi yang pasti lagi-lagi gue bermasalah dengan teman sebangku dan kepsek. Anjiiiing.

Hmm. Sekarang gue baru ngerti kenapa ada teman yang berani ngaduin gue. Karena ya emang mereka berdua adalah siswa yang tergolong pandai. Kami bertiga ditambah seorang perempuan berinisial M adalah 4 orang yang nilainya cukup bersaing untuk merebut peringkat 3 besar di kelas di semester satu itu. Persaingan itu jelas.

Pantas saja, pikirku. Ketika orang lain mencontek mungkin hanya sekedar untuk bisa mencapai nilai standar kelulusan. Maka gue yang emang udah dasarnya “berotak” ketika ditambah dengan mencontek, hasilnya bisa sempurna untuk mendapat peringkat di kelas. Mereka pasti sangat iri. Biarlah. Aku tak urus, toh mama tak memarahiku. Dan semua isi kelas juga masing-masing bisa menilai sendiri. Dan pada akhir semester, ternyata benar aku dapat peringkat 3. Si E mendapat peringkat 2, dan si M mendapat peringkat 1.

Hari Jumat malam, mama baru nyampai di rumah. Mama kerja di Bukittinggi, waktu itu. Sementara dari Jumat hingga Minggu di minggu itu, gue ada jadwal live in (semacam kegiatan siswa tinggal di rumah penduduk gitu) di Pasaman bersama beberapa teman. Sehingga sejak pagi sudah meninggalkan rumah dan baru akan kembali Minggu sore. Alhasil gue memutuskan diri untuk menulis dengan rapi di sebuah kertas:

“Ma, besok mama ke sekolah ya. Dipanggil guru. Pagi jam 10 ma. Lia diadukan mencontek sama teman ma. Padahal semua orang juga mencontek. Maafin lia ya Ma. Lia pergi ke Pasaman dulu.”

Gue taruh kertas itu di lemari mama gue dan Jumat pagi, sebelum mama gue nyampai Padang, gue udah berangkat ke Pasaman. Ntah kenapa semua waktunya sudah disusun serapi itu oleh alam. Sehingga Jumat Sabtu gue ga perlu ke sekolah, dan ga perlu malu karena melihat mama gue dipanggil ke sekolah.

Ntah apa yang terjadi antara mama dan sekolah hari itu, gue ga tau persis. Mungkin mama dipermalukan? Dimarahi? Atau sebaliknya? Hmm, seharusnya gue ceritain dulu tentang kejadian 3 tahun yang lalu ke mama biar mama bisa balik marah ke si kepsek. Tapi semua pikiran gue berakhir begitu saja, ketika sampai rumah, mama dan papa tidak membahas apapun tentang gue dan sekolah gue. Dan gue pun ntah mengapa juga tidak cukup berani untuk bertanya banyak.

Cerita tentang gue kelas 1 SMA ketahuan mencontek selesai dulu sampai di sini.

Sekarang kita beralih ke ruangan audio visual (AV). Ruangan ini sering dipakai guru ekonomi yang katanya killer, karena memiliki AC sehingga adem. Masih di kelas 1 SMA, tetapi di ujung-ujung semester dua. Guru yang mengajar ekonomi tersebut adalah seorang bapak yang sudah menamatkan sekolah hingga S2. Dengan umurnya yang mungkin sudah hampir mencapai 50 tahun dan pengalaman mengecap pendidikan S2, jelas membuat beliau banyak bercerita pengalaman di saat pelajaran. Sehingga kadang itu membuat gue ga fokus. Dari pelajaran, ke cerita, dari cerita, ke pelajaran. Begitulah.

Jadi waktu itu gue sedang asik menggambar-gambar di buku catatan. Gue duduk paling belakang berdua dengan si E. Cowok yang sejak awal kenal hingga setelah gue tau dia yang aduin gue mencontek, tetap gue anggap teman. Gue gatau si E tau atau nggak kalau gue tau bahwa dia yang ngaduin gue mencontek. Karena setelah kejadian ‘ketahuan mencontek’ tadi, gue dengan si E dan si N tetap berteman baik.

Sejak mengetahui kenyataan itu, gue ga pernah menghadang mereka dengan banyak pertanyaan atau membahas masalah mencontek itu dengan mereka. Gue merasa itu adalah sebuah kondisi dimana “gue cukup tau” aja. Dan sampai sekarang pun, gue masih berteman baik dengan mereka, sekalipun tiada kata maaf keluar dari mereka.

Sedang asyik mencoret-coret buku catatan tetiba gue mendengar suara si bapak ekonomi berbicara dengan nada yang menaik kemudian wajahnya mengarah ke kami berdua. Fokus gue langsung berubah dari buku catatan ke si bapak dan mendengar ucapan si bapak berikutnya.

“Jangan kamu terbawa-bawa perilaku teman, Dek. Saya tahu kamu pasti terbawa-bawa perilaku teman kamu itu. Kalau berteman tu, yang baik ambil, yang buruk tinggalkan.”

Si bapak memang udah tua, tapi itu lah ciri khasnya, setiap berbicara sering menyapa muridnya dengan ‘dek’, mungkin supaya terasa tetap muda, ntahlah.

Tapi kemudian gue tertegun, terdiam, berpikir. Apa sih maksudnya???? Saya melirik ke si E, dia hanya menunduk ke buku catatannya. Fokus mencatat-catat sesuatu, bahkan tidak melihat ke arah si bapak atau ke arah gue. Apa yang terjadi?

Selesai mata pelajaran ekonomi, di saat istirahat, aku mendekati salah seorang temanku. Aku tidak ingat persis siapa waktu itu.

“Eh, tadi bapak ekonomi ngomong gitu ke si E maksudnya apa sih?” tanyaku sambil menikmati gorengan bakwan.

“Loh? Lu ndak tau?”

“Ndak. Kenapa ha?” berlagak agak cuek, sambil mengigit rawit.

“Ihh masa iya ndak tahu? Dia ketahuan mencontek.”

“HE? Ketahuan mencontek? Sama siapa? Kapan? Kok gua ga tau?”

“Iya, sama ibu Fisika, waktu ujian geografi (kalau ndak salah). Ibu itu nangkap si E lagi buka buku. Tapi ibu tu langsung suruh diam gitu aja. Lu kan duduk di depan.”



Hmm. I got the point. FUCK! Sebenarnya gue senang, tapi dalam hati gue kesal selangit-langit. Why? Ya iyalah, ketika dengan jelas orang yang dulu ngaduin gue mencontek ternyata ketahuan mencontek di depan mata guru, dia ga disalahin? Orangtua dia ga dipanggil? Trus yang disalahin, itu semua karena dia berteman sama gue? ANJIIIIIINGGGG.

Gue pun berpikir dengan jernih dan membandingkannya dengan kejadian bully 3 tahun yang lalu. Yap, ternyata bayangan gue waktu itu benar. Ketika gue ada di pihak tersangka, maka si pendakwa akan selamanya dipuji-puji dan diangkat-angkat. Saat itu gue menyadari betapa E adalah anak dengan orangtua yang lebih mampu daripada gue. Beberapa kali di majalah sekolah, selalu ada ucapan terimakasih untuk kedua orangtuanya. Hmm. Sudahlah. Tidak bisa dijelaskan bagaimana perasaan anak yang baru beranjak ke usia 15 tahun saat itu. Dan sekali lagi, gue menyimpan semua ini sendiri, bahkan juga dari orangtua gue.

Di satu sisi ga ada gunanya gue cerita. Di sisi lain, gue tetap berpikir positif. Ya sudahlah, toh yang bisa berpikir jernih akan selalu berpikir jernih. Dan yang berpikir kotor ya akan selalu kotor. Jadi ga ada gunanya gue memperbaiki nama baik gue, walaupun gue kesal dan jijik sampai ke ubun-ubun dengan si bapak ekonomi itu. Tindakan menyalahkan gue di depan seisi kelas itu tidak akan pernah gue lupakan. Padahal seharusnya itu menjadi kesalahan mereka yang notabene adalah GURU. Seharusnya mereka introspeksi diri, bahwa mencontek bisa menjadi perbuatan siswa mana saja. Dan mereka seharusnya menghukum siswa dengan adil. Bukan dengan menyalahkan siswa lainnya. Tau gitu dari awal gue ogahan mempertahankan diri berteman dekat dengan si E.

Mereka bukan guru yang seharusnya bisa membimbing murid dengan sepatutnya, dan seadilnya. Bahkan si bapak ekonomi, setelah itu (di saat gue kelas 2 dan 3) juga sering menyinggung-nyinggung dosa mencontek gue itu di depan kelas. Seakan-akan itu kesalahan besar yang jauh lebih besar daripada kesalahannya yang telah mengorbankan perasaan gue (gadis berumur 15 tahun) yang harus menanggung beban dan rasa bersalah karena ternyata dosa mencontek teman sekelas gue adalah karena berteman dengan gue. You was fucking irresponsible teacher!



Saat itu lah, tonggak awal gue mulai benar-benar membenci guru, juga trauma memiliki sahabat dekat



Gue gak mudah mempercayai siapapun dan apapun yang mereka ajarkan. Gue ga mau didikte begitu saja sama orang-orang keji dan menjijikan seperti mereka!

Setiap guru mengajarkan A = B ke gue, gue selalu mengatur otak gue untuk berpikir bagaimana jika ada kondisi A = C. Dengan kata lain, gue selalu berusaha keras untuk menjatuhkan dan menyalahkan pernyataan ajaran-ajaran yang diucapkan guru ke gue. Hingga sampai kuliah semua berlangsung seperti itu.

Alhasil itu dia yang gue bilang tadi. Kebiasaan itu memberikan efek yang positif. Gue jadi terbiasa berpikir di luar kotak. Gue selalu berusaha membangkang dan mengomentari guru atau siapapun yang berbicara di depan gue. Sejak saat itu, setiap guru berbicara, gue pasti juga bicara di tempat duduk, mengomentari beliau dan mengatakan bahwa sudut pandang yang dikatakan beliau itu tidak sepenuhnya benar. Gue akan berusaha membaca lebih banyak, mencari tahu lebih dalam, tentang kemungkinan-kemungkinan lain untuk menjatuhkan pernyataan guru atau dosen. Beberapa teman paling hanya tertawa kecil atau mengomentari, “ada ada se lu mah.”

Karena gue berusaha membaca lebih banyak dengan begitu gue menjadi tahu lebih banyak dibanding teman-teman gue. Karena gue berusaha mencari tahu lebih dalam, dengan begitu gue menjadi mengerti lebih cepat dibanding yang lain. Ketika mungkin mereka hanya mengikuti si dosen naik satu tangga, gue udah naik dua atau bahkan tiga tangga di atas mereka.

Banyak kejadian atau aktivitas membangkang gue, terutama terhadap si bapak ekonomi yang katanya ‘killer’ tersebut. Mungkin yang lain pada takut, atau memilih posisi aman dengan tidak mencari masalah dengan beliau. Tapi itu bukan gue. Gue adalah siswi (siswi loh ya!?) yang merasa keren dengan berani ngerjain beliau saat pelajaran dia di kelas gue (di kelas dua). Gue selalu memiscall hape beliau. Menelponnya, menunggunya melihat handphone, lalu mematikannya dengan cepat ketika beliau ingin mengangkat telepon. Gue selalu berusaha mengganggu konsentrasi beliau. Itu berlangsung sampai sekitar satu semester sebelum akhirnya ketahuan karena diaduin sama kakak senior yang lagi cari muka beliau.

Dan banyak kejadian lainnya. Seperti gue lari-lari diikuti beberapa siswi lainnya saat beliau ga masuk kelas. Akhirnya kita dikeluarkan dari kelas. HAHA. Ada juga kejadian dimana saat beliau nyinggung-nyinggung masalah mencontek, gue tatap tu mata bapak dengan tajam dan perasaan benci sebenci-bencinya. Beliau manggil gue ke depan kelas dan berbicara panjang lebar. Gue pun berusaha keras melawan beliau dengan mengatakan, “saya tidak pernah mencontek lagi.” Walaupun akhirnya gue menemukan kelemahan gue sendiri. Ya, ketika gue benar-benar ngungkapin apa yang ada di hati gue, gue bakalan nangis. Ga tau kenapa, mungkin karena sejak insiden 1 SMP. Atau karena semuanya begitu rapi gue tumpuk didalam hati. Atau karena perbuatan guru dan orangtua yang membuat tidak sempurnanya tumbuh kembang gue secara psikologis, ntahlah. Akhirnya emang gue nangis di depan kelas, dengan posisi menghadap si bapak dan membelakangi teman-teman sekelas. Gue ga bakal lupa kejadian itu.

Kejadian yang lain misalnya, dengan guru yang mengaku di setiap kelas betapa dia gak senang sama gue secara pribadi. Waktu itu gue diminta untuk bikin tulisan tentang kelas gue, buat diterbitin di majalah sekolah. Dan beliau tersebut adalah guru pembina untuk majalah sekolah, yang bisa dibilang secara terimplisit berperan sebagai editor. Ga butuh waktu terlalu lama gue berhasil nulis dengan gaya tulisan gue sendiri. Dan finally, tulisan gue ditolak mentah-mentah. Katanya karena tulisan gue terlalu kasar. Soalnya ketika yang lain nulis pakai subjek kata ganti “aku, kamu, dia, dsb”. Gue pake kata ganti “otak”. Contohnya begini:

“Kelas 3-2 adalah kelas yang punya 32 otak. Setiap otak memiliki perannya masing-masing. Ada otak yang berperan sebagai minyak. Ada otak sebagai sumbu. Ada otak yang sebagai angin berhembus. Bla bla bla...”

Ntah dimana letak kasarnya, sampai sekarang gue ga ngerti. Gue tetap menganggap tulisan gue keren. Mampus aja tu pendapat guru. Semakin Anda kesal, semakin saya senang. HAHAHA.

Dan masih banyak contoh perbuatan aneh gue lainnya saat SMA hingga kuliah yang ga bisa gue ceritain satu persatu. Mungkin di lain kesempatan, karena tulisan ini saja sudah mencapai 11 halaman. Hoaaam. Walaupun sebenarnya tidak semua guru di SMP dan SMA gue yang berperilaku mengecewakan seperti cerita di atas. Tapi, karena tidak ada satupun yang membela gue atau setidaknya berperilaku lebih baik dari si bapak ekonomi, si bapak wakasek, atau si ibu kepsek, maka gue memutuskan untuk menyamaratakan saja mereka semua. Sejak saat itu. Hingga sekarang.

Gue berpikir, seandainya pun suatu saat gue mesti jadi guru, setidaknya gue udah tahu gue harus menjadi guru yang seperti apa.

Buat beberapa teman yang masuk dalam cerita ini. Jangan merasa kalau gue mempersalahkan kalian dalam hal ini. Sejak awal hingga sekarang, gue menganggap kesalahan2 kecil itu bukanlah kesalahan kalian sepenuhnya. Karena dalam kejadian yang gue ceritain di atas, kita semua berada di umur yang sama. Baik si D, si E, maupun si N. Umur belasan yang secara psikologis belum matang dalam mengambil keputusan. Ketidakmatangan tersebut seharusnya menjadi tanggungjawab guru dan orangtua kita masing-masing. Kesalahan dan penyimpangan perilaku kita (remaja 15thn) tidak lepas dari kelemahan guru dan orangtua kita masing-masing.
Selamat menikmati hari-hari berikutnya, dan sampai jumpa di kisah selanjutnya. 

6 komentar:

  1. Wah nell...keren nih prakata lebay..ala u..haha
    Stidakny dlm hidup g sampe skarang, u salah 1 dr skian org yg berkesan..hahaha
    Masih menyimpan kenangan beratnya lalui kisah smp 3-2..hanya ketawa 1 smester..hehehe
    Jangan minder nell😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha lu ni ceje? Iya kisah berat yang satu semester cuma duduk di luar kelas karna males ngemis tandatangan si bapak buahahaha ga kok, ga minder :D

      Hapus
  2. Balasan
    1. Maasih :) tapi apa nya yang keren ni? Kejadiannya? Buahahaha

      Hapus
    2. ceritanya kak. berani betul hahahahaha

      Hapus
  3. Saya membayangkan jika anda seorang laki laki..
    Hehehe

    BalasHapus

Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro