Filsafat Positivisme.
Positivisme
adalah salah satu aliran filsafat modern yang berpangkal dari fakta yang
positif, sesuatu yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam
pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. Filsafat positivisme lahir pada abad
ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang diketahui adalah yang faktual dan
yang positif, sehingga metafisikanya ditolak.
Yang
dimaksud dengan positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa
adanya, sebatas pengalaman objektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta
tersebut diatur sehingga dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa
depan.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, positivisme berarti aliran filsafat
yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan
ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga
aliran ini menolak sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal
adanya spekulasi.
Aliran
ini berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta,
atau apa yang nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik
fakta-fakta.
Ajaran
ini termasuk jenis filsafat abad modern. Kelahirannya hampir
bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa
keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme hanya membatasi
diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, sedangkan empirisme menerima
juga pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman yang subjektif.
Tokoh Filsafat Positivisme
Tokoh
yang paling berperan dalam filsafat positivisme adalah Auguste Comte ( 1798 –
1857 ). Ia adalah orang yang menokohi munculnya aliran positivisme. Ia lahir di
Hontpeller, Perancis. Sebuah karya penting “ Cours de Philisophia Positivie “
(Kursur tentang filsafat positif), ini berjasa dalam mencipta ilmu sosiologi.
Ia berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoieh pengetahuan,
tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan experiment.
Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat experiment-experiment memerlukan
ukuran yang jelas. Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan
meteran, berat dengan kiloan, dan sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api
panas, matahari panas, kopi panas. Ketika panas kita memerlukan ukuran yang
teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai.
Jadi
pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya
menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain,
ia menyempurnakan metode ilmiah dengan memasukkan experiment dan ukuran-ukuran.
Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan empirisme plus rasionalisme.
Hanya saja, pada empirisme menerima pengalaman batiniah, sedangkan pada
positivisme membatasi pada perjalanan objektif saja.
Tahapan pada Positivisme
Menurut
Auguste Comte, perkembangan pikiran manusia baik perorangan maupun bangsa akan
melalui 3 tahapan, yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah /
positif.
a).
Tahap Teologis
Tahap
ketika manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat
kuasa-kuasa adikodrasi yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut.
Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya
berpegang kepada kehendak Tuhan.
Tahap
Teologis ini dibagi menjadi 3 periode :
Periode
pertama di mana benda-benda dianggap berjiwa (Animisme)
Periode
kedua di mana manusia percaya pada dewa-dewa (Politeisme)
Periode
ketiga manusia percaya pada satu Allah sebagai Yang Maha Kuasa
(Monoteisme)
b).
Tahap Metafisis
Hendak
menerangkan segala sesuatu melalui abstraksi. Pada tahap ini manusia hanya
sebagai tujuan pergeseran dari tahap teologis. Sifat yang khas adalah kekuatan
yang terjadi bersifat adikodrasi, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang
mempunyai pengertian abstrak. Menjelaskan fenomena-fenomena dengan
pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi, atau esensi.
c).
Tahap Ilmiah / Positif
Yaitu
ketika orang tidak lagi berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak baik teologis
maupun metafisis. Orang mulai berusaha mendapatkan hukum-hukum dari fakta-fakta
yang didapati dari pengamatan dan akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan
tercapai bilamana gejala-gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu
fakta yang umum saja. Menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat
serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.
Hukum
3 tahap ini tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia,
tetapi juga berlaku bagi tahap perorangan. Umpamanya sebagai kanak-kanak adalah
teologi, sebagai pemuda menjadi metafisis, dan sebagai seorang dewasa adalah
seorang fisikus.
Dari
uraian di atas dapat dipahami bahwa kemajuan manusia menurut paham
positivisme disebabkan oleh kepercayaan manusia terhadap akal budi dengan
kemampuan berpikirnya secara real dan faktual serta meninggalkan dogma-dogma
teologi agama yang bersifat abstrak bahkan fiktif yang kebenarannya tidak dapat
diuji oleh bukti-bukti empiris. Melalui pemahaman tersebut, maka manusia
terutama kaum intelektual berupaya melakukan eksploitasi terhadap alam sebagai
objek penelitian dan pengkajian sehingga pada tahap tertentu hal itu dapat
merugikan manusia itu sendiri sebagai subjek. Dalam arti di satu sisi manusia
mengalami kemajuan di bidang sains dan teknologi namun di sisi lain terjadi
kegersangan rohani mentalitas manusia bahkan berani meninggalkan keyakinan adanya
Tuhan yang maha pencipta, seolah-olah akal budi manusia lah yang
menjadikan segala-galanya.
Pada
dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya
pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal.
Positivisme bukanlah aliran yang berdiri sendiri, positivisme aliran yang
berasal dari penggabungan empirisme dan rasionalisme. Menurut Comte, ilmu
pengetahuan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan
perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan konkret, tanpa ada halangan dari
pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Kesimpulan
Pada
hakikatnya positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern yang
berpangkal dari fakta yang positif.
Di
Perancis, telah muncul aliran baru, yaitu "positivisme", yang
ditokohi oleh Auguste Comte (1798 – 1857). Menurut Comte, jiwa dan budi
adalah basis dari teraturnya masyarakat. Maka, jiwa dan budi haruslah
mendapatkan pendidikan yang cukup dan matang. Dikatakan bahwa sekarang ini
sudah masanya harus hidup dengan pengabdian ilmu yang positif. Adapun yang
tidak positif tidak dapat kita alami.
Adapun
budi itu mengalami tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah tingkatan teologi,
yang menerangkan segala sesuatu dengan pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab yang
melebihi kodrat; tingkatan kedua adalah tingkatan metafisika, yang hendak
menerangkan segala sesuatu melalui abstraksi; tingkatan ketiga adalah tingkatan
positif, yang hanya memperhatikan yang sungguh-sungguh serta sebab yang sudah
ditentukan.