01.31
Sekitar dua
minggu yang lalu, aku menemukan cara untuk dapat bertemu dengannya. Aku
mengajaknya untuk bertukaran kado. Dan luar biasa senangnya ketika dia
menyanggupi permintaanku.
Katanya, 22
Desember 2012, pukul 2 siang, kami akan bertemu di sekretariat PMKRI.
Aku senang
sekali, dia yang menentukan semuanya. Benar atau tidak, aku merasa diapun
memang ingin bertemu denganku.
Hari-hari
menunggu tanggal 22 ku lalui dengan begitu sabar. Aku pun meyakinkan diriku,
bahwa hari itu aku harus melakukannya. Aku harus membuang semua rasa gengsiku
untuk memberanikan diri. Aku harus bicara dengannya. Dia harus tahu perasaanku.
Keinginanku untuk bisa kembali bersamanya, menuntunku menjalani hari jauh lebih
sabar dan kuat, sekalipun demam di kepalaku datang dan pergi sesuka hatinya.
Aku berjanji pada diriku sendiri, untuk memulai pembicaraan tentang aku dan
dia.
Hingga
kemarin, hari itu tiba.
“Dek, kita
ketemuannya di tempat Vino aja gimana?” (Vino itu teman SMAku)
Pesan
singkatnya sekitar pukul setengah dua, ketika aku baru saja hendak berangkat
dari rumah dengan perasaan amat berbunga-bunga. Seketika saja membuat
perasaanku, hmm, ntahlah. Sepertinya ntah kemana. Lama aku berpikir untuk membalas
pesannya. Bahkan kulajukan motorku dengan pikiran kosong untuk beberapa menit.
Akhirnya dengan ikhlas aku membalas “Terserah. Gapapa kok.”
Beberapa kali
aku mencoba berkelit agar dia mau kembali menepati janjinya bertemu di PMKRI.
Tapi apa daya, aku memang bukan wanita yang pantas didahulukan dibandingkan
teman-temannya. Seperti tidak mengerti perasaanku, dia pun tidak merasa
bersalah telah melakukan perubahan itu. Hatiku mencelos.
Bertemu di
tempat Vino, berarti bertemu dengan beberapa teman SMA lainnya. Bayangan
olok-olok dari mereka segera memenuhi kepalaku. Aku tidak tahu mengapa dia tak
merasa begitu risih, ketika teman-teman mengolok-olok status hubungan kami.
Atau mungkin itu cara dia menyiksaku, membalaskan rasa sakitnya karena telah ku
khianati? Kalau memang iya, kau berhasil. Setiap olokan mereka selalu
menyayat hatiku. Tidak ada. Tidak ada yang mengerti bagaimana perasaanku.
Sementara aku harus tetap ikut tertawa dalam olok-olokan mereka.
Hingga akhirnya
sekitar pukul 15.00 dia samapai di tempat Vino, begitu juga aku.
Ada aku, Alex,
Eta, Eka, dia, dan Vino. Ya, namanya teman SMA, cerita kami kebanyakan hanyalah
nostalgia kisah SMA. Kalau lucu ya tertawa, kalau tidak ada bahan ya diam saja.
Kemudian kami juga pergi makan bakso, trus main ke rumah Maya, salah
seorang teman SMA ku juga. Kemudian kembali lagi ke rumah Vino. Semuanya
berjalan begitu saja.
Sesekali
matanya menatap mataku, tapi kosong. Tidak ada kekuatan seperti dulu lagi.
Akupun berusaha untuk bisa menatap matanya. Ya, sama saja. Tidak ada apa-apa.
Dia memandangku biasa saja. Baiklah, hatiku kembali mencelos.
Hari ini pun
kujalani dengan segala kepura-puraan. Canda dan tawa yang melengking dari
tenggorokanku tak lebih dari suara sakit hatiku yang tak tertahankan.
Aku kecewa.
Rencana ku untuk berbicara serius dengannya, batal. Rencana ku untuk
menghabiskan waktu bersama matanya, batal. Rencana ku untuk menggenggam
jemarinya, batal.
Tahukah kau,
tak pernah ada pentingnya bagiku tentang kado-kado ini. Mereka hanyalah
jembatan yang kubuat agar kita bisa bertemu. Mereka hanyalah cara yang kubuat,
agar kita bisa menghabiskan hari bersama, berdua. Setelah sekian lama kita tak
bersua. Tapi semua? Ya sia-sia.
Bukan aku tak
menghargai kado nya, aku merasa tak perlu untuk membukanya. Ku buka lemari dan
ku campakkan kado beserta plastiknya itu ke dalam. Lemari kututup, aku berjanji
tidak akan membukanya. Sampai akhirnya aku cukup kuat untuk mengajakmu bertemu
LAGI, suatu hari nanti.
Harus menjadi
wanita seperti apa, agar aku pantas mendapat rasa rindumu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro