Sabtu, 30 Juni 2012

Si Sipit Eps.VII - Gandoriah Jadi Saksinya


Sabtu ini, kami berdua ke Pantai Gandoriah di Pariaman. Sekitar jam 8 pas kami tiba di stasiun untuk naik kereta api menuju sang pantai. Untung saja, tidak terlambat, karena kami berdua sama-sama tidak tahu mengenai jam keberangkatan kereta, hahaha. Setelah satu setengah jam menikmati pemandangan sepanjang Padang – Pariaman, akhirnya kamipun disapa ramah oleh gapura Pantai Gandoriah sekitar pukul 10 pagi. Makan, menikmati es kelapa muda di pantai, makan siang, foto-foto, lalu kami pun pulang. Cukup dengan 20 ribu rupiah per orangnya untuk pulang pergi. Wisata yang lumayan murah meriah, jika dibandingkan dengan sajian pasir pada pantainya yang panjang. Di sini juga tersedia banyak jajanan gorengan lho, jadi mesti siapin banyak uang jajan yaaa, hehee J

Hmm, hari Sabtu ini cukup spesial buat aku. Mengapa mengapa mengaapa? Hahaha. Karena hari ini 30 Juni 2012, aku memutuskan untuk nerima bang Edo jadi pacar aku. Hari ini aku telah melepaskan kejombloanku. Aku telah berusaha membunuh semua rasa tidak percayaku padanya dan memberi dia kesempatan untuk memiliki hatiku. Senang banget rasanya. 


PENGEN TERIAAAAAAAAAAAAAAAAK ! \(^_^)/

Jumat, 29 Juni 2012

Si Sipit Eps.VI - Dia dan Teman2ku


Hari ini aku ke Puncak Lawang dan Bukittinggi !
Kali ini selain bareng bang Edo, aku jalan-jalannya juga bareng teman-teman kampus. Senang sih.. Puncak Lawang nya cakep sih.. Sayaangnya.. Cuma bisa sebentar, karena keburu hujaan deras, hiks.





Kemudian lanjut ke Bukittinggi. Menyapu kebun binatang, jembatan limpapeh, benteng fort de kock, dan jam gadang dalam 2 jam. Di pasar ateh, aku dan bang Edo beli kaos sama, kaos warna kuning gambar jam gadang gitu. Aseeek, senang deh, walau aku tahu, itu baju pasti kekecilan sama dia, dan gak bakal dia pake hahahaha xD

Kamis, 28 Juni 2012

Si Sipit Eps.V - Carocok


Hari ini aku dan dia ke Pantai Carocok. Kami berdua sama-sama gak tahu jalan dan gak pernah ke sini. Hanya bermodal petunjuk si Nanda, kami akhirnya nyampai juga, walaupun sempat salah jalan. Hahahahaha xDD





Tidak ada kata menyesal setelah datang ke Pantai Carocok di Painan, Pesisir Selatan. Pantainya tidak begitu luas memang, tapi punya pasir yang putih dan laut yang bersih. Kami berdua juga berkeliling, menikmati pulau-pulau di sekitar nya dengan menyewa perahu motor. Rasa-rasa di mana gitu yaa, keliling-keliling berdua naik perahu. Hoho. Para penduduk di sini juga terbilang ramah. Terbukti dari senyum mereka saat membalas setiap sapaanku. Selain menikmati pantai, laut, dan perahunya, di sini juga menyediakan permainan banana boat dan flying fox. Hanya saja, kebetulan kami sedang tidak mood untuk melakukan keduanya. Kami kan hanya moodnya berduaan, wkakakakakaka XDD

Tetapi di sini terbilang cukup banyak nyamuk. Untung saja aku memakai baju lengan panjang, kalau tidak, heu. Bisa sampai 10 ekor nyamuk ngikutin terus kemana kita pergi. L

Menatap dalam matamu hanya ingin membuatku menangis. Perasaanku berkecamuk. Luar biasa dilema. Aku tak mampu menghasilkan keputusan apa-apa. Sementara itu kau pun belum mencoba mengerti bagaimana rapuhnya aku. Tanpa merasa berdosa terus mendesak ku untuk memberi jawaban.

Bagaimana bisa aku berkata tidak, setelah kau mengisi banyak kekosonganku?

Tapi bagaimana bisa aku berkata iya, sebelum aku mempercayai semua ceritamu?

Aku sedang berusaha sayang, mengertilah. Lihatlah, aku sedang menatap matamu dalam. Berusaha temukan kejujuran dalam setiap lorongnya. Lihatlah, aku sedang menyimak setiap hurufmu. Berusaha menyatakan semua kepedulianku.

Percayalah.

Aku sendiri pun ingin menembus semua rasa tidak percaya ini untuk mampu mengatakan “iya, aku ingin memilikimu”

Tapi apa daya, aku memang belum kuat untuk melawan semua dilema ini. Ntahlah, aku sendiri kadang tidak mampu mengendalikan rasa ku sendiri. Aku tlah jatuh terlalu dalam padamu, mungkin.

Ntah apalah coretan malam yang mampu kuceritakan pada angin kali ini. Aku hanya benar-benar gundah. 

Pantaskah aku mengatakan “iya” besok?

Selasa, 19 Juni 2012

Si Sipit Eps.IV - Playboy kah?


Tapi semua berbeda dengan bayanganku.

Tidak sesuai dengan batinku terakhir. Ternyata dia menghubungiku. Dia mengirimiku pesan dan dia menghubungiku untuk berbagi malamnya. Hingga akhirnya aku menjadi nyaman dengan nya. Suatu hari aku pun merasa ingin menguji keseriusannya. Karena berdasarkan pengamatanku, dia sepertinya bukan tipe cowok seriusan, ditambah lagi dengan kemiripannya dengan mantanku yang playboy. Aku pun menantangnya untuk menggunakan fotoku sebagai foto profilnya selama sebulan. Dan dia dengan cepat mengiyakanku. Awal yang baguslah, bantinku lagi.

Sejak saat itu, intensitas komunikasi kami pun meningkat, hingga hari ini. Perlahan-lahan akupun menjadi melupakan mantan terakhirku. Mantan yang 2 minggu lalu, masih belum bisa kulupakan. Perlahanpun, aku menjadi ikhlas melepas mantanku. Belum benar-benar lepas sih, tapi ya setidaknya lebih baik daripada dua minggu yang lalu. 

Akankah sesuatu yang lebih terjadi antara kita, Bang?

Ntahlah, akhir-akhir ini akupun senang mendengar suaramu sebelum terlelap.

With Love,

Minggu, 17 Juni 2012

Sastrawan Jepang dari 1800 - Sebelum PD II


1. Natsume Soseki
Natsume Soseki dilahirkan di Tokyo pada tahun 1867, hanya satu tahun sebelum Restorasi Meiji. Anak kedelapan dan terakhir dalam keluarga. Ayahnya, Natsume Kohe Naokatsu, hampir 50, dan ibunya 40, pada saat kelahirannya. Para Soseki bayi dibesarkan oleh orang tua asuh selama delapan tahun, tetapi kembali ke rumah aslinya pada usia delapan, ketika orang tua angkatnya bercerai. Para Soseki adalah nama yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri.

Pada tahun 1910 Soseki muntah darah dan dibaringkan rendah selama satu tahun dan kemudian meninggal karena pendarahan dalam pada Desember 1916. Soseki dipuja sebagai bapak sastra modern Jepang. Ia aktif hanya ketika Jepang membuka dunia.

Mori Ōgai adalah nama sastra Mori Rintaro, anak dokter untuk daimyo dari provinsi Tsuwano (di Shimane Prefecture). Ibu Ōgai sangat disiplin dan beliau yang mendorong Ōgai ke arah mengejar keunggulan akademis saat masa mudanya. Di sekolah, Ōgai memperoleh dasar yang kuat dalam karya klasik Konfusianisme dan juga dalam studi Belanda. Ōgai kemudian dikirim ke Tokyo, di mana pada tahun 1874 ia terdaftar dalam kursus persiapan dari departemen medis di Universitas Tokyo. Dia lulus dari universitas pada usia 19 tahun, menjadi yang termuda saat itu, dan memulai karir sebagai seorang ahli bedah tentara.

Pada tahun 1884, Ōgai dikirim oleh tentara untuk belajar kedokteran di Jerman. Di sana ia berada di bawah pengaruh dokter Robert Koch. Pada saat yang sama, dengan aplikasi luar biasa, ia membiasakan diri dengan filsafat dan sastra Eropa. Ia kembali ke Jepang dengan kesadaran yang mendalam tentang kesenjangan antara peradaban Eropa dan Jepang.

Setelah kembali ke Jepang pada 1888, Ōgai segera melakukan upaya untuk memodernisasi baik obat Jepang dan sastra Jepang. Pada tahun 1889, ia menerbitkan kumpulan puisi, yang diterjemahkan disebut Omokage (Sisa-sisa). Hal ini dianggap sebagai antologi puisi pertama di Jepang yang berhasil menyampaikan rasa kualitas estetika puisi Barat. Ōgai juga memulai majalah sastra berpengaruh, Shigaramizōshi (The Weir, pertama kali diterbitkan pada 1889), sehingga menimbulkan apa yang kadang-kadang disebut "Ko-Ro-Sho-Oe Periode,". Merupakan singkatan dari nama empat penulis terkemuka yang aktif saat itu : Ozaki Koyo, Koda Rohan, Tsubouchi Shōyō, dan Ōgai dirinya sendiri. Novel yang diterbitkan oleh Ōgai selama periode itu (sebagian besar berdasarkan dari pengalamannya sendiri di luar negeri) adalah Maihime (The Girl Dancing, 1890), Utakata tidak ki (Foam pada Gelombang, 1890), dan Fumizukai (The Courier, 1891). Karya-karya ini, bersama dengan Futabatei Simei Ukigumo (The Cloud Drifting, 1887), sering dianggap menandai awal dari sastra Jepang yang benar-benar modern.

Sejumlah bentrokan dengan atasan atas kebijakan medis, dan ketidaksetujuan mereka terhadap kegiatan sastra Ōgai ini, mengakibatkan pada tahun 1899, Ōgai dipindahkan ke daerah terpencil budaya di Kokura, Kyushu. Selama ini Ōgai tidak mempublikasikan novel, tapi pengalaman itu memberinya waktu untuk dewasa baik sebagai manusia dan sebagai penulis, yang tampaknya telah memberinya banyak bahan yang kemudian ia gunakan ketika menulis fiksi sejarah.

Pada tahun 1907, lima tahun setelah kembali ke Tokyo dari Kokura, Ōgai dipromosikan ke posisi tentara ahli bedah umum. Tidak lagi dihadapkan dengan kebutuhan untuk memperhatikan dirinya dengan pendapat dari atasan dan dirangsang oleh karya Natsume Soseki dan juga oleh munculnya fiksi naturalistik, sekali lagi ia mulai menerbitkan novel di Subaru (The Pleiades). Cerita pertama Ōgai dalam gaya sehari-hari,  Hannichi (Setengah Hari, 1909), diikuti berturut-turut cepat oleh Ita sekusuarisu (Vita Sexualis, 1909), Seinen (Pemuda,1910), Fushinchū (Under Reconstruction , 1910),  Moso (Delusi , 1911), dan Gan (The Wild Goose, 1911).

Kasus bunuh diri Jenderal Nogi Maresuke dan istrinya pada tahun 1912 setelah kematian Kaisar Meiji datang sebagai kejutan besar untuk Ōgai, mendorong keinginannya untuk menbuat materi sejarah yang mengakibatkan Okitsu Yagoemon tidak isho (Perjanjian terakhir dari Okitsu Yagoemon, 1912). Novel lain dalam nada yang sama adalah Abe ichizoku (Keluarga Abe, 1913), Oshio Heihachiro(Oshio Heihachiro, 1914), Yasui Fujin (The Istri Yasui, 1914), Sansho dayu (Sansho Pejabat, 1915), Saigo no ikku (The Frasa terakhir, 1915), Takasebune (The Boat di Sungai Takase, 1916), dan Kanzan Jittoku (Han-shan dan Shih-te, 1916). Dari sekitar 1915, Ōgai mulai menganjurkan pendekatan yang lebih ketat faktual dalam menangani pengobatan tokoh sejarah, dan menempatkan kebijakan ini ke dalam praktek dengan publikasi karya biografis seperti Shibue Chūsai (1916) danIzawa Ranken (1916). Kedua jenis fiksi sejarah karakteristik periode akhir Ōgai yang secara umum diklasifikasikan oleh para kritikus sebagai novel sejarah (rekishi shōsetsu) dan biografi historis(Shiden).

Ōgai meninggal pada tahun 1922 karena atrofi ginjal saat masih bekerja pada beberapa studi sejarah. Ia meninggalkan murid tidak langsung untuk melaksanakan pekerjaan, tetapi kisaran luar biasa aktivitasnya, keseriusan tinggi tujuannya, dan pengaruh sangat besar yang ia berikan dalam penulisan kontemporer menyebabkan nya menjadi salah satu penulis terkenal saat periode Meiji.

3. Naoko Matsubara
Naoko Matsubara lahir pada tahun 1937 di Tokushima, di pulau Shikoku, tetapi dibesarkan sebagian besar di kota Kyoto. Ayahnya adalah salah satu dari imam Shinto paling senior di Jepang, dan ibunya berasal dari keluarga Shinto sangat tua. Setelah lulus dari Akademi Kyoto Seni Murni (kini Kyoto Seni Rupa University), ia pergi ke Amerika Serikat sebagai seorang sarjana Fulbright, menghabiskan satu tahun di Carnegie Institute of Art (sekarang Carnegie Mellon University) di Pittsburgh, di mana ia menerima gelar MFA. Selanjutnya ia diundang untuk belajar di Royal College of Art di London, dan bepergian di Eropa dan Asia sebelum kembali ke Jepang pada tahun 1963.

Pada tahun 1965 ia kembali ke Amerika Serikat sebagai asisten pribadi kepada Fritz Prof akhir Eichenberg, seorang seniman kayu-ukiran dan sejarawan cetak keputusan. Dia juga mengajar di Pratt Graphic Center di New York dan di University of Rhode Island, sebelum menetap di Cambridge, Massachusetts, sebagai seniman lepas. Pada tahun 1972, setelah menikah dengan David Waterhouse, seorang profesor Studi Asia Timur di University of Toronto, ia pindah ke Kanada, di mana ia terus menjadi sangat aktif sebagai seniman satu-lembar ukiran kayu, portofolio dan buku bergambar, pelukis dan seniman mural, bekerja di studionya di Oakville, Ontario. Dia juga menulis esai banyak, dalam bahasa Inggris dan Jepang; kuliah atau diajarkan di banyak universitas dan sekolah seni, dan bepergian secara luas. Pada tahun 1981 ia terpilih sebagai Fellow dari Royal Kanada Akademi Seni, dan ia telah menerima banyak komisi dan hibah.

Kerja Naoko Matsubara adalah untuk ditemukan di museum dan koleksi publik lainnya di seluruh dunia, serta di banyak koleksi pribadi. Dia telah menggambarkan beberapa buku delapan belas tahun, dan memberikan kontribusi untuk banyak lainnya. Dia memiliki pameran yang tak terhitung jumlahnya, baik solo dan grup, di empat benua. Karyanya telah menjadi subyek dari monograf, serta artikel yang tak terhitung, review, artikel surat kabar dan film dokumenter.

Pada tahun 2003 Naoko Matsubara memiliki sebuah pameran di Royal Ontario Museum, Roh Pohon berhak, yang disertai dengan katalog bergambar 300-halaman. Pada tahun yang sama ia membuka pameran lain, ada juga dua di Tokyo, dan buku terbarunya, cerita yang menggambarkan dari koleksi abad ke-11 cerita Konjaku monogatari, diterbitkan pada kedua edisi bahasa Inggris dan Jepang. Awal tahun 2004 ia memiliki pameran lebih lanjut di Tokyo, dan rencana untuk tahun ini termasuk pameran di Indiana, Ottawa, dan Tokyo, dan buku baru, Dalam Pujian Hands.

4. Sakutaro Hagiwara 
Sakutaro Hagiwara (1 November 1886 - 11 Mei 1942) adalah seorang penulis gaya bebas ayat, aktif dalam Taisho dan Showa periode awal Jepang. Dia membebaskan sajak bebas Jepang dari cengkeraman aturan tradisional, dan ia dianggap sebagai "bapak puisi modern di Jepang sehari-hari". Ia menerbitkan banyak buku esai, kritik sastra dan budaya, dan aforisme atas karir yang panjang.

Pada tahun 1913, ia menerbitkan lima ayat di Zamboa ("jeruk Bali"), sebuah majalah yang diedit oleh Kitahara Hakushū, yang menjadi mentor dan temannya. Dia juga memberikan kontribusi untuk Maeda ayat Yugure yang Shiika ("Puisi") dan Chijō Junrei ("Bumi Ziarah"), jurnal yang lain diciptakan oleh Hakushū. Tahun berikutnya, ia bergabung Muro Saisei dan Kristen menteri Yamamura Bochō dalam menciptakan Shisha Ningyo ("Merman Puisi Grup"), yang didedikasikan untuk mempelajari musik, puisi, dan agama. Tiga penulis disebut majalah sastra mereka, Takujō Funsui ("Tabletop Fountain"), dan menerbitkan edisi pertama di tahun 1915.

Pada tahun 1916, Hagiwara mendirikan dengan Muro Saisei majalah sastra Kanjo ("Sentimen"), dan pada tahun berikutnya ia mengeluarkan koleksi pertamanya free-ayat, Tsuki ni Hoeru ("Howling di Bulan"), yang memiliki pengantar oleh Kitahara Hakushū. Pekerjaan menciptakan sensasi di kalangan sastra. Hagiwara menolak simbolisme dan penggunaan kata-kata yang tidak biasa, dengan ketidakjelasan akibatnya Hakushū dan penyair kontemporer lainnya yang mendukung susunan kata yang tepat yang menarik berirama atau musik ke telinga.

Dia kemudian menulis antologi tambahan, termasuk Aoneko ("Blue Cat") pada tahun 1923 dan Hyōtō ("Pulau Icy") pada tahun 1924, serta volume lain kritik budaya dan sastra. Dia juga seorang sarjana dari ayat klasik dan diterbitkan Shi tidak Genri ("Prinsip Puisi", 1928).

Kritis studinya Ren'ai meika shu ("Kumpulan Best-Loved Puisi Cinta", 1931), menunjukkan bahwa dia punya apresiasi mendalam untuk puisi klasik Jepang, dan Kyōshu tidak Shijin Yosa Buson ("Yosa Buson-Penyair Nostalgia" , 1936) mengungkapkan rasa hormatnya bagi penyair haiku Buson, yang menganjurkan kembali kepada aturan abad ke-17 dari Basho.

Gaya yang unik dari ayat menyatakan keraguan tentang keberadaan, dan ketakutannya, perasaan bosan, dan kemarahan melalui penggunaan gambar gelap dan kata-kata ambigu.

5. Yasunari Kawabata (1899-1972)
Pada tahun 1968, Yasunari Kawabata menjadi novelis Jepang pertama yang memenangkan hadiah Nobel untuk Sastra. Karya-karyanya dikombinasikan keindahan Jepang tua dengan kecenderungan modernis, dan realisme prosa dicampur dengan visi surealistik. Buku Kawabata telah digambarkan sebagai "lirik melankolis" dan sering mengeksplorasi tempat seks dalam budaya, dan dalam kehidupan individu. Selama hidupnya, Kawabata menulis banyak novel dan lebih dari seratus dua atau tiga cerita halaman.

Contoh dari salah satu cerita adalah Ki-no Ue (Di Atas Pohon,1962). Di sini, karakter utama, seorang gadis dan seorang anak bernama Michiko dan Keisuke, siswa kelas empat, berbagi rahasia. Keisuke memberitahu Michiko bahwa orang tuanya bertengkar, dan ayahnya memiliki wanita lain. Dia pernah memanjat pohon di kebun sehingga ibunya tidak bisa mengambil dia dan kembali ke rumah orangtuanya. Rahasia mereka berada di atas pohon telah berlangsung selama hampir dua tahun. Sekarang batang tebal bercabang dua di bagian atas, bisa duduk dengan nyaman. Michiko, mengangkangi satu cabang, bersandar terhadap yang lain. Ada hari-hari ketika burung kecil datang dan hari ketika angin bernyanyi melalui jarum pinus. Meskipun mereka tidak begitu tinggi dari tanah, kedua pecinta sedikit merasa seolah-olah mereka berada di dunia yang sama sekali berbeda, jauh dari bumi.

Yasunari Kawabata dilahirkan dalam sebuah keluarga sejahtera di Osaka, Jepang. Ayahnya, Eikichi Kawabata, adalah seorang dokter terkemuka, yang meninggal karena TBC ketika Yasunari baru dua tahun. Ia yatim piatu karena kematian ibunya pada usia tiga tahun, neneknya meninggal ketika ia berusia tujuh tahun. Kematian keluarga membuat Kawabata merasa kehilangan sejak masa kecil, dan ia sering mengatakan bahwa dia belajar tentang kesepian. Kemudian dalam kehidupan, penulis menggambarkan dirinya sebagai seorang anak "tanpa rumah atau keluarga". Beberapa kritikus merasa bahwa trauma awal membentuk latar belakang untuk rasa kehilangan dan penyesalan yang menembus tulisannya.

Setelah kehilangan kakeknya pada tahun 1915, Kawabata pindah ke asrama sekolah menengah. Dia mulai belajar sastra di Universitas Kekaisaran Tokyo pada tahun 1920, lulus pada tahun 1924.Kawabata dan sekelompok penulis muda mendirikan jurnal Jidai  Bungei "Zaman Artistik." Dengan jurnal ini, mereka menganjurkan sebuah gerakan sastra yang disebut Shinkankaku (Neo-sensualisme), yang menentang kaum dominan "realistis" sekolah menulis. Kawabata tertarik Eropa avant-garde sastra, dan juga menulis naskah film untuk film ekspresionis Kinugasa Teinosuke itu,Kuritta Ippeji (Page of Madness, 1926).

Kawabata memperoleh keberhasilan pertama kritisnya dengan novel Izu-no Odoriko (The Penari Izu, 1925). Sebuah autobiografi yang menceritakan kegilaan anak muda dengan seorang penari empat belas tahun. Cerita berakhir dengan perpisahan mereka. Perempuan muda juga tampak menonjol dalam karya-karya lain Kawabata, seperti Nemureru Bijo (Tidur Kecantikan, 1961) dan Tanpopo novel pendek (Dandelion, diterbitkan secara anumerta). Novel terfragmentasi Asakusa Kurenaidan (Gang Scarlet dari Asakusa, 1929-1930), didirikan di distrik Asakusa Tokyo, terkenal dengan rumah-rumah geisha-nya, penari, bar, pelacur, dan teater. Novel itu serial di surat kabar Shimbun Asashi, membawa modernis, fiksi eksperimental untuk khalayak yang lebih luas di Jepang. 

Kawabata menikah pada tahun 1931, dan kemudian menetap di ibukota samurai kuno Kamakura, barat daya Tokyo, menghabiskan musim dingin di Zushi. Selama Perang Dunia II, Kawabata perjalanan di Manchuria, dan belajar Genji Monogatari (The Tale of Genji), sebuah novel abad kesebelas Jepang.

Segera setelah perang, Kawabata menerbitkan novel yang paling terkenal, Yukiguni (The Country Snow, 1948), kisah seorang estetikus setengah baya, Shimamura, dan geisha penuaan, Komako. Urusan sporadis mereka dilakukan sebentar-sebentar di lokasi yang terisolasi; sumber air panas resor barat pegunungan tengah, di mana musim dingin yang gelap, panjang dan diam. Ini membawanya ke tempat lain, jauh dari buku balet ia menulis, jauh dari kehidupan duniawinya. Tapi tujuan yang jauh ini memberinyanya rumah sementara, refleksi dari sesuatu yang lain ketika malam mengubah jendela pelatih ke dalam cermin. Geisha adalah seniman kinerja dan Shimamura tidak tahu, apakah kasih sayang benar-benar asli. Komako menggigit jarinya, dia bukan refleksi, dibuat sesuai dengan visi estetika Shimamura, dia adalah makhluk fisik. Kawabata kemudian menyebutkan bahwa ia dimodelkan setelah karakter nyata Yukiguni telah difilmkan beberapa kali, Shiro versi Toyoda dari tahun 1957 yang dibintangi Kishi Keiko sebagai Komako dan Ryo Ikebe sebagai Shimamura, dianggap paling sukses.

Dianggap oleh beberapa kritikus menjadi pekerjaan Kawabata terbaik, Yama-no Oto (The Sound of Pegunungan, 1954), menggambarkan krisis keluarga dalam serangkaian episode terkait. Protagonis, Shingo, merupakan nilai-nilai tradisional Jepang dalam hubungan manusia dan alam. Dia prihatin dengan krisis perkawinan dari dua anaknya. Adegan dari kehidupan sehari-hari pahlawan ini terjalin dengan deskripsi puitis alam, mimpi, dan ingatan. Karya ini memperoleh Kawabata hadiah sastra dari Akademi Jepang. Kawabata dikombinasikan estetika Jepang halus dengan narasi psikologis dan erotisme. Dalam fiksi awal Kawabata bereksperimen dengan teknik surealistik, tetapi dalam tulisan-tulisannya nanti, gaya naturalistik nya menjadi lebih impresionistik.

Senbazuru (A Thousand Cranes, 1952), menggunakan upacara minum teh tradisional Jepang sebagai latar belakang untuk cerita berdasarkan karya klasik Genji Monogatari (The Tale of Genji). DalamUtsukushisa-to Kanashimi-ke (Kecantikan dan Kesedihan, 1965), Kawabata menceritakan tentang reuni seorang pria tua dan seorang seniman wanita, yang balas dendam dengan artis muda. Dalam kisah ini, seperti dalam karya-karya lain dari kehidupan di kemudian hari, pendekatan Kawabata adalah terbuka, lebih tersirat, mengarah ke imajinasi pembaca, daripada dibuat eksplisit.

Salah satu novel nya kurang dikenal di Meijin, barat (Master of Go, 1972). Go adalah permainan strategi kuno Jepang dan pertandingan Go berkaitan dengan permainan itu sendiri, dan dengan menghormati tradisi dan ritual kuno. Mencerminkan ketegangan antara tradisi lama dan pragmatisme baru. Dalam cerita, pemain terisolasi selama bagian dari pertandingan, dan dan akhirnya, ketika para pemain muncul dari isolasi, tradisi Go sendiri telah hilang. Kawabata dianggap ini bagian terbaiknya penulisan, meskipun mencolok dan suku dibandingkan dengan karya yang lain. Banyak kritikus menganggap karya ini menjadi komentar Kawabata pada budaya Jepang dan Perang Dunia II.

Saat ia tumbuh dewasa, Kawabata menjadi terkenal sebagai penulis di seluruh dunia. Pada tahun 1960, sebelum menerima Hadiah Nobel, Kawabata membuat tur di Amerika Serikat, mengajar di universitas.Pada akhir tahun 1960 Kawabata berkampanye untuk kandidat politik konservatif di Jepang dan, dengan Yukio Mishima dan penulis lain, menandatangani Surat Revolusi Kebudayaan di Cina. Dia juga presiden klub PEN Jepang dan aktif dalam membantu penulis bercita-cita. Kawabata mengutuk bunuh diri di pidato penerimaan Nobel, mungkin mengingat beberapa penulis sesama yang telah meninggal oleh tangan mereka sendiri. Namun, Kawabata telah lama menderita kesehatan yang buruk, dan pada tanggal 16 April 1972 Kawabata bunuh diri di rumahnya di Zushi oleh gas sendiri. Dia meninggalkan catatan Kawabata yang secara anumerta dianugerahi Orde First Class Matahari Terbit.

6. Yukie Chiri
Yukie Chiri (8 Juni 1903 - 18 September 1922), sebuah Japanese transcriber dan penerjemah. Dilahirkan dalam sebuah keluarga Ainu di Noboribetsu, sebuah kota di Hokkaido, prefektur paling utara Jepang. Di suatu waktu dalam sejarah Jepang ketika meningkatkan imigrasi Jepang (Wajin, yang dibedakan dari Ainu) untuk Hokkaido telah mengakibatkan Ainu untuk direlokasi ke komunitas terpisah dan, dalam banyak kasus, cara kehidupan mereka diambil dari mereka. Ainu itu dipandang sebagai orang terbelakang, dan itu adalah kebijakan pemerintah untuk mengasimilasi mereka ke dalam cara Jepang kehidupan. Ainu sendiri, untuk sebagian besar, melihat ini sebagai yang terbaik (dan mungkin saja) cara untuk bertahan hidup perubahan zaman.

Chiri dikirim ke bibinya Kannari Matsu di Chikabumi, di pinggiran Asahikawa, ketika dia berusia enam tahun, mungkin untuk mengurangi beban keuangan pada orang tuanya. Matsu tinggal sendirian dengan ibu tua itu, Monashinouku, pencerita yang berpengalaman cerita Ainu sangat sedikit Jepang. Sehingga Chiri tumbuh menjadi sepenuhnya bilingual dalam bahasa Jepang dan Ainu, dan memiliki keakraban dengan sastra lisan Ainu yang menjadi kurang umum pada saat itu. Meskipun ia harus bertahan diolok-olok di sekolah, ia unggul dalam studinya, khususnya dalam seni bahasa. Tapi dia menderita kompleks rendah diri etnis yang menimpa banyak dari generasinya.

Chiri itu berusia pertengahan remaja saat pertama kali bertemu dengan ahli bahasa Jepang yang terkenal dan bahasa Ainu sarjana Kyosuke Kindaichi selama periode Taisho bangsa. Dia berkeliling Hokkaido untuk mencari pemancar Ainu sastra lisan dan telah datang untuk mencari dan Matsu Monashinouku. Kindaichi segera mengenali potensi gadis itu. Ketika Kindaichi menjelaskan kepada Chiri nilai melestarikan cerita Ainu, sebuah kebanggaan menyambut tapi benar-benar asing di akar nya Ainu mulai membangkitkan dalam dirinya, dan ia memutuskan untuk mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mempelajari yukar leluhurnya (Kindaichi 1997) .

Kindaichi kembali ke Tokyo, tapi dikirim catatan kosong begitu Chiri bisa merekam apa pun yang datang ke pikiran tentang budaya dan bahasa Ainu. Dia memilih untuk merekam cerita neneknya, meneriakkan menggunakan romaji untuk mengekspresikan suara Ainu, dan kemudian dia menerjemahkan yukar ditranskripsi ke dalam bahasa Jepang. Akhirnya dia dibujuk untuk bergabung Kindaichi di Tokyo untuk membantu pekerjaannya dan memoles koleksi yukar. Hanya beberapa bulan setelah tiba di Tokyo, malam saat Chiri menyelesaikan antologi yukar, ia meninggal karena gagal jantung. Dia hanya sembilan belas tahun (Fujimoto 1991).

Antologi Chiri yang diterbitkan pada tahun berikutnya dengan judul Ainu Shinyōshū (Kumpulan dari epos Ainu para dewa). Kakaknya Mashiho Chiri kemudian meneruskan pendidikannya di bawah sponsor Kindaichi dan menjadi seorang sarjana yang dihormati studi Ainu. Bibinya Matsu juga melanjutkan pekerjaan menyalin dan menerjemahkan yukar.

7. Higuchi Ichiyo (1872–96)
Higuchi Ichiyo (1872-1896) lahir Higuchi Kitsuko, anak kelima dari seorang petani ambisius yang telah meninggalkan negara dan datang ke Tokyo pada harapan meningkatkan stasiun sosialnya. Dia berhasil membeli jalan ke kelas samurai tahun 1867, hanya ketika Jepang westernisasi dan melakukan jauh dengan perbedaan kelas tradisional. Dia mengirim anak kutu buku untuk sekolah swasta dengan kurikulum klasik, di mana dia mengembangkan reputasi sebagai seorang pembaca rakus. Ibu Ichiyo yang menolak upaya suaminya untuk "overeducate" putri mereka dan menarik diri dari sekolah pada usia sebelas, dan selama tiga tahun sementara ia belajar keterampilan domestik. Pada empat belas, Ichiyo kembali ke sekolah yang mengajarkan puisi dan studi sastra klasik, di mana ia unggul dalam menulis puisi dengan cara yang klasik.

Pada tahun 1887, ketika Ichiyo lima belas tahun, ayahnya dipaksa pensiun dari pekerjaannya. Acara ini diikuti oleh kematian kakaknya tertua dan investasi bisnis yang gagal oleh ayahnya, yang meninggal dua tahun kemudian, meninggalkan keluarganya tanpa sumber daya. Ketiga wanita rumah tangga bekerja di pekerjaan kasar untuk menghidupi diri sendiri, tetapi mereka tergelincir semakin jauh ke dalam kemiskinan. Mereka membuka sebuah toko kecil pada tahun 1893, yang gagal dalam beberapa bulan.

Selama tahun ini, Ichiyo bekerja sebagai guru dan administrator di Haginoya. Dia mulai menulis fiksi dalam upaya untuk mendapatkan lebih banyak uang, penerbitan sastra di bawah nama Higuchi nya Ichiyo, yang akan ia gunakan sepanjang karirnya. Dimulai dengan "Bunga di Senja" (1892), Ichiyo menulis beberapa cerita dan puisi, yang tumbuh semakin anti Romantis dan realistis sebagai kondisi keuangan memburuk. Pada tahun 1895, ia terbitkan Bermain Anak, sebuah novel yang membawa pengakuan yang lebih besar sastra dia dari penonton populer yang lebih luas. Ketika dia meninggal pada usia dua puluh empat, Ichiyo meninggalkan tubuh kerja yang terdiri dari beberapa ribu puisi, esai sastra beberapa, dua puluh satu cerita pendek, dan buku harian multivolume.

8. Shoyo Tsubouchi (1855-1935)
Lahir pada akhir zaman Edo, Tsubouchi Shoyo adalah anak dari seorang ayah Samuri dan ibu pedagang kelas. Pengaruh Konfusianisme ayahnya, seorang pejabat pemerintah dalam sistem pemerintahan Tokugawa, dan sastra populer dan teater yang mencintai ibu memberikan dua pengaruh penting dan tetap pada sikap sastra Shoyo itu. Sewaktu kecil, Shoyo telah terpesona oleh kenikmatan fiksi gesaku. Shoyo mengklaim telah membaca lebih dari seribu buku tersebut bahkan sebelum setelah lulus dari perguruan tinggi.

Shoyo lulus dari Sekolah Inggris Nagoya dan melanjutkan untuk Kaisei Gakko, yang kemudian menjadi Universitas Tokyo. Di kampus, ia membuat studi ekstensif dari bahasa Inggris. Meskipun Shoyo akan pergi untuk menjadi terbesar Cendekia Shakespeare Jepang, ia gagal ujian akhir di sastra Inggris, karena ia menulis sebuah esai yang buruk tentang karakter Gertrude di Dusun. Dipicu oleh kekalahannya, ia mencari perpustakaan untuk karya-karya kritik sastra Barat sehingga ia bisa memahami gurunya nilai rendah. Kegagalannya pada akhir, di mana profesor memintanya untuk menggambarkan karakter psikologis Gertrude dan dia menjawab hanya menggambarkan tindakan luar Gertrude, didorong ketertarikannya pada realisme psikologis.

Setelah lulus, Shoyo menerima posisi di Tokyo College, pendahulu dari Waseda University. Peran Shoyo dalam pembentukan universitas kedua Jepang yang paling bergengsi tidak dapat over-lain. Dia lectured, diberikan, mendirikan majalah sastra, Waseda Sastra (Waseda Bungaku), diedit bagian sastra dari Yomiuri Shimbun, sebuah surat kabar berpengaruh, adalah Kepala Sekolah dari Sekolah Menengah Waseda. Setelah pindah dari universitas ke sekolah Tengah, ia tajam terkesan dengan bantalan penting pendidikan populer telah pada masa depan bangsa. Semua ini dicapai selain untuk output besar sekali dari novel, karya-karya kritis, drama, dan opera.

Penting untuk dicatat bahwa Shoyo tinggal selama dan setelah periode Meiji Jepang. Duplicating model Kekuatan dunia lain, Jepang berusaha untuk memaksakan kehendak itu pada bangsa lain. Secara konkret hal ini mengakibatkan perang Rusia-Jepang. Malapetaka rohani yang perang modern tempa pada Jepang, seperti Perang Dunia I di Barat, itu sangat besar. Shoyo, mengikuti dalam kemampuan penyembuhan seni, percaya ini adalah kesempatan untuk menggunakan literatur untuk memperbaiki kerusakan dilakukan untuk pikiran pria. Shoyo bahkan berusaha keras untuk mencegah masuknya ide-ide Nietzsche ke Jepang, takut bias mereka mungkin menambah keadaan sudah berbahaya urusan kontemporer di Jepang imperialistik.

Dampak Shoyo Tsubouchi di dunia Sastra Jepang telah besar. Benar diakui sebagai pendiri sastra Jepang modern, Essence Shoyo dari Novel yang disebut pada penulis Jepang menggunakan unsur realisme psikologis Barat. Telepon ini tidak pergi diabaikan dan beberapa generasi menghasilkan karya-karya novelis mengikuti pedoman-Nya. Ini menjadi pengaruh formatif pada fiksi Jepang abad kedua puluh.

Esensi Novel yang dihasilkan nilai yang lebih langsung pada Shoyo adalah teman Futabatei Simei, yang, dipicu dengan membaca karya kritis Shoyo itu, diproduksi Awan drifting (Ukigumo, 1887-1888), novel modern pertama Jepang. Esensi Novel juga dilayani untuk menginspirasi generasi Romanticists, Naturalist, dan "Aku"-novelis. Pesannya didengungkan bahwa Oscar Wilde, bahwa "Seni", hanya "demi Art". Salah satu dampak nyata bahwa novel ini memiliki setelah Jepang adalah konsep bahwa menulis novel adalah terpuji usaha dan bukan yang rendah. Intelektual dari kelas Samuri mulai taat diri untuk profesi ini sebelumnya dibenci. Demikian status dari novel diangkat ke bentuk seni yang tinggi.

Pengaruh Shoyo telah mencapai luar novel ke drama, opera, dan pendidikan. Pengaruhnya di dunia teater dapat diringkas dalam perannya di "Asosiasi Sastra" dan karya kritisnya mengenai drama dan produksi yang mengesankan dari drama patut dicatat beberapa. Pengaruh Shoyo telah memiliki dan terus memiliki efek mendalam pada orang Jepang. Pengaruhnya berlanjut hingga hari ini dalam teori-teorinya dan Tsubouchi Shoyo Memorial Museum of Waseda University.

Esensi Novel berdiri sebagai pekerjaan Tsubouchi yang paling penting dari kritik. Di dalamnya ia menyatakan bahwa novel ini adalah bijutsu (seni) atau, yakni, nilai seni adalah mutlak dan tidak tergantung pada kegunaannya. Shoyo menganjurkan penolakan terhadap prinsip sastra sebelumnya yang umumnya dipegang dari Kanzen choaku, gagasan mendorong kebajikan dan menghukum sebaliknya. "Seorang seniman hanya bertujuan untuk memberikan pembacanya kesadaran keindahan dan menggembirakan hatinya ...." Oleh karena itu tujuan dari novel, menurut Shoyo, adalah untuk menyebabkan pembaca untuk memasuki bidang yang mendalam dan indah. Ini adalah identitas fundamental dari novel. Ketika seorang pria akan dipindahkan ke menghargai pikiran dan cita-cita mulia, yaitu bukan tujuan seni, itu hanya pengaruh alam seni.

Dalam novelnya, Shoyo membahas masalah gaya sastra. Di Cina dan di Barat, bahasa lisan dan tertulis adalah untuk sebagian besar sama, dan tidak ada keharusan tertentu, untuk memilih sebagai bentuk sastra. Di negara kita, bagaimanapun, situasinya berbeda. Ada beberapa sastra gaya. Masing-masing memiliki kekurangan dan manfaatnya, kelebihan dan kekurangan, dan mereka bervariasi tergantung di mana mereka menggunakan Inilah sebabnya mengapa kita harus memilih gaya sastra untuk novel.

 Dalam fiksi, Shoyo diidentifikasi tiga kategori, retoris (gabuntai) gaya, sehari-hari (zokubuntai) gaya, dan kombinasi dari dua (gazoku setchu buntai). Sampai gaya baru bisa muncul, Shoyo menganjurkan gaya terakhir. Kesulitan dalam mencapai gaya baru itu diatasi dengan tulisan-tulisan Futabatei Simei. Seorang mahasiswa berbakat muda terang literatur Rusia, Futabatei dan Shoyo dikombinasikan untuk menciptakan gaya gembun sekarang terkenal itchi. Saat itu di gaya baru, yang menyatukan bahasa lisan dan tertulis, bahwa Futabatei wrote Ukigumo, pada dasarnya, novel modern pertama Jepang.

9. TANIZAKI JUN-ICHIRO
Novelis Jepang, penyair, dan esai, yang berurusan dengan pengaruh barat pada warisan budaya lama negara asalnya. Setelah menerbitkan novel yang ditulis dengan gaya yang cukup ortodoks, Tanizaki menyatukan cerita tradisional Jepang dan narasi eksperimental. Dia menekankan fabrikasi sebagai dasar untuk fiksi, yang menyatakan bahwa dalam membaca dan tulisannya dia tidak tertarik pada apa pun kecuali kebohongan.

Junichiro Tanizaki lahir di Nihombashi, di distrik komersial dekat Tokyo Bay. Keluarganya memiliki sebuah mesin cetak, yang didirikan oleh kakek Tanizaki di dekat kuartal para pedagang beras. "Kakek sangat menyukai saya, cucu terakhirnya, dan kadang-kadang dalam beberapa tahun kemudian tiba-tiba merasa aku bisa mendengar suaranya memanggil namaku - "Jun'ichi, Jun'ichi" yang dia sampaikan selama bertahun-tahun awal, sementara dia masih hidup. Sebuah foto yang sangat diperbesar dari dia selalu ditampilkan secara jelas di rumah kami, jadi saya mengenal wajahnya dengan baik, dan bisa menyebutnya dalam pikiran dan menemukan Kakek kapanpun aku mau. Aften jatuh pada masa sulit keluarga Tanizaki telah kehilangan banyak kekayaan semula. Tanizaki menyembah ibunya yang menyusui memberinya makan sampai ia berusia 6. Meskipun masalah keuangan, orang tuanya dimanjakan dia dan membawanya ke pertunjukan teater yang tak terhitung jumlahnya, yang awal melahirkan gairah penulis untuk drama dan seni tradisional Jepang.

Tanizaki studi di universitas Tokyo berakhir pada tahun 1910 dalam kekurangan uang - atau menurut beberapa sumber tidak membayar tentang biaya adalah tindakan pemberontakan. Pada usia 24 ia menerbitkan salah satu cerita terbaik pendek, 'The Tattooer', yang menunjukkan pengaruh Edgar Allan Poe, Oscar Wilde dan Decadents Perancis. Potret Wilde dari Dorian Gray Tanizaki juga diterjemahkan. Dalam cerita karakter seorang wanita muda mulai berubah ketika ia telah mengambil tato. Ketika dalam novel Wilde lukisan itu menampilkan pembusukan subjek, dalam kisah itu Tanizaki desain artis adalah penyebab dari transformasi wanita. Tema keindahan feminin dan integritas moral ditandai cerita berikut nya, antara kemudian 'Whirlpool' di mana seorang wanita jahat bertindak sebagai seorang suci Buddhis untuk menggambar seorang artis.

Titik balik dalam kehidupan Tanizaki adalah gempa bumi besar di kawasan Tokyo pada 1923. Rumahnya di daerah perumahan modis diratakan oleh gempa. Tanizaki meninggalkan istri dan anak dan pindah ke daerah Osaka yang jauh lebih kuno. Di sana ia berhenti menggunakan model Barat dan mulai mengambil minat dalam sastra tradisional, terutama klasik Jepang kisah Genji Monogatari (The Tale of Genji), yang ditulis oleh Lady Murasaki Shikibu (± 980-1030). Tanizaki memasukkannya ke dalam modern Jepang tiga kali.

Baru Tanizaki pertama dari periode ini, serial di pertengahan-20, adalah Chijin NO AI (1924, Naomi, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1985), di mana seorang insinyur 28 tahun, Joji, berjalan melalui hubungan cinta dengan gadis yang sangat muda, yang sepenuhnya dibenamkan ke dalam budaya Barat. Ini cerita masokis diantisipasi Nabokov Lolita itu, tetapi juga menarik pada tema Pygmalion. Seperti Jepang tumbuh semakin kosmopolitan, Jepang dan orang asing bersemangat berbaur satu sama lain, segala macam doktrin dan filosofi baru sedang diperkenalkan. Dan pria dan wanita yang mengadopsi up-to-date mode Barat Tidak diragukan lagi, kali menjadi apa mereka, jenis hubungan pernikahan yang kita miliki, belum pernah terdengar sampai sekarang, akan mulai muncul di semua sisi. Dalam Tade Kuu Musi (Beberapa Lebih suka Nettles, 1928-29) Tanizaki melanjutkan tema benturan antara nilai-nilai tradisional dan budaya modern dan membuat simbol Tokyo dan Osaka konflik. Protagonis, Kaname, menganggap dirinya orang besar waktunya, tapi akhirnya meninggalkan dunia modern.

Pada saat penulisan 'Profesor Rado' (1925-1928), sebuah kisah erotis tentang seorang profesor sarjana eksentrik, pernikahan kedua Tanizaki itu mulai berakhir. Istri ketiganya, Matsuko, menjadi lagi untuk penulis target ibadah, seperti banyak perempuan lain dalam hidupnya.

Tahun Tanizaki dari perendaman dalam sejarah Jepang menghasilkan beberapa karya terbaik. Sejarah Rahasia Tuhan Musashi (1935) didirikan pada periode abad ke-16 sipil-perang. Dalam cerita Lady Kikyo berangkat untuk membalas dendam pembunuhan ayahnya dan mutilasi wajahnya. Tapi pelakunya adalah suaminya tidak menang, saat dia berpikir, tapi kekasihnya, Tuhan Mushashi, yang aneh obsesi seksual yang ada di balik plot keseluruhan. Kekaguman Tanizaki untuk tua Osaka terlihat di SASAMEYUKI (The Sisters Makioka, 1943-1948), sebuah rekreasi dari kehidupan keluarga Osaka pada 1930-an. Bab-bab pertama novel muncul selama Perang Dunia II, tetapi publikasi lebih lanjut dihentikan oleh sensor dari pemerintah militer. Tanizaki terus menulis dan menerbitkan bagian pertama atas biaya sendiri dan menyampaikan tembusan kepada teman-temannya. Bagian kedua muncul pada tahun 1947 dan bagian ketiga pertama kali dicetak dalam bentuk serial di majalah.

Meskipun itu Tanizaki digunakan istrinya sendiri dan tiga saudara perempuan mertua sebagai model - dan penulis sendiri memainkan bagian kecil di tengah cerita - itu bukan roman à clef. Tanizaki ingin merekam lingkungan budaya menghilang dari Osaka, dialek, dan kehidupan sehari-hari sebuah keluarga kelas menengah. Film ini bercerita tentang empat saudara perempuan, yang mencoba untuk menemukan suami yang cocok untuk Yukiko, adik ketiga. Dia adalah seorang wanita dari kepercayaan tradisional dan menolak pelamar beberapa, dan tetap hampir belum menikah. Sampai Yukiko menikah, Taeko, si bungsu, yang paling kebarat-baratan, harus menunggu gilirannya sesuai dengan konvensi sosial.

Cinta nostalgia Nya bagi tradisi dan sisa-sisa masa lalu, bahkan pedesaan dan usang, Tanizaki dinyatakan dalam esai 'Dalam Pujian Shadows' (1933-1934). Tanizaki disandingkan di dalamnya cahaya keras Barat dan berlumpur'''' Jepang kulit:'' Saya akan menelepon kembali setidaknya untuk literatur ini dunia bayang-bayang kita kehilangan. Di rumah disebut tulisan saya akan memiliki dalam atap dan dinding gelap, saya akan mendorong kembali ke dalam bayangan hal-hal yang maju ke depan terlalu jelas, saya akan mengupas dekorasi berguna.

Karakter Tanizaki yang sering didorong oleh keinginan erotis obsesif. Terkenal pasca perang novel termasuk FUTEN ROJIN NIKKI (1962, Diary of a Mad Old Man), yang menggambarkan seorang penulis buku harian tua yang tertimpa oleh stroke yang disebabkan oleh kelebihan gairah seksual. Dia mencatat baik keinginan masa lalunya dan upaya saat ini untuk menyuap putrinya mertuanya untuk memberikan pelayanan seksual dengan imbalan pernak-pernik Barat. KAGI (1956, Kunci) adalah cerita tentang pernikahan sekarat diperiksa melalui buku harian paralel. "Kalau sekarang, untuk pertama kalinya, buku harian saya menjadi terutama berkaitan dengan kehidupan seksual kita, akan dia dapat menahan godaan Secara alami dia sembunyi-sembunyi, menyukai rahasia, terus menahan dan berpura-pura ketidaktahuan;? Terburuk, dia menganggap bahwa kesopanan feminin Meskipun aku memiliki tempat bersembunyi beberapa kunci laci terkunci di mana aku menyimpan buku ini,. seperti seorang wanita mungkin telah mencari semua dari mereka. " Kedua protagonis mulai menggunakan buku harian mereka sebagai alat komunikasi dengan diam-diam menyetujui untuk membaca buku harian masing-masing sementara lahiriah berpura-pura bahwa mereka tidak. Buku harian mengungkapkan masalah mereka memahami satu sama lain dan keterpisahan bahkan selama aktivitas bersama hubungan seksual. Kunci ini diadaptasi ke layar oleh Kon Ichikawa tahun 1959, dan kemudian oleh Tinto Brass.

Tanizaki adalah salah satu penulis pertama Jepang kejahatan. Dalam cerpen 'The Thief' Tanizaki lagi mempelajari tema pada fabrikasi dan kebenaran. Narator adalah seorang mahasiswa muda yang diduga mencuri dari rekan-rekannya. "Ini juga menurut saya bahwa jika orang yang paling berbudi luhur memiliki kecenderungan kriminal, mungkin aku bukan satu-satunya yang membayangkan kemungkinan untuk pencuri." Akhirnya protagonis mengakui kesalahannya tapi membela dirinya bahwa ia mengatakan kebenaran secara tidak langsung.

Beberapa cerita-ceritanya telah dibuat menjadi film, di Jepang dan di negara lain. Untuk Suster Makioka ia menerima Hadiah Imperial pada tahun 1949. Tahun-tahun Tanizaki tinggal sebagian besar di Kansai, daerah sekitar Kyoto-Osaka-Kobe. Mishima Yukio, dari generasi muda penulis, adalah seorang pengagum setia Tanizaki, mereka keduanya aesthetes berkomitmen. Tanizaki meninggal di Yugawara, selatan Tokyo, pada tanggal 30 Juli 1965. Memoar masa kecilnya muncul serial di sebuah majalah Jepang di 1955-56, dan diumumkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1988.

Rabu, 13 Juni 2012

Jogja For The First Time


Lomba di Jakarta telah selesai. Sekarang sudah tanggal 11 Juni ! Saatnya berlibur di minggu tenang ! Kali ini aku menghabiskan 3 hari minggu tenangku di kota pelajar, Jogjakarta.

Ini kali pertama aku ke Jogja, sendirian pula. Rasa deg-deg an memenuhi dadaku, memikirkan ada tantangan apa di permainan kali ini? Apakah sempat aku menaklukkannya dalam 3 hari dua malam? Hahahaha, jelas saja.

Jogja jelas kota yang jauh lebih maju jika dibandingkan dengan kota ku, Padang. Terlalu banyak perbedaan yang kurasa tidak perlu kujelaskan. Aku hanya ingin mencatat perjalanan liburanku kali ini. Mana tahu bisa jadi refrensi buat teman-teman yang juga sendirian ingin pergi ke Jogja.

Jam 5 sore aku tiba di Bandara Adisutjipto. Dijemput oleh Kak Ui (kakak kandungku yang kuliah S2 di ISI Jogja) dan Kak Yudi (pacar barunya yang satu jurusan dengannya). Berhubung mereka sibuk kerja hari ini, akupun dititipkan pada Angelina Tyas Ratna Ningrum (teman SMAku yang kuliah di Atmajaya Jogja).

Sore itu aku, Tyas dan Ranni (teman kosan Tyas) hanya sempat ke Malioboro untuk berbelanja sekedarnya. Akupun tidak melihat sesuatu yang istimewa pada Malioboro, di Kota Padang, daerah ini mirip seperti sepanjang jalan dari Pasar Raya hingga ke Permindo. Hanya saja jelas, di sini harganya lebih murah dan barang-barangnya lebih bagus. Setelah makan malam di warung boerjo, langganan Tyas dan Rani, aku dan Tyaspun siap menunggu jemputan kak Yudi untuk menaruh barang bawaanku ke kos nya. Tapi kak Yudi begitu lama, sehingga kami menyempatkan diri datang ke Japanese Haunted House yang kebetulan sedang buka di daerah Atmajaya. Mungkin karena aku pernah berpengalaman bekerja sebagai hantu, di Padang, aku tidak merasa begitu takut. Tapi ya lumayanlah, cukup menyeramkan.

Malam nya aku ke alun-alun Jogja yang dikenal dengan pohon beringinnya, ke Tugu Jogja, dan berkeliling Jogja hingga pukul 1 pagi, pulang ke kos Kak Ui dan bermalam di sana. Oh ya, aku sempat juga menikmati bersepeda ria bersama kak Ui, kak Yudi, dan Kak Sondeng (temannya kak Yudi dan kak Ui).


Besok paginya, aku dan kak Ui ke Borobudur, kami bawa motor sampai Kantor Pos, trus naik Trans Jojga sampai halte tempat bus ke Borobudur, baru deh nyampai di Borobudur. Menikmati kehebatan Borobudur di terik siang yang sangat mengiggit. Kebetulan aku pergi itu hari Selasa, jadi Borobudur tidak terlalu ramai, dan aku cukup asyik berfoto-foto ria. Setelah dari Borobudur, kami kembali ke Kantor Pos, mengambil motor, dan melanjutkan perjalan. Tujuan berikutnya adalah Kraton Jogjakarta. Menikmati sejarah-sejarahnya. Kraton aja punya sejarah begini banyak, Indonesia punya berapa Sejarah ya? --“ Setelah itu kami singgah sebentar ke Museum Kereta. Mengelilingi museum itu sekitar setengah jam dan berkhayal, kapan aku jadi puteri dan bisa naik kereta bersama sang pangeran? Hahahahaha XDD






Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Taman Budaya Jogjakarta, tempat sekre FKY (Festival Kebudayaan Yogyakarta), kebetulan Kak Ui adalah sekretarisnya. Parkir motor di sana lalu berjalan-jalan di Pasar Beringharjo. Mencari oleh-oleh, tas kuning dan sepatu kuning. Setelah sekitar dua jam keliling-keliling, aku tidak mendapatkan apa-apa selain oleh-oleh mainan kunci gitar dari batok kelapa. Lalu perjalanan dilanjutkan ke Pasar Mataram untuk kembali mencari sepatu kuning, di sini banyak penjual sepatu. Tapi tetap saja, aku tidak menemukan sepatu kuniiiiiiiiing. Grrrrr.

Lelah menghampiri dan kami baru ingat, kami belum makan dari pagi. Akhirnya kamipun mampir ke Kafe Ramintem. Kafe ini kelihatan unik. Sebelumnya Kak Ui bercerita bahwa ini adalah kafe homo. Mulai dari pemilik, sampai karyawannya kebanyakan adalah homo. Kafe ini sebenarnya menjual makanan standar Jogja, hanya saja membuat bentuk pengemasan yang berbeda dan sedikit unik, sesuai dengan kehomoan mereka. Contohnya saja ada menu Ayam Koteka. Dan saat aku memesan susu, akupun terkaget melihat cangkir yang didesain menyerupai payudara wanita.



Sudah senja, kamipun berencana untuk ke Studio 21 di Ambarukmo Plaza (Amplaz). Kebetulan tanggal 7 kemarin baru saja peluncuran film Soegija. Beliau uskup pertama di Indonesia yang menjadi salah satu pahlawan untuk kebangkitan nasional. Beliau cukup berperan di Semarang saat Belanda dan Jepang menguasai Indonesia. Kamipun berjalan-jalan sebentar di Plaza, karena film pun diputar pukul 21.30 hingga 23.30. Itupun kami hanya mendapat kursi di barisan nomor dua dari depan. Karena posisi yang kurang strategis dan dinginnya pendingin ruangan, sesekali aku sempat tertidur saat film berjalan.


Hari sudah hampir menjemput dini hari, kamipun kembali menuju alun-alun untuk makan dan istirahat sejenak. Sekitar pukul 1 dini hari, kamipun kembali menuju kos Kak Ui, di Sewun, untuk bertemu mimpi.
Besoknya, kak Ui tidak bisa lagi menemaniku menghabiskan hari. Karena dia harus kerja full 12 jam hari ini. Dia juga tidak bisa mengantar ku ke bandara untuk kembali ke Jakarta hari ini. Aku pun bermain bersama kak Yudi, yang cukup baik mau menghabiskan hari bersamaku. Kami memulai perjalanan kami ke Taman Sari, tempat mandinya para putri Raja dulu.



Lalu ke museum Vanderburg di dekat Taman Budaya. Sekitar 2 jam kami menghabiskan waktu di sana. Setelah itu aku berjanji untuk ketemuan dengan Bobi (teman SMA ku yang juga kul di Jogja).


Setelah menelanjangi museum itu, kami bertiga pun melanjutkan perjalanan ke Kebun Binatang Gembira Loka. Kebun Binatang ini cukup luas, dan mayoritas diisi oleh kaum reptil dan amfibi. Mereka punya beraneka ragam ular, kodok, dan kadal, dan lain lain sejenisnya hiiiiiiiii




Hari sudah mendekati pukul 2. Kamipun mencari tempat untuk makan siang. Kali ini kak Yudi mengajakku makan malam di sebuah kafe (lupa nama) yang biasanya dipakai untuk klub-klub dansa di kota pelajar ini. Kafe ini menyediakan semaca orgen lengkap. Padahal kafe ini terbilang kecil, tapi ya jadi berkesan mewah. Di sinilah aku berpisah dengan Bobi, karena aku mesti ke Bandara, sudah saatnya kembali pulang. Pesawat ku berangkat tepat pukul 4 sore.

Tapi sebelum benar-benar menuju bandara, kak Yudi mengajak ku ke sebuah toko unik, toko ini menjual barang baru dan bekas. Akupun dengan cepat mengobrak-abriknya dan mendapatkan kacamata kuning dan earphone winnie the pooh kuning yang lucu. Ya walaupun bukan tujuan utamaku, tapi setidaknya cukup meredakan sedihnya hati yang tidak juga mendapatkan tas kuning dan sepatu kets kuning, hwuaaaaaaaaaa.
Sekitar pukul setengah 4, aku kembali tiba di Bandara Adisutjipto. “Terimakasih ya Kak” salam ku pada kak Yudi sebelum check in.



Waaaah, sungguh tiga hari yang melelahkan. Akupun tertidur pulas di pesawat. Good Bye Jogja, I hope we can meet again, someday. J

Jumat, 08 Juni 2012

Pidato Membawaku ke Jakarta


Hari ini aku ke Jakarta. Untuk mengikuti Lomba Pidato Bahasa Jepang Tingkat Nasional di Jakarta. Lomba diadakan di RRI Pusat di Jakarta, tidak jauh dari Monumen Nasional (Monas).

Dari awal memang jelas sudah, aku tidak berharap lebih pada lomba kali ini. Sudah sampai Jakarta, sudah cukup bagiku. Aku merasa tidak pantas, jika aku harus menang, karena ya, aku tahu kapasitasku. Tujuan aku hari ini benar-benar untuk mencari pengalaman, teman dari seluruh Indonesia, dan jalan-jalan selagi masa minggu tenang (pekan sunyi sebelum UAS).

Ya, kali ini tandinganku, tidak mungkin lagi dikalahkan oleh sebuah keberuntungan. Mereka semua benar-benar luar biasa hebat. Kemampuan mereka jauh di atasku. Aku jelas harus belajar banyak untuk bisa mengalahkan mereka. Dan ya benar saja, aku tidak mendapat piala apa-apa untuk dibawa pulang, selain piala pengalaman tentu saja.

Lomba ini membuat aku mendapat 13 teman baru, ada dari Binus Jakarta, Universitas Hassanudin (UNHASS) Makassar, Universitas Brawijaya (UB) Malang, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung, Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta, juga ada yang aku lupa nama universitasnya, mereka dari Solo, Bali, Surabaya, dan ... hmmm lupa.




Dan empat universitas pertama, adalah urutan universitas yang mendapat urutan pemenang pertama, kedua, ketiga, dan harapan I. Mereka benar-benar hebat dan pantas menang. Keberadaan mereka memberiku semangat tersendiri untuk semakin rajin belajar dan mengenal bahasa Jepang jauh lebih dalam lagi.

Malam nya, kami peserta lomba menginap di Hotel Millenium, Kebo Sirih, Jakarta. Tidak jauh juga dari monas. Makanya, malam selesai semua acara, kami pergi makan malam bersama. Makan sate di daerah Sarinah. Setelah itu kami semua menghabiskan malam minggu bermain ke Monas. Monas benar-benar ramai malam ini. Bahkan sempat ada adegan "1 detik" berbahaya yang aku alami di sini. Karena salah seorang pedagang ada yang lempar minuman botol kaca ke pedagang lain dan lewat persis di dekat wajah aku. Iiih sereeeem dah. 

Besok nya kami juga masih sempatkan untuk pergi bersama-sama. Pagi setelah sarapan di hotel, kamipun mencoba berpetualang ke Museum Nasional, yang juga dekat dengan Monas. Menelanjangi museum dengan berfoto-foto pada setiap lokasi menarik. Hanya saja kali ini, aku hanya menikmati hari bersama tiga teman saja, Muly dari Sulawesi, Hendy dari Semarang, dan Bang Ody dari Medan. Kebetulan teman-teman peserta lainnya sudah kembali pulang ke asal masing-masing. Walaupun sedikit lebih sepi, tapi tetap mencoba mensyukuri hari.



Tuhan, terimakasih atas semua anugrah yang telah Engkau berikan hingga hari ini. 

J

Minggu, 03 Juni 2012

Si Sipit Eps.III - Sore Bersamamu


Pagi nya hari minggu, aku mencoba memulai mengiriminya pesan duluan. Tapinya tidak berbalas. Itu pancingan pertamaku hari itu. Karena tidak berbalas ya sudah, akupun tidak mengabaikan apapun lagi tentangnya. Semua selesai hanya di malam kemarin, pikirku. Sorenya pun aku berencana untuk ke sekre, seperti aktivitas ku biasanya. Dan tidak kusangka dia sedang di luar, sedang mencuci piring, mungkin. Sekilas aku lihat dia mengenakan kaus dan celana pendek biasa. Tapi aku sengaja tidak terlalu memperhatikannya. Aku ingin dia yang menarik perhatianku terlebih dahulu. Hahahahaha XDD

Kebetulan sekali saat itu Paulus, salah seorang anggota biasa (AB) baru selesai masak nasi goreng. Akupun membunuh waktu, menunggu dia menarik perhatianku dengan mencicipi masakan itu. Aku duduk di teras depan dan dia naik ke lantai 2. Dan untuk kesekian kalinya, aku benar. Tak lama kemudian dia turun, sudah mengenakan pakaian lebih layak, dan membawa kamera. Berhenti sejenak di dekatku. Untung saja Heri (salah seorang AB juga) terlebih dulu bertanya, “ Mau kemana Bang?”. Bang Edo pun menjawab, “mau hunting-hunting foto dulu ke taplau”. Akupun mengerti maksudnya, dan langsung menantang, “Aku ikuuuuut!”. Dengan aura bahagia Bang Edo menjawab, “Ya ayoklah.”

Sore itu kami berjalan ke taplau, yang tidak terlalu jauh dari sekre kami, berdua. Dia bercerita cukup banyak tentang dirinya, juga tentang perasaan nya kepadaku, penjelasan untuk kalimat di layar telepon genggamnya tadi malam. Setelah banyak bercerita, aku mengenal pribadinya lebih banyak. Dia tipe cowok pencerita. Mirip beberapa masa laluku. Aku suka. Ntahlah ceritanya itu bualan semata, aku tidak peduli. Setidaknya dia membuatku berhenti menjadi si pencerita untuk sementara.

Kemudian sorepun habis. Kami kembali ke sekre, karena sekitar jam6, Bang Edo harus pulang kembali ke Pekanbaru. Kami pun berpisah, hingga sekarang. Tidak akan ada cerita lagi pastinya, batinku.

Sabtu, 02 Juni 2012

Si Sipit Eps.II - Di Rumah Bang Gokma


Setelah selesai berbelanja ria, kami kembali ke mobil, dan benar saja, Bang Edo langsung memilih untuk duduk di sampingku. Mungkin dia benar-benar menangkap umpan pancinganku. Kurasakan hangat tubuhnya. Hahahahahaha. Sudah cukup lama, tubuh jandaku ini tidak merasakan hangat lelaki, apalagi di malam minggu seperti ini. Duduk di pinggir bak mobil ini memang sedikit menguntungkanku. Sesekali tangannya menggapai punggungku ketika aku hampir terjatuh ke belakang akibat kecepatan bang Anton, sang Ketua Presidium, meninggi saat membawa mobil.

Sampai di rumah Bang Gokma. Awalnya aku mendapati, Bang Edo duduk di pinggir sofa di dekat dinding. Sekilas sempat memandang matanya. Tapi segera kualihkan. Itu salah satu cara mengetes dan memancing. Hahahahahaha. Sebagai perempuan sudah tabiatnya untuk duduk di daerah yang dekat dapur. Dapurnya kebetulan dekat dengan ruang TV yang juga merupakan sebagian ruang tamu. Kebetulan juga si Eci, sang bayi ditidurkan di dekat TV. Aku memang menyenangi anak-anak, akupun memilih untuk duduk di dekat Eci. Menikmati delik matanya yang polos dan ketidakberdayaan tubuhnya untuk bergerak.

Dan, benar saja, tanpa kusadari, Bang Edo telah sampai di sampingku. Ntah kapan dia pindah duduk, akupun tidak tahu. Lagi-lagi kurasakan hangat tubuhnya. Kubiarkan semua berjalan seperti biasa dulu, dia seperti menarik untuk dijadikan seorang abang, pikirku. Hingga sebelum pulang, aku melihat dia mengeluarkan telepon genggamnya. Akupun mengambilnya dan menekankan nomorku untuk dihubungi. Oke. I GOT IT. I got his number. Ini adalah pancingan berikutnya. Aku hanya mempermudah langkahnya, kalau memang benar dia tertarik denganku. Hahhahahaha. Saat detik-detik mau pulang, dia menarik lenganku dan memperlihatkan telepon genggamnya padaku.

dek, abg sbnrnya suka samamu dari awal ketemu.” terpampang pada layar hitam putih itu.

Akupun bersorak dalam hati. YES. Masuk perangkap deh. Hahahahahaha. Tak peduli lah, mau itu pernyataan serius apa bercandaan. Yang penting berarti pancingan aku sukses lagi kali ini. XDD Tapi aku segera menunjukkan muka biasa saja. Toh, aku memang masih menganggapnya abang dan tidak ada yang perlu dibahas. Kamipun pulang. Kembali naik ke atas bak mobil, dan dia lagi-lagi memilih duduk di sampingku. Kali ini sedikit lebih rapat. Akupun mulai memberanikan diri meletakkan tanganku di pahanya. Kalau bagian itu bukan dibuat-buat loh, habisnya takut jatuh siiih, gak ada pilihan laiiiin ><

Dalam perjalanan pulang, dia cukup banyak bercerita, menjelaskan tulisan di hapenya tadi di dekat telingaku. Bahkan sekali dia memuji aku masih harum (ntah gombal ntah ndak, gak tahu deh), yang menandakan bahwa dia bisa merasakan bauku di dekatnya. Oh Tuhan, seandainya hubungan ini sedikit lebih lama, aku ingin mencoba memilikinya, ucapku dalam hati. Aku menyukai hangat tubuhnya. Hangat tubuhnya membuatku merasakan aura yang sepertinya sudah kukenal lama. Tak lama pun aku diantar ke rumahku. Saat aku akan turun dari bak mobil itu, dia berlagak seperti sang pahlawan yang menggenggam tanganku dan membantuku turun, bahkan hampir mencoba ingin merangkulku, untung saja tidak jadi, kalau tidak aku bisa pingsan di tempat. Hahahahaha XDD