Ada sebuah fenomena menarik di
lingkungan fakultas saya, fakultas ilmu budaya. Dalam waktu kurang lebih
setahun memperhatikannya dan perkembangannya stabil bahkan cenderung meningkat.
Awalnya lucu melihat mereka, teman dan senior satu jurusan – Jurusan Sastra
Asia Timur – berkumpul kemudian
berteriak-teriak histeris. Sehingga memancing rasa keingintahuan siapa saja
yang melihatnya. Ketika mereka histeris sambil melihat ke layar laptop, maka
mereka sedang menonton video klip atau film drama boyband Korea. Ketika sedang membaca majalah, maka akan bersampul boyband asal Korea atau mungkin Jepang.
Melihat ketertarikan mereka yang
luar biasa akan boyband Asia, terutama Korea, suatu hari saya pun iseng
bertanya tentang Indonesia kepada beberapa dari mereka. Ada yang bisa menyebut
tentang korupsi, teroris, dan sebagainya. Akan tetapi saat ditanya siapa,
kapan, di mana, dan bagaimana, maka tidak ada jawaban yang memuaskan. Parahnya
lagi ada yang hanya menjawab, “Banyak pesawat-pesawat jatuh.” Kemudian saya
mulai berpikir, masalah saja tidak tahu, lalu bagaimana mungkin mencari solusi?
Parahnya lagi jawaban itu keluar dari mulut seorang mahasiswa. Mulai timbul runtutan pertanyaan, apakah
dengan masuknya di Jurusan Sastra Asia Timur membuat mereka lupa dengan negara mereka
sendiri?? Ironis bukan??
Tanpa mengetahui apa tujuannya,
saya pun mengirimkan angket sederhana melalui SMS (Short Message Service) kepada 20 orang yang adalah penggemar berat Korea dan Jepang. Jawabannya pun lebih
mengerikan. Sehari mereka bisa mendengar sekitar 55 lagu dan menonton 18 video,
seminggu bisa menonton sekitar 4 film drama, sebulan bisa membeli 2 majalah,
dan mengetahui sekitar 61 % tentang Korea atau Jepang (terutama Korea).
Mendapat sambutan yang menyenangkan untuk angket, sayapun mulai berani
menanyakan alasan mengapa mereka bisa sangat menyukainya. Di urutan pertama
karena unsur penampilan artis yang menarik secara fisik, sedangkan berikutnya
adalah karena mutu hiburan (musik, lagu, menari, film) yang berkualitas. Lalu
berapa banyak kepedulian mereka tentang lagu, film dan Kebudayaan Indonesia?
Tanpa perasaan bersalah salah satu dari mereka menjawab, “Kalau masalah tahu
atau tidak, tentu kami tahu tentang dunia hiburan Indonesia. Tapi kalau masalah
suka atau tidak, lebih banyak tidak suka nya daripada suka.” Seperti di dunia
pemerintahan, dunia hiburan Indonesia pun sudah penuh poltik busuk, sehingga
nilai seni yang murni sudah langka untuk dinikmati.
Dilihat dari daftar mata kuliah saya
semester ini, perbandingan mata kuliah umum (Indonesia) dengan mata kuliah jurusan
(Jepang) adalah 7 : 3. Perbandingan yang signifikan ini, secara tidak disadari,
membuat mahasiswa lebih memahami tentang Jepang daripada tentang Indonesia
perlahan-lahan. Bahkan ada dosen yang mengatakan, “Saat Anda memasuki lokal
ini, tolong tinggalkan budaya Indonesia Anda di luar.” Mungkin kita bisa saja
bergumam, “Yaiyalah lebih banyak mata
kuliah Jepang ! Kalau maunya lebih banyak mata kuliah Indonesia, masuk saja
Jurusan Sastra Indonesia.” Memang di satu sisi hal ini benar dan sama
seperti halnya mahasiswa jurusan lainnya. Lalu coba kita lihat, bagaimana
antusias mahasiswa terhadap mata kuliah umum (Indonesia) ? Maka akan ditemukan
beberapa orang yang sedang berperang dengan rasa kantuknya atau bahkan sedang
menikmatinya. Di bagian belakang akan ada mahasiswi yang sedang sibuk mengobrol
di luar konteks pelajaran. Mahasiswa yang memperhatikan memang ada, akan tetapi
sulit mengetahui mana yang benar-benar memperhatikan atau sebenarnya hanya
sedang melamun kosong. Jangankan seorang mahasiswa, saya pun pernah mendengar
seorang anak sekolah dasar (SD) saja dengan santai mengatakan, “Untuk apa sih
belajar sejarah ? Membosankan dan susah sekali dihafal.” Lahir lah banyak
generasi muda pecinta kebudayaan Asing yang tidak peduli tentang kebudayaan
Indonesia dan berpengetahuan minim tentang sejarah negara. Deskripsi fenomena
lingkungan di atas hanyalah fenomena kecil. Tapi bagaimana jika hal-hal kecil
yang buruk dibiarkan terus menerus?
Hei, Indonesia! Sadar dan
bergeraklah! Lihatlah sedikit bayangan tentang generasi muda mu sekarang!
Indonesia adalah salah satu negara
berkembang dengan tingkat kecepatan yang lamban. Masalah pun datang silih
berganti tanpa mendapat penyelesaian yang konkret hingga ke akar.
Bermacam-macam kejahatan, pelanggaran, dan hiburan tidak senonoh sepertinya
sudah menjadi isu wajib bahkan dianggap wajar sebagai bahan media massa.
Awalnya semua orang sibuk saling berdebat, berdialog, berdiskusi
memperbincangkan masalah Indonesia. Banyak yang merasa paling benar dengan
menuntut pemerintah secara sepihak. Adapula yang merasa paling pintar
seakan-akan dia punya solusi konkret untuk membantu menyelesaikan masalah
Indonesia. Tapi hasilnya apa ? Dari dulu sampai sekarang, Indonesia masih
berputar-putar di masalah yang sama. Baik itu tentang korupsi, terorisme, pornografi,
kejahatan, demonstrasi, perselisihan tentang SARA, ataupun bencana alam,
semuanya belum pernah diselesaikan dengan tuntas. Hingga akhirnya secara
perlahan rakyat sendiri merasa lelah sendiri dan akhirnya jenuh.
Seiring Indonesia masih bergelut dengan
masalah-masalah internal, tanpa diundang angin globalisasi pun sepoi-sepoi
menari. Setiap insan yang merasa panas dan gerah menikmati setiap sentuhannya.
Hingga secara perlahan, tanpa disadari kita yang menikmatinya menyerap tanpa
banyak menyaring. Berbagai paham dan konsep bukan hanya diterima dengan
baik, bahkan dengan cepat dijadikan
contoh, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa sendiri. Terutama angin
globalisasi di bidang teknologi, informasi, dan komunikasi. Belum lagi paham
liberal dengan ciri khas “kebebasan” nya, diterima secara penuh oleh mayoritas
anak muda yang notabene generasi penerus bangsa. Bukan hanya sekedar gaya
penampilan atau mode, akan tetapi juga karakternya. Segala hal yang berbau
kebebasan, salah satunya tingginya rasa individualisme, dan lalu membuat
pribadi menjadi hedonisme yang mengutamakan kesenangan sementara. Sehingga
akhirnya menciptakan sikap tidak peduli terhadap lingkungan, baik antar sesama,
kepada negara sendiri, hingga akhirnya terhadap lingkungan alam sendiri
sekalipun merupakan tempat tinggal sendiri.
Sementara Indonesia sendiri masih
buta akan angin globalisasi, membiarkannya begitu saja, seakan-akan semua
memang sewajarnya. Hingga terlontar pernyataan, “Namanya juga perkembangan zaman.” Saya paling kesal setiap kali
mendengar seseorang bersembunyi dibalik kata proses, tapi tidak melakukan
banyak perubahan nyata. Ingat ! “Waktu
adalah uang!” Mari kita hargai
proses tapi bukan dengan ikhlas membiarkannya berlalu begitu saja. Sudahlah
tidak punya uang, waktu pun dibuang-buang ! Kaya sekali Indonesia kita ini
rasanya !
Hei, Indonesia! Sadar dan bergeraklah!
Lihat betapa bodohnya dirimu?
Jika begitu latar belakangnya,
tidak salah jika aku menemukan penggemar-penggemar boyband Asia (Korea dan
Jepang), pencinta komik Jepang, lalu menemukan anak – anak muda yang berlomba –
lomba ingin belajar ke luar negeri. Kemudian bagaimana mahasiswa pun diproses
untuk menjadi seorang pekerja yang akhirnya berusaha agar bisa diterima di
perusahaan di luar negeri atau minimal perusahaan asing di Indonesia. Hingga
akhirnya terbersit niat untuk mengganti warga negara. Berangsur-angsur tingkat
percaya diri seseorang pun makin lama makin melemah. Karena sepertinya susah
sekali mencari tempat berpijak, hingga kadang akhirnya secara pasrah kita
mengatakan, “Serahkan semuanya kepada Tuhan, rencanaNya jauh lebih Indah.”
Jangankan percaya diri sebagai seorang Indonesia, percaya diri atas dirinya
sendiri di lingkungan nya sendiri saja mungkin tidak ada. Tidak hanya di dunia
nyata, bahkan di dunia maya pun, sebagian dari mereka lebih suka menampilkan
foto-foto boyband, artis, atau gambar-gambar komik favorit mereka sebagai foto
profil dalam jejaring sosial. Dan kemudian, lihat, bagaimana fenomena mencintai
budaya asing sepertinya diterima begitu saja seperti sebuah kewajaran? Tanpa
sadar, tinggal menghitung hari, mereka akan lupa dengan kebudayaan Indonesia
sendiri.
Sebagai mahasiswa Jurusan Sastra
Asia Timur, saya sering sekali disuguhi tentang pemahaman-pemahaman, pola
pikir, serta kebudayaan Jepang. Saya
sendiri melihat bagaimana banyaknya kebudayaan-kebudayaan Jepang, yang
dilaksanakan secara penuh makna dan dilaksanakan turun temurun. Kebudayaan
adalah hal utama yang begitu dijaga dan dilestarikan sebagai salah satu harga
diri bangsa. Itu sebabnya, tidak sedikit orang asing – termasuk kita – yang
ingin mempelajari budayanya, dan banyak yang terkesan dengan kehebatan serta
kedisiplinannya. Sekarang, bagaimana orang asing bisa menghargai budaya kita,
saat kita sendiri tidak menghargai budaya itu ? Bagaimana tidak dengan mudah
negara-negara tetangga bisa mencuri budaya kita ? Lalu pemerintah dengan sikap
sok nasionalisme berusaha mempertahankan kebudayaan itu, yang sebenarnya hanya
untuk mengalihkan isu-isu berita politik secara sementara.
Saat pelajaran sejarah begitu
membosankan bagi pelajar SD dan budaya negeri tidak menjadi hal penting bagi
setiap penduduknya, apalagi yang mau dihargai dari Indonesia kita ini ? Omong
kosong dengan kata “ramah-tamah”. Tidak ada “ramah-tamah” di Indonesia. Itu
hanya bahasa halus untuk menjilat wisatawan asing agar mau bekerjasama dengan
Indonesia, yang pada akhirnya hanya untuk menambah utang-utang ke setiap
generasi berikutnya. Orang asing tidak bodoh, sekalipun mereka sebenarnya tidak
menghargai budaya kita sepenuhnya. Bukannya berpandangan negatif, tapi coba
renungkan, bersikaplah kritis ! Budaya itu mahal ! Tidak begitunya dengan mudah
bisa diajarkan dan diberikan kepada orang asing, karena yang namanya nilai rasa
itu berbeda-beda setiap orang. Sehingga secara tidak langsung – jujur saja –
beberapa dari kita sering merasa masih terjajah. Bagaimana caranya orang asing
bisa menghargai Indonesia, yang membuat korupsi menjadi budayanya? Lalu dengan
bangga mencetak dan menjadikannya sebuah stiker “BUDAYA KORUPSI MERAJALELA”.
Hei, Indonesia! Sadar dan bergeraklah!
Mana harga dirimu!?
Para mahasiswa demonstran yang
ngakunya kritis sering menyatakan, “Mari
kita ubah Indonesia ini !” Bagaimana sudah hancurnya Indonesia ini, baik
dari segi kesehatan, ekonomi, pendidikan, politik, dan sebagainya. Indonesia
yang beginilah atau Indonesia yang begitulah. “Memangnya siapa sih, Indonesia itu ?” Sadarlah, bahwa Indonesia
itu adalah kita. Kita semua penduduk ini, bangsa ini, kita lah yang disebut
sebagai Indonesia. Jangan sombong mengatakan ingin mengubah Indonesia, jika
kita tidak mau memulainya dari diri kita sendiri. Kita selalu mengorientasikan
Indonesia itu seakan-akan hanya pemerintah saja. Tidak, salah besar. Hal ini
lah yang sebenarnya inti dari perubahan itu sendiri. Pupuklah rasa bahwa saya
pribadi adalah Indonesia. Saat kita merasa kita Indonesia, maukah kita merasa
bodoh? Atau maukah kita mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang
rendah? Maukah kita menerima diri kita diinjak-injak oleh orang lain?
Jawabannya tentu tidak kan? Saat kita sebagai individu merasa sebagai
Indonesia, maka kita akan kuat! Rasa nasionalime pun tinggi! Bukankah itu yang
terjadi di tahun-tahun silam sebelum kemerdekaan? Bukankah itu yang
diperjuangkan Soekarno dan kawan-kawan 66 tahun yang lalu? Bagaimana tingginya
rasa patriotisme setiap daerah untuk mau sama-sama berjuang sebagai Indonesia
untuk membebaskan negeri dari kolonialisme? Bagaimana tidak korupsi merajalela,
para pemerintahan tidak merasa mereka adalah Indonesia sehingga menganggap
semuanya uang pribadi. Sementara rakyat pun tidak merasa Indonesia, sehingga
tidak peduli tentang apa yang telah dilakukan pemerintah. Walaupun sebenarnya
peduli, tapi tidak pernah mau mulai bertindak untuk melakukan sesuatu. Simpati
tanpa empati sama saja nol.
Maka dari itu saya menekankan
bagaimana pentingnya mahasiswa Indonesia harus tahu bahwa merekalah Indonesia
muda! Jangan pernah menggunakan istilah “generasi
penerus”. Saya tidak pernah mau dikatakan sebagai generasi penerus bangsa!
Karena saya memang bukanlah generasi penerus kebodohan-kebodohan ini! Mari
menjadi “generasi pembaharu”.
Kembalikan kejayaan Indonesia dan jangan hanya berkhayal di republik mimpi! Mari
bergerak dan bertindak! Walaupun mungkin mereka yang telah menjadi Indonesia
bodoh sekarang ini adalah salah satu dari orangtua kita, tapi jangan teruskan!
Kita yang tahu itu salah harus bisa memperbaikinya, karena kita Indonesia muda,
generasi pembaharu! Kita bergerak demi Indonesia dulu, untuk Indonesia kini,
dan mempersiapkan Indonesia masa depan. Demi kehidupan orangtua kita, untuk
kehidupan kita sekarang, dan anak-anak kita di masa depan . Tanam pribadi
Indonesia dan cabut lah penjajahan dalam segala hal sampai ke akar-akarnya!
Hei, Indonesia Muda?! Sudah siapkah
dirimu?!
Saya memandang bahwa masalah
Indonesia sekarang, bukan tentang ekonominya, pendidikannya, atau hukumnya.
Masalah Indonesia sekarang adalah moral dan kepribadiannya. Moral dan
kepribadian hanya bisa ditenun melalui pendidikan. Pendidikan pun bisa
didapatkan dari mana saja, mulai dari keluarga, lingkungan sosial, dan sekolah
atau perguruan tinggi. Mulailah dengan bagaimana seharusnya konsep dan proses
belajar mengajar yang berkualitas. Apa gunanya fasilitas seperti pendingin
ruangan, peralatan in focus, laptop,
akan tetapi penutur dan petutur tidak bisa berhubungan timbal balik secara
aktif? Lebih parahnya lagi di kota saya, Padang, jarangnya seorang dosen masuk
dalam perkuliahannya dianggap sebagai hal yang wajar dan diterima begitu saja
baik bagi mahasiswa sendiri bahkan bagi dosen-dosen lainnya. Mengapa saya
mengatakan begitu? Ya, karena sampai sekarang saya belum melihat adanya
perubahan untuk itu. Generasi pembaharu apa yang bisa dihasilkan kalau
fenomena-fenomena kecil seperti ini dibiarkan terus menerus?
Secara khusus, mahasiswa jurusan
sastra asing atau mahasiswa calon-calon budayawan dan sastrawan, harus bisa seimbang
dalam mempelajari Budaya Indonesia dan budaya asing. Karena memang sebenarnya
posisi mereka memegang andil besar dalam pergerakan menuju kemajuan. Dalam
menggerakkan calon akuntan, politikus, sejarahwan, dokter, ilmuwan, ahli hukum
dan lain lain, untuk mau mengenal dan mencintai Indonesia luar dalam. Logika
saja, bagaimana cara nya sang politikus menghargai budaya, saat sang budayawan
sendiri tidak peduli akan kajiannya? Pakar-pakar pendidikan terdahulu dan
jajarannya harus lebih memusatkan perhatiannya kepada hal-hal kecil seperti
ini, sebelum memikirkan konsep-konsep besar seperti menciptakan sekolah
bertaraf internasional. Setiap ahli pendidikan harus memasukkan rasa dan budaya
Indonesia ke dalam kurikulum pendidikan bahkan sejak TK! Sehingga akhirnya
sebagai Indonesia muda, mahasiswa sadar akan identitasnya. Setelah kita setiap
individu merasa sebagai Indonesia, lalu sadar akan identitas, secara tidak
langsung pasti akan bertanggung jawab untuk berkarya dan bersaing luar dalam.
Pada dasarnya saya sangat tidak
puas pada tradisi lama yang terus mendengkur dan rasa iba yang mendalam pada
kaum generasi muda yang hanya menyenangkan diri sendiri. Ibaratnya sebuah keluarga, maka Indonesia
sedang mengalami dilema broken home.
Saat kedua orangtua tidak bisa menyatukan pendapat untuk menyelesaikan masalah
mereka, sementara si anak asyik dengan playstationnya.
Melihat keadaan yang kritis ini saya melihat bahwa satu-satunya jalan adalah
menceburkan diri dalam sebuah gerakan. Bukankah sudah sering kita mendengar
perumpamaan sapu lidi? Saya rasa tidak perlu dijelaskan. Saatnya untuk bersatu,
sama-sama menjadi Indonesia. Kita kembalikan lagi harga diri Indonesia, kita bumikan
lagi nilai-nilai Pancasila, kita kuatkan lagi norma hukum undang-undang dasar
kita.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat
dalam konteks ini, yaitu: pertama,
bahwa gerakan nasionalisme harus ditangkap sebagai bagian dari kepedulian
terhadap persoalan bangsa dan mendorong negara untuk mengembalikan dirinya
sebagai bagian dari kepentingan rakyat, tapi kemudian menafsirkan diri menjadi
musuh negara sehingga tidak terjebak pada posisi mewakili kepentingan politik
kelompok tertentu. Kedua, gerakan
nasionalisme tidak saja dimaknai sebagai kepedulian terhadap persoalan hukum
dan politik saja, namun penting juga untuk menjadi bagian dari pemberdayaan dan
pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat secara nyata. Ketiga, gerakan nasionalisme harus juga dimaknai sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari upaya mengajak seluruh elemen bangsa untuk bangkit
dari berbagai persoalan yang ada selama ini. Di balik ketidakmampuan negara
menyelesaikan persoalan kenegaraan dan kebangsaan saat ini, gerakan
nasionalisme menjadi kekuatan alternatif yang mampu melakukan peran-peran
substitusi untuk melayani kebutuhan masyarakat.
Mari kita berbenah dari hal kecil,
menanamkan rasa Indonesia mulai dari diri sendiri. Menanamkan Indonesia sebagai
karakter setiap individu rakyat. Melalui
cinta budaya dan sejarah Indonesia, lahirlah generasi pembaharu Indonesia.
Semoga semangat Indonesia ini pada akhirnya terus menggelinding bagaikan bola
salju yang semakin lama memiliki kekuatan besar sehingga mampu menggerakkan
seluruh elemen bangsa untuk tidak hanya sekedar peduli saja namun mampu
melakukan kerja-kerja yang lebih nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro