Walaupun
sempat tergoda untuk berpaling, akhirnya aku berhasil juga mengabulkan
permintaan sang hati.
Aku
dan empat teman ku hari ini pergi survei ke Gunung Pangilun, salah satu lokasi
bencana banjir bandang yang baru terjadi beberapa hari yang lalu di kota
Padang. Selain Gunung Pangilun, banjir bandang juga menimpa daerah Kapalo Koto
Limau Manih, Gadut, dan Lubuk Kilangan. Bencana ini cukup menggenaskan,
sekalipun berskala kecil. Di beberapa daerah, banjir telah menghancurkan rumah
warga, menghanyutkan barang-barang berharga, merusakkan barang-barang
elektronik serta kendaraan, juga ada yang menenggelamkan rumah warga hingga ke
atap.
Empat
temanku ini adalah Roli, Saiful, Alfard, dan bang Niki. Dari keempat teman ini,
hanya satu yang kukenal, yaitu bang Niki. Selain karena aku sebagai
satu-satunya kembang dalam kelompok ini, ketidaktahuan ku atas pribadi teman
yang lainnya, membuatku sebenarnya cukup pesimis untuk melanjutkan kegiatan
ini. Akan tetapi dengan menguatkan tekad dengan niat yang tulus, akhirnya aku
tetap melangkahkan kaki mengikuti permintaan hati.
Sejak
malam kejadian, aku begitu merasa iba dan sedih mendengar berita ini. Di sisi
lain, juga merasa sangat bersyukur bahwa bencana ini tidak mengenai daerah
perumahanku. Biasanya jika terjadi hujan lebat, maka daerah rumahku (rawa) lah
yang terlebih dahulu tergenang banjir. Akupun langsung membayangkan, seandainya
saja bencana ini menimpaku. Aku mungkin tidak tahu apa yang akan aku lakukan.
Bayangkan saja, bagaimana jika rumahmu terendam banjir hingga ke atap. Semua
barang-barangmu akan habis rusak atau tidak layak dipakai lagi. Terutama bagi
korban banjir di daerah Kapalo Koto. Daerah tersebut adalah daerah kampus
Universitas Andalas Padang, dimana kebanyakan menjadi tempat kos-kosan bagi
mahasiswa yang merantau. Mungkin mahasiswa tidak punya banyak barang
elektronik, tapi bagaimana dengan buku-buku pelajaran atau berkas-berkas
penting urusan kemahasiswaan? Lagi-lagi aku bersyukur.
Rasa
syukurkupun terus memaksaku untuk melakukan sesuatu untuk bencana itu. Apalagi
setelah aku mendapat kabar, bahwa salah seorang sahabatku Ryko, menjadi salah
satu korban bencana. Tapi karena air mati dan tidak adanya kendaraan di rumahku
untuk beberapa waktu kemarin, niatku ingin menjenguknya ke rumahnya, belum juga
terlaksana. Sementara hatiku terus berpikir keras bagaimana caranya agar aku
bisa memberi bantuan, segera?
Hingga
akhirnya bang Alfa memberi kabar bahwa ada sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang membutuhkan sukarelawan dan akan mengadakan rapat segera. Selain
bang Alfa, ada juga bang Fajri yang ikut serta, akupun bertambah semangat
mengikuti kegiatannya. LSM ini bernama Nusa Relief (NR). Dan ternyata NR
bukanlah LSM yang bergerak dalam hal pengumpul bahan bantuan (materi), tetapi
bergerak di bidang penanganan korban untuk aspek psikososialis pasca bencana.
Awalnya kedengaran menarik dan membuat hatiku semakin bersemangat. Akan tetapi
setelah mendapat sedikit pembekalan tentang teori nya, aku merasa perlahan
pesimis. Ya, ini pasti akan sulit sekali karena penuh dengan tantangan, apalagi
dilakukan oleh orang-orang yang tidak berpengalaman. Tapi hatiku masih saja
bersikeras ingin mencoba. Toh katanya, minggu ini hanya melakukan assesment
terlebih dahulu.
Nah,
hari ini sekitar pukul 11, aku dan empat temanku berkumpul dan segera menuju
lokasi bencana. Kami membawa motor kami masing-masing. Udara begitu sesak,
kotor, dan berdebu. Sinar mentaripun menyengat tak mau kalah. Jalanan licin dan
becek oleh sisa-sisa lumpur yang belum mengering sempurna. Ditambah lagi dalam
kondisi sedang berpuasa. Semua kondisi fisik lapangan benar-benar menguji
ketabahan iman kami, sekalipun aku tidak ikut berpuasa. Tapi ntahlah, rasa
lapar, haus, dan panas yang dikeluhkan teman-temanku, tidak begitu kurasakan.
Mungkin karena aku masih sarapan jam 8 tadi ya, pikirku. Kakiku masih kuat
melangkah, mataku masih mampu melihat, dan badanku masih kokoh berdiri. Aku
masih semangat, sederhana saja.
Karena
kebutaan kami akan lokasi dan bencana itu sendiri, akhirnya kami menghabiskan
waktu sekitar dua jam untuk berputar-putar. Melihat setiap daerah dengan
seksama, untuk bisa memutuskan daerah mana yang terparah, yang membutuhkan
bantuan kami. Lalu kami menuju kantor kelurahan, untuk meminta izin dan
informasi. Menurut ibu wakil lurah, daerah yang paling parah adalah RT 01 dan
RT 02 di RW 02. Kamipun segera menuju lokasi ketua RT yang disebutkan beliau.
Saat
mencari rumah ketua RT, kami melewati rumah-rumah warga yang terkena bencana.
Semua serba sibuk. Ada yang sibuk di dalam rumahnya, merapikan dan
membersihkannya bersama sanak keluarga. Ada juga yang masih sibuk dengan mobil
semprot air dari pemadam kebakaran untuk mengeluarkan lumpur-lumpur dari
rumahnya. Posko bantuan juga sudah cukup tersebar. Sekilas aku melihat ada
posko dari LG, Garuda Indonesia, salah satu partai di Indonesia, posko
kesehatan, dan posko-posko LSM lainnya. Ternyata tingkat kepedulian masyarakat
di sini masih tinggi, syukurlah, batinku. Dan setelah berkonsultasi dengan
ketua RT, akhirnya kami mendapat sebuah lokasi untuk mendirikan posko kami
nantinya.
Sudah
pukul satu siang, terik matahari belum lelah menjalarkan panasnya ke ubun-ubun
kepala kami. Kamipun memutuskan untuk berhenti di salah satu sekolah menengah
atas di daerah sana, membaca buku panduan sederhana yang diberikan, memahami
kuisioner dan berdiskusi singkat. Kami sempat pesimis dan bingung tentang
bagaimana harus memulai kegiatan ini, karena kami benar-benar tidak membawa
bantuan fisik apapun. Hal itu akan menjadi kekecewaan warga nantinya. Setelah
berdiskusi singkat dan saling menyemangati, akhirnya kami memutuskan untuk
memulainya dari rumah ketua RT itu sendiri, Pak Syarif namanya.
Untung
saja Pak Syarif menyambut kami cukup baik. Kami mulai bertanya pelan-pelan
tentang keadaan Pak Syarif dan keluarganya. Ingin mengetahui secara umum
bagaimana keadaan psikososialis beliau. Pak Syarif pun bercerita cukup tenang
dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan santai. Kelihatannya beliau
tidak terlalu trauma terhadap bencana ini. Akupun mulai sedikit optimis untuk
kelancaran kegiatan ini. Sementara aku sebagai si penanya utama kehabisan
pertanyaan, Pak Syarif pun berkata, “Nanti kalau bisa di rumah warga lain,
wawancaranya tidak usah terlalu lama ya. Kita tidak tahu nanti mereka mungkin
bisa saja kecewa atau berpikiran tidak senang.”
Memang
benar sih, tapi kalimat beliau kembali menyurutkan langkah kami untuk
meneruskan kegiatan itu sore ini. Setelah berdiskusi sebentar, sekitar pukul 3
sore, sehabis dari rumah Pak RT kamipun memutuskan untuk kembali ke sekretariat
NR untuk berkumpul dan meminta saran kepada bang Heri dan istrinya sebagai sang
tetua.
Hufff,
sekian dulu hari ini. Cukup melelahkan, tapi hasil tidak memuaskan. Semoga saja
besok kami bisa bergerak lebih efektif dan efisien lagi, amiiiiiiiiiiiiiiiiiiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro