Sudah
sebulan. Eh tidak, 30 hari. Hmm tunggu, atau 4 minggu ya? Aku tidak tahu
persis, satuan waktu mana yang cocok untuk menjelaskan, sudah berapa lama
hubungan kita ini berjalan. Biarlah, aku yakin toh kau pun tak peduli kan
Sayaang?
Tapi
aku merasa, hmm, tidak ada sesuatu yang begitu istimewa. Bukaaaaan. Bukan
maksudku, bahwa hubungan kita tidak istimewa. Perasaanku mungkin lebih tepat
dikatakan santai, tenang, nyaman, hmm, sederhana. Ya, begitulah, semuanya
kujalani dan terasa sederhana bagiku. Bagaimana denganmu?
Perasaanku
kepadamu pun begitu sederhana. Aku memang mencintaimu, menyayangimu,
menginginimu, merindukanmu, dan memikirkanmu, tapi ya aku tidak pernah merasa
bahwa aku harus melakukan sesuatu untukmu dan kau harus melakukan sesuatu
untukku. Apa kau mengerti? Tunggu, akupun susah menjelaskan bagaimana pastinya
perasaanku. Ini baru bagiku, perasaan yang sederhana seperti ini benar-benar
baru kali ini aku punya.
Awal
aku menerimamu dalam hatiku, tak sedikitpun ada keraguan yang terbersit di
hatiku mengenai rintangan bersatuan kilometer itu. Rasa cemburu dan khawatir
akan kehilanganmu jelas ada, tapi ya, ntahlah aku merasa sepertinya semua
sederhana saja dan aku tidak terlalu perlu untuk membahasnya berkepanjangan.
Jujur saja, Sayaang. Sebenarnya aku tidak suka dengan
hubungan jarak jauh seperti ini. Kau pun tahu kan, mulai dari mama, kakak, dan
abangku, tiga orang yang kusayang pun sekarang sedang berada jauh dariku. Ya
sekalipun masih ada papa dan kedua adik lelakiku di rumah ini, tapi tetap saja
aku merasa kekurangan. Saat menyadari aku harus berkomitmen denganmu, aku
merasa sedikit sedih memang.
Bagaimana tidak? Hatiku selalu bertanya, “Tuhan, mengapa aku harus sering sekali
diposisikan berada jauh dari orang-orang yang aku sayang? Apa memang aku tidak
pernah pantas berada di dekat mereka? Atau karena aku yang belum sanggup
membahagiakan mereka, jika mereka di sampingku? Tuhan, apakah tidak ada
kesempatan bagiku untuk memiliki seorang kekasih yang bisa menjadi sandaran lelahku
saat aku tidak sanggup berdiri sebagai yang tertua di rumah ini? Apakah tidak
ada kesempatan untukku memiliki seorang kekasih yang bisa menggantikan peran
kakak dan abangku yang sudah lebih dulu Kau tempatkan jauh dariku?”
Dan sering sekali aku bertanya kecil, “Kenapa ya begini banget ceritanya?”
Tapi ntahlah, pertanyaan-pertanyaan itu hanya mampu
menggelantung di sudut-sudut hatiku. Di mana mereka selalu menunggu harapan,
agar waktu segera menjawab semuanya dengan indah. Begitulah, hatiku begitu
tenang, dia sepertinya pasrah saja terhadap apa yang terjadi. YA, PASRAH.
Kalau ditanya masalah “ingin bertemu?” tentu jawabanku
“iya”. Tapi ya ntahlah, aku tidak pernah merasa bahwa aku harus benar-benar
mengusahakan sebuah pertemuan. Aku tidak pernah merasa bahwa aku harus begini,
kau harus begitu, agar kita bisa begini. Lalu apa yang kulakukan di hari-hari
rinduku menanti kebersamaan kita? Sederhana saja, aku bisa mendengarkan lagu,
menutup mataku lalu membayangkanmu di sisiku, membayangkan teduh matamu, besar
hidungmu, lebar senyummu, tebal bibirmu, rambut-rambut halus di sekitar bibirmu
hingga telinga biksumu.
Ahh, aku rindu kau Sayaang. Dan sekarang aku menangis.
Tenang, aku tidak sedang bersedih. Tapi beginilah caraku merindukanmu.
Membayangkan bagaimana aku menikmati teduh matamu, ketika
kau dengan mantap berbagi pengetahuanmu. Mengingat bagaimana kita bermain
pencet-pencetan hidung dan kau selalu gagal ketika aku mulai cepat menggerakkan
telunjukku. Aku masih bisa melukiskan garis senyum pada bibir tebalmu yang
selalu membuatku berpikir, kapan aku benar-benar bisa memilikinya Sayaang?
Setelah itu aku akan tersenyum, rasa geli saat meraba rambut halus di sekitar
bibirmu. Kau bilang, kau tak mau mencukurnya habis kan? Satu lagi, masih jelas
di memoriku bagaimana ekspresi wajahmu yang seketika bisa saja diam saat aku
meraba-raba mereka. Dan aku pun tersenyum, ya aku merindukan saat-saat
sederhana itu. Belum lagi kalau harus mencolek telinga biksumu yang membuatnya
berayun lucu. Aku bisa saja lupa waktu, bahwa mungkin seharusnya aku mandi, aku
makan, aku membersihkan rumah, aku belajar, dan lain-lain. Aku bisa saja lupa,
saat aku merindukanmu. Benar-benar merindukanmu.
Mungkin sekarang kau tahu, mengapa aku lebih suka terdiam
dan memandangimu saat kita bersama. Aku hanya ingin merekam semuanya lebih
jelas daripada kamera kepunyaanmu itu. Aku hanya ingin punya memori yang
kapasitasnya lebih daripada kepunyaanmu. Aku hanya tidak ingin merindukan
bayang-bayang kaburmu. Kalau kau di sana bagaimana?
Kalau masalah “mengikhlaskan”, aku jelas tidak bisa
benar-benar ikhlas membiarkanmu harus mengejar cita-citamu dan semakin menjauh
dariku. Tapi tetap saja, aku merasa tidak perlu melakukan apa-apa, selain
berdoa kepada Nya, agar semua rencanamu berjalan sesuai kehendak Nya.
Kalau masalah “cemburu”, sudah mutlak hukumnya aku takut
kehilanganmu. Tapi ntahlah, aku tidak pernah berniat untuk menghakimimu. Aku juga
merasa tidak perlu mengurusi atau mengatur hubungan pertemananmu. Menurutku
terlalu membuang-buang waktu jika aku harus menghabiskan waktu untuk menuruti
emosi negatifku. Bukanlah lebih baik kita habiskan dengan tertawa bersama,
sekalipun mungkin hanya lewat untaian kata di pesan elektronik.
Aku merasa terlalu tenang Sayaang. Tiba-tiba aku merasa
takut. Apakah ini pertanda cinta sejati, atau sebaliknya atau memang ada
rencana lain yang sedang dibuat untuk kita Sayaang? Aku takut dan berhenti
menangis. Lagi-lagi kukatupkan jemariku dan segera kudoakan nama kita untuk
selalu bersama. Kita masih terlalu muda untuk semua ini ya? Ya, kita memang
hanya bisa meraba-raba semua perasaan.
Sayaang, aku tidak bisa menjanjikan sebuah hubungan yang
sempurna. Tapi selama kau mencoba, aku akan bertahan. Percayalah. Aku
mencintaimu. Bukankah yang terpenting dari sebuah hubungan adalah adanya
keinginan dua orang untuk tetap bersama? Sederhana. Itu saja.
With love,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro