Sekarang
udah hari Senin, udah saatnya Bang Edo buat pulang kembali ke kotanya
Pekanbaru. Hwuuaaaaa. Aku belum ikhlas. Aku belum ingin dia pulang. Aku masih
ingin bersama. Tapi apa daya, kami punya kehidupan masing-masing di kota kami
masing-masing. Jam setengah sebelas aku melepas kepergiannya, tanpa banyak ucap
kata.
Setelah
aku sampai di rumah, aku merasa menyesal. Aku merasa sangat kesal pada diriku
yang tak mampu mengungkapkan apa-apa tentang perasaanku kepadanya. Aku merasa
bersalah, bodoh, dan sangat jahat. Melepas kepergiannya begitu saja. Diam-diam
dalam hati aku berharap, dia jangan pulang hari ini.
Dan
benar saja!
Setengah
jam setelah melepasnya, dia menghubungiku.
“Dek,
abang kecelakaan ni di dekat stasiun TVRI.”
Darahku
naik, jantungku berdegup kencang. Apa yang harus aku lakukan? TVRI cukup jauh
dari rumahku. Lagian, jikapun aku sanggup menempuhnya, apa yang sanggup aku
lakukan? Akupun berusaha menghubungi semua orang yang aku rasa mampu membantu.
Setelah cukup lama mencari bantuan, akhirnya sekitar pukul 2 siang, Ko Romi
datang menjemputku ke rumah dengan Avanza putihnya. Ternyata di dalam mobil ada
bang John, Paulus, dan juga Kak Uli. Kamipun segera melaju menuju lokasi bang
Edo.
Setengah
jam kemudian, kami sampai.
Wajahnya
merah. Aku tidak tahu apa artinya. Mungkin saja sedang emosi, sedang sakit,
atau sedang malu? Ntahlah. Perasaanku berkecamuk. Akupun mulai menyalahkan
diriku yang tadi diam-diam berdia supaya dia jangan pulang hari ini. Tapi
sudahlah, apa daya. Aku melirik motor Ninjanya. Banyak goresan pada bagian
kanannya. Dan ada banyak besi-besi patah yang tak kumengerti itu apa.
Setelah
lama berdebat antara kami, polisi, dan korban tabrakan, akhirnya masalah
diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Syukurlah, pikirku. Kamipun segera ke kantor
polisi sekitar untuk mengurus surat damai dan surat keterangan polisi untuk
mengurus asuransi motor bang Edo.
Setelah
semua urusan selesai, kami kembali ke sekre PMKRI dan beristirahat. Aku
menatapnya dalam. Mencoba membaca hati dan pikirannya. Membelai rambutnya
perlahan, mencoba menenangkan setiap pikirannya. Mengajaknya berbicara, untuk
membantunya membagi pikirannya. Tiba-tiba saja, aku mencintaimu bang, batinku.
Aku
merasakan getaran itu. Aku tak ingin kau pergi. Aku benar-benar takut
kehilanganmu. Aku merasa sangat bersalah dan sedih melihat keadaanmu. Aku
mohon, jangan kau lakukan lagi kebodohan-kebodohan macam ini. Aku tak sanggup
melihatmu terluka, Sayang. Besok aku akan katakan semuanya kepadamu, janjiku
dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro