Minggu, 29 Juli 2012

Banjir Bandang Padang : Hari Pertama


Walaupun sempat tergoda untuk berpaling, akhirnya aku berhasil juga mengabulkan permintaan sang hati.

Aku dan empat teman ku hari ini pergi survei ke Gunung Pangilun, salah satu lokasi bencana banjir bandang yang baru terjadi beberapa hari yang lalu di kota Padang. Selain Gunung Pangilun, banjir bandang juga menimpa daerah Kapalo Koto Limau Manih, Gadut, dan Lubuk Kilangan. Bencana ini cukup menggenaskan, sekalipun berskala kecil. Di beberapa daerah, banjir telah menghancurkan rumah warga, menghanyutkan barang-barang berharga, merusakkan barang-barang elektronik serta kendaraan, juga ada yang menenggelamkan rumah warga hingga ke atap.

Empat temanku ini adalah Roli, Saiful, Alfard, dan bang Niki. Dari keempat teman ini, hanya satu yang kukenal, yaitu bang Niki. Selain karena aku sebagai satu-satunya kembang dalam kelompok ini, ketidaktahuan ku atas pribadi teman yang lainnya, membuatku sebenarnya cukup pesimis untuk melanjutkan kegiatan ini. Akan tetapi dengan menguatkan tekad dengan niat yang tulus, akhirnya aku tetap melangkahkan kaki mengikuti permintaan hati.

Sejak malam kejadian, aku begitu merasa iba dan sedih mendengar berita ini. Di sisi lain, juga merasa sangat bersyukur bahwa bencana ini tidak mengenai daerah perumahanku. Biasanya jika terjadi hujan lebat, maka daerah rumahku (rawa) lah yang terlebih dahulu tergenang banjir. Akupun langsung membayangkan, seandainya saja bencana ini menimpaku. Aku mungkin tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Bayangkan saja, bagaimana jika rumahmu terendam banjir hingga ke atap. Semua barang-barangmu akan habis rusak atau tidak layak dipakai lagi. Terutama bagi korban banjir di daerah Kapalo Koto. Daerah tersebut adalah daerah kampus Universitas Andalas Padang, dimana kebanyakan menjadi tempat kos-kosan bagi mahasiswa yang merantau. Mungkin mahasiswa tidak punya banyak barang elektronik, tapi bagaimana dengan buku-buku pelajaran atau berkas-berkas penting urusan kemahasiswaan? Lagi-lagi aku bersyukur.

Rasa syukurkupun terus memaksaku untuk melakukan sesuatu untuk bencana itu. Apalagi setelah aku mendapat kabar, bahwa salah seorang sahabatku Ryko, menjadi salah satu korban bencana. Tapi karena air mati dan tidak adanya kendaraan di rumahku untuk beberapa waktu kemarin, niatku ingin menjenguknya ke rumahnya, belum juga terlaksana. Sementara hatiku terus berpikir keras bagaimana caranya agar aku bisa memberi bantuan, segera?

Hingga akhirnya bang Alfa memberi kabar bahwa ada sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang membutuhkan sukarelawan dan akan mengadakan rapat segera. Selain bang Alfa, ada juga bang Fajri yang ikut serta, akupun bertambah semangat mengikuti kegiatannya. LSM ini bernama Nusa Relief (NR). Dan ternyata NR bukanlah LSM yang bergerak dalam hal pengumpul bahan bantuan (materi), tetapi bergerak di bidang penanganan korban untuk aspek psikososialis pasca bencana. Awalnya kedengaran menarik dan membuat hatiku semakin bersemangat. Akan tetapi setelah mendapat sedikit pembekalan tentang teori nya, aku merasa perlahan pesimis. Ya, ini pasti akan sulit sekali karena penuh dengan tantangan, apalagi dilakukan oleh orang-orang yang tidak berpengalaman. Tapi hatiku masih saja bersikeras ingin mencoba. Toh katanya, minggu ini hanya melakukan assesment terlebih dahulu.

Nah, hari ini sekitar pukul 11, aku dan empat temanku berkumpul dan segera menuju lokasi bencana. Kami membawa motor kami masing-masing. Udara begitu sesak, kotor, dan berdebu. Sinar mentaripun menyengat tak mau kalah. Jalanan licin dan becek oleh sisa-sisa lumpur yang belum mengering sempurna. Ditambah lagi dalam kondisi sedang berpuasa. Semua kondisi fisik lapangan benar-benar menguji ketabahan iman kami, sekalipun aku tidak ikut berpuasa. Tapi ntahlah, rasa lapar, haus, dan panas yang dikeluhkan teman-temanku, tidak begitu kurasakan. Mungkin karena aku masih sarapan jam 8 tadi ya, pikirku. Kakiku masih kuat melangkah, mataku masih mampu melihat, dan badanku masih kokoh berdiri. Aku masih semangat, sederhana saja.

Karena kebutaan kami akan lokasi dan bencana itu sendiri, akhirnya kami menghabiskan waktu sekitar dua jam untuk berputar-putar. Melihat setiap daerah dengan seksama, untuk bisa memutuskan daerah mana yang terparah, yang membutuhkan bantuan kami. Lalu kami menuju kantor kelurahan, untuk meminta izin dan informasi. Menurut ibu wakil lurah, daerah yang paling parah adalah RT 01 dan RT 02 di RW 02. Kamipun segera menuju lokasi ketua RT yang disebutkan beliau.

Saat mencari rumah ketua RT, kami melewati rumah-rumah warga yang terkena bencana. Semua serba sibuk. Ada yang sibuk di dalam rumahnya, merapikan dan membersihkannya bersama sanak keluarga. Ada juga yang masih sibuk dengan mobil semprot air dari pemadam kebakaran untuk mengeluarkan lumpur-lumpur dari rumahnya. Posko bantuan juga sudah cukup tersebar. Sekilas aku melihat ada posko dari LG, Garuda Indonesia, salah satu partai di Indonesia, posko kesehatan, dan posko-posko LSM lainnya. Ternyata tingkat kepedulian masyarakat di sini masih tinggi, syukurlah, batinku. Dan setelah berkonsultasi dengan ketua RT, akhirnya kami mendapat sebuah lokasi untuk mendirikan posko kami nantinya.

Sudah pukul satu siang, terik matahari belum lelah menjalarkan panasnya ke ubun-ubun kepala kami. Kamipun memutuskan untuk berhenti di salah satu sekolah menengah atas di daerah sana, membaca buku panduan sederhana yang diberikan, memahami kuisioner dan berdiskusi singkat. Kami sempat pesimis dan bingung tentang bagaimana harus memulai kegiatan ini, karena kami benar-benar tidak membawa bantuan fisik apapun. Hal itu akan menjadi kekecewaan warga nantinya. Setelah berdiskusi singkat dan saling menyemangati, akhirnya kami memutuskan untuk memulainya dari rumah ketua RT itu sendiri, Pak Syarif namanya.

Untung saja Pak Syarif menyambut kami cukup baik. Kami mulai bertanya pelan-pelan tentang keadaan Pak Syarif dan keluarganya. Ingin mengetahui secara umum bagaimana keadaan psikososialis beliau. Pak Syarif pun bercerita cukup tenang dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan santai. Kelihatannya beliau tidak terlalu trauma terhadap bencana ini. Akupun mulai sedikit optimis untuk kelancaran kegiatan ini. Sementara aku sebagai si penanya utama kehabisan pertanyaan, Pak Syarif pun berkata, “Nanti kalau bisa di rumah warga lain, wawancaranya tidak usah terlalu lama ya. Kita tidak tahu nanti mereka mungkin bisa saja kecewa atau berpikiran tidak senang.”

Memang benar sih, tapi kalimat beliau kembali menyurutkan langkah kami untuk meneruskan kegiatan itu sore ini. Setelah berdiskusi sebentar, sekitar pukul 3 sore, sehabis dari rumah Pak RT kamipun memutuskan untuk kembali ke sekretariat NR untuk berkumpul dan meminta saran kepada bang Heri dan istrinya sebagai sang tetua.

Hufff, sekian dulu hari ini. Cukup melelahkan, tapi hasil tidak memuaskan. Semoga saja besok kami bisa bergerak lebih efektif dan efisien lagi, amiiiiiiiiiiiiiiiiiiin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro