Senin, 02 Juli 2012

Si Sipit Eps.VIII - Aku Mencintaimu


Sekarang udah hari Senin, udah saatnya Bang Edo buat pulang kembali ke kotanya Pekanbaru. Hwuuaaaaa. Aku belum ikhlas. Aku belum ingin dia pulang. Aku masih ingin bersama. Tapi apa daya, kami punya kehidupan masing-masing di kota kami masing-masing. Jam setengah sebelas aku melepas kepergiannya, tanpa banyak ucap kata.

Setelah aku sampai di rumah, aku merasa menyesal. Aku merasa sangat kesal pada diriku yang tak mampu mengungkapkan apa-apa tentang perasaanku kepadanya. Aku merasa bersalah, bodoh, dan sangat jahat. Melepas kepergiannya begitu saja. Diam-diam dalam hati aku berharap, dia jangan pulang hari ini.

Dan benar saja!

Setengah jam setelah melepasnya, dia menghubungiku.

“Dek, abang kecelakaan ni di dekat stasiun TVRI.”

Darahku naik, jantungku berdegup kencang. Apa yang harus aku lakukan? TVRI cukup jauh dari rumahku. Lagian, jikapun aku sanggup menempuhnya, apa yang sanggup aku lakukan? Akupun berusaha menghubungi semua orang yang aku rasa mampu membantu. Setelah cukup lama mencari bantuan, akhirnya sekitar pukul 2 siang, Ko Romi datang menjemputku ke rumah dengan Avanza putihnya. Ternyata di dalam mobil ada bang John, Paulus, dan juga Kak Uli. Kamipun segera melaju menuju lokasi bang Edo.

Setengah jam kemudian, kami sampai.

Wajahnya merah. Aku tidak tahu apa artinya. Mungkin saja sedang emosi, sedang sakit, atau sedang malu? Ntahlah. Perasaanku berkecamuk. Akupun mulai menyalahkan diriku yang tadi diam-diam berdia supaya dia jangan pulang hari ini. Tapi sudahlah, apa daya. Aku melirik motor Ninjanya. Banyak goresan pada bagian kanannya. Dan ada banyak besi-besi patah yang tak kumengerti itu apa.

Setelah lama berdebat antara kami, polisi, dan korban tabrakan, akhirnya masalah diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Syukurlah, pikirku. Kamipun segera ke kantor polisi sekitar untuk mengurus surat damai dan surat keterangan polisi untuk mengurus asuransi motor bang Edo.

Setelah semua urusan selesai, kami kembali ke sekre PMKRI dan beristirahat. Aku menatapnya dalam. Mencoba membaca hati dan pikirannya. Membelai rambutnya perlahan, mencoba menenangkan setiap pikirannya. Mengajaknya berbicara, untuk membantunya membagi pikirannya. Tiba-tiba saja, aku mencintaimu bang, batinku.


Aku merasakan getaran itu. Aku tak ingin kau pergi. Aku benar-benar takut kehilanganmu. Aku merasa sangat bersalah dan sedih melihat keadaanmu. Aku mohon, jangan kau lakukan lagi kebodohan-kebodohan macam ini. Aku tak sanggup melihatmu terluka, Sayang. Besok aku akan katakan semuanya kepadamu, janjiku dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro