Senin, 30 Juli 2012

Kita Sebulan


Sudah sebulan. Eh tidak, 30 hari. Hmm tunggu, atau 4 minggu ya? Aku tidak tahu persis, satuan waktu mana yang cocok untuk menjelaskan, sudah berapa lama hubungan kita ini berjalan. Biarlah, aku yakin toh kau pun tak peduli kan Sayaang?

Tapi aku merasa, hmm, tidak ada sesuatu yang begitu istimewa. Bukaaaaan. Bukan maksudku, bahwa hubungan kita tidak istimewa. Perasaanku mungkin lebih tepat dikatakan santai, tenang, nyaman, hmm, sederhana. Ya, begitulah, semuanya kujalani dan terasa sederhana bagiku. Bagaimana denganmu?

Perasaanku kepadamu pun begitu sederhana. Aku memang mencintaimu, menyayangimu, menginginimu, merindukanmu, dan memikirkanmu, tapi ya aku tidak pernah merasa bahwa aku harus melakukan sesuatu untukmu dan kau harus melakukan sesuatu untukku. Apa kau mengerti? Tunggu, akupun susah menjelaskan bagaimana pastinya perasaanku. Ini baru bagiku, perasaan yang sederhana seperti ini benar-benar baru kali ini aku punya.


Hubungan yang kita jalani jelas bukanlah hubungan yang mudah. Nama kerennya saja Long Distance Relationship (LDR) a.k.a hubungan jarak jauh. Jelas bahwa akan banyak rintangan yang kita hadapi, apalagi menimbang kita, terutama aku yang masih dalam usia labil dalam hal asmara.

Awal aku menerimamu dalam hatiku, tak sedikitpun ada keraguan yang terbersit di hatiku mengenai rintangan bersatuan kilometer itu. Rasa cemburu dan khawatir akan kehilanganmu jelas ada, tapi ya, ntahlah aku merasa sepertinya semua sederhana saja dan aku tidak terlalu perlu untuk membahasnya berkepanjangan.

Jujur saja, Sayaang. Sebenarnya aku tidak suka dengan hubungan jarak jauh seperti ini. Kau pun tahu kan, mulai dari mama, kakak, dan abangku, tiga orang yang kusayang pun sekarang sedang berada jauh dariku. Ya sekalipun masih ada papa dan kedua adik lelakiku di rumah ini, tapi tetap saja aku merasa kekurangan. Saat menyadari aku harus berkomitmen denganmu, aku merasa sedikit sedih memang.

Bagaimana tidak? Hatiku selalu bertanya, “Tuhan, mengapa aku harus sering sekali diposisikan berada jauh dari orang-orang yang aku sayang? Apa memang aku tidak pernah pantas berada di dekat mereka? Atau karena aku yang belum sanggup membahagiakan mereka, jika mereka di sampingku? Tuhan, apakah tidak ada kesempatan bagiku untuk memiliki seorang kekasih yang bisa menjadi sandaran lelahku saat aku tidak sanggup berdiri sebagai yang tertua di rumah ini? Apakah tidak ada kesempatan untukku memiliki seorang kekasih yang bisa menggantikan peran kakak dan abangku yang sudah lebih dulu Kau tempatkan jauh dariku?”

Dan sering sekali aku bertanya kecil, “Kenapa ya begini banget ceritanya?”

Tapi ntahlah, pertanyaan-pertanyaan itu hanya mampu menggelantung di sudut-sudut hatiku. Di mana mereka selalu menunggu harapan, agar waktu segera menjawab semuanya dengan indah. Begitulah, hatiku begitu tenang, dia sepertinya pasrah saja terhadap apa yang terjadi. YA, PASRAH.

Kalau ditanya masalah “ingin bertemu?” tentu jawabanku “iya”. Tapi ya ntahlah, aku tidak pernah merasa bahwa aku harus benar-benar mengusahakan sebuah pertemuan. Aku tidak pernah merasa bahwa aku harus begini, kau harus begitu, agar kita bisa begini. Lalu apa yang kulakukan di hari-hari rinduku menanti kebersamaan kita? Sederhana saja, aku bisa mendengarkan lagu, menutup mataku lalu membayangkanmu di sisiku, membayangkan teduh matamu, besar hidungmu, lebar senyummu, tebal bibirmu, rambut-rambut halus di sekitar bibirmu hingga telinga biksumu.

Ahh, aku rindu kau Sayaang. Dan sekarang aku menangis. Tenang, aku tidak sedang bersedih. Tapi beginilah caraku merindukanmu.

Membayangkan bagaimana aku menikmati teduh matamu, ketika kau dengan mantap berbagi pengetahuanmu. Mengingat bagaimana kita bermain pencet-pencetan hidung dan kau selalu gagal ketika aku mulai cepat menggerakkan telunjukku. Aku masih bisa melukiskan garis senyum pada bibir tebalmu yang selalu membuatku berpikir, kapan aku benar-benar bisa memilikinya Sayaang? Setelah itu aku akan tersenyum, rasa geli saat meraba rambut halus di sekitar bibirmu. Kau bilang, kau tak mau mencukurnya habis kan? Satu lagi, masih jelas di memoriku bagaimana ekspresi wajahmu yang seketika bisa saja diam saat aku meraba-raba mereka. Dan aku pun tersenyum, ya aku merindukan saat-saat sederhana itu. Belum lagi kalau harus mencolek telinga biksumu yang membuatnya berayun lucu. Aku bisa saja lupa waktu, bahwa mungkin seharusnya aku mandi, aku makan, aku membersihkan rumah, aku belajar, dan lain-lain. Aku bisa saja lupa, saat aku merindukanmu. Benar-benar merindukanmu.

Mungkin sekarang kau tahu, mengapa aku lebih suka terdiam dan memandangimu saat kita bersama. Aku hanya ingin merekam semuanya lebih jelas daripada kamera kepunyaanmu itu. Aku hanya ingin punya memori yang kapasitasnya lebih daripada kepunyaanmu. Aku hanya tidak ingin merindukan bayang-bayang kaburmu. Kalau kau di sana bagaimana?


Tapi tetap saja semuanya sederhana. Kau memang sempurna Sayaang. Kau mampu membuat semuanya kujalani dengan mudah, walaupun mungkin tidak bagimu. Kau mampu membuatku merasa tenang, santai dan nyaman, dalam semua keterbatasan kita untuk saling menggapai. Apa yang telah kau lakukan ya? Akupun tidak tahu, aku telah berusaha berpikir keras, tapi tak kunjung menemukan jawaban.

Kalau masalah “mengikhlaskan”, aku jelas tidak bisa benar-benar ikhlas membiarkanmu harus mengejar cita-citamu dan semakin menjauh dariku. Tapi tetap saja, aku merasa tidak perlu melakukan apa-apa, selain berdoa kepada Nya, agar semua rencanamu berjalan sesuai kehendak Nya.

Kalau masalah “cemburu”, sudah mutlak hukumnya aku takut kehilanganmu. Tapi ntahlah, aku tidak pernah berniat untuk menghakimimu. Aku juga merasa tidak perlu mengurusi atau mengatur hubungan pertemananmu. Menurutku terlalu membuang-buang waktu jika aku harus menghabiskan waktu untuk menuruti emosi negatifku. Bukanlah lebih baik kita habiskan dengan tertawa bersama, sekalipun mungkin hanya lewat untaian kata di pesan elektronik.

Aku merasa terlalu tenang Sayaang. Tiba-tiba aku merasa takut. Apakah ini pertanda cinta sejati, atau sebaliknya atau memang ada rencana lain yang sedang dibuat untuk kita Sayaang? Aku takut dan berhenti menangis. Lagi-lagi kukatupkan jemariku dan segera kudoakan nama kita untuk selalu bersama. Kita masih terlalu muda untuk semua ini ya? Ya, kita memang hanya bisa meraba-raba semua perasaan.

Sayaang, aku tidak bisa menjanjikan sebuah hubungan yang sempurna. Tapi selama kau mencoba, aku akan bertahan. Percayalah. Aku mencintaimu. Bukankah yang terpenting dari sebuah hubungan adalah adanya keinginan dua orang untuk tetap bersama? Sederhana. Itu saja.
With love,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro