Sabtu, 22 Desember 2012

Cerita Subuh Part III



01.31

Sekitar dua minggu yang lalu, aku menemukan cara untuk dapat bertemu dengannya. Aku mengajaknya untuk bertukaran kado. Dan luar biasa senangnya ketika dia menyanggupi permintaanku.

Katanya, 22 Desember 2012, pukul 2 siang, kami akan bertemu di sekretariat PMKRI.

Aku senang sekali, dia yang menentukan semuanya. Benar atau tidak, aku merasa diapun memang ingin bertemu denganku.

Hari-hari menunggu tanggal 22 ku lalui dengan begitu sabar. Aku pun meyakinkan diriku, bahwa hari itu aku harus melakukannya. Aku harus membuang semua rasa gengsiku untuk memberanikan diri. Aku harus bicara dengannya. Dia harus tahu perasaanku. Keinginanku untuk bisa kembali bersamanya, menuntunku menjalani hari jauh lebih sabar dan kuat, sekalipun demam di kepalaku datang dan pergi sesuka hatinya. Aku berjanji pada diriku sendiri, untuk memulai pembicaraan tentang aku dan dia.

 Hingga kemarin, hari itu tiba.

“Dek, kita ketemuannya di tempat Vino aja gimana?” (Vino itu teman SMAku)

Pesan singkatnya sekitar pukul setengah dua, ketika aku baru saja hendak berangkat dari rumah dengan perasaan amat berbunga-bunga. Seketika saja membuat perasaanku, hmm, ntahlah. Sepertinya ntah kemana. Lama aku berpikir untuk membalas pesannya. Bahkan kulajukan motorku dengan pikiran kosong untuk beberapa menit. Akhirnya dengan ikhlas aku membalas “Terserah. Gapapa kok.”

Beberapa kali aku mencoba berkelit agar dia mau kembali menepati janjinya bertemu di PMKRI. Tapi apa daya, aku memang bukan wanita yang pantas didahulukan dibandingkan teman-temannya. Seperti tidak mengerti perasaanku, dia pun tidak merasa bersalah telah melakukan perubahan itu. Hatiku mencelos.

Bertemu di tempat Vino, berarti bertemu dengan beberapa teman SMA lainnya. Bayangan olok-olok dari mereka segera memenuhi kepalaku. Aku tidak tahu mengapa dia tak merasa begitu risih, ketika teman-teman mengolok-olok status hubungan kami. Atau mungkin itu cara dia menyiksaku, membalaskan rasa sakitnya karena telah ku khianati?  Kalau memang iya, kau berhasil. Setiap olokan mereka selalu menyayat hatiku. Tidak ada. Tidak ada yang mengerti bagaimana perasaanku. Sementara aku harus tetap ikut tertawa dalam olok-olokan mereka.

Hingga akhirnya sekitar pukul 15.00 dia samapai di tempat Vino, begitu juga aku.

Ada aku, Alex, Eta, Eka, dia, dan Vino. Ya, namanya teman SMA, cerita kami kebanyakan hanyalah nostalgia kisah SMA. Kalau lucu ya tertawa, kalau tidak ada bahan ya diam saja. Kemudian kami juga pergi  makan bakso, trus main ke rumah Maya, salah seorang teman SMA ku juga. Kemudian kembali lagi ke rumah Vino. Semuanya  berjalan begitu saja.

Sesekali matanya menatap mataku, tapi kosong. Tidak ada kekuatan seperti dulu lagi. Akupun berusaha untuk bisa menatap matanya. Ya, sama saja. Tidak ada apa-apa. Dia memandangku biasa saja. Baiklah, hatiku kembali mencelos.

Hari ini pun kujalani dengan segala kepura-puraan. Canda dan tawa yang melengking dari tenggorokanku tak lebih dari suara sakit hatiku yang tak tertahankan.

Aku kecewa. Rencana ku untuk berbicara serius dengannya, batal.  Rencana ku untuk menghabiskan waktu bersama matanya, batal. Rencana ku untuk menggenggam jemarinya, batal.

Tahukah kau, tak pernah ada pentingnya bagiku tentang kado-kado ini. Mereka hanyalah jembatan yang kubuat agar kita bisa bertemu. Mereka hanyalah cara yang kubuat, agar kita bisa menghabiskan hari bersama, berdua. Setelah sekian lama kita tak bersua. Tapi semua? Ya sia-sia.

Bukan aku tak menghargai kado nya, aku merasa tak perlu untuk membukanya. Ku buka lemari dan ku campakkan kado beserta plastiknya itu ke dalam. Lemari kututup, aku berjanji tidak akan membukanya. Sampai akhirnya aku cukup kuat untuk mengajakmu bertemu LAGI, suatu hari nanti.

Harus menjadi wanita seperti apa, agar aku pantas mendapat rasa rindumu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro