Senin, 09 April 2012

HEI, INDONESIA!!



Ada sebuah fenomena menarik di lingkungan fakultas saya, fakultas ilmu budaya. Dalam waktu kurang lebih setahun memperhatikannya dan perkembangannya stabil bahkan cenderung meningkat. Awalnya lucu melihat mereka, teman dan senior satu jurusan – Jurusan Sastra Asia Timur –  berkumpul kemudian berteriak-teriak histeris. Sehingga memancing rasa keingintahuan siapa saja yang melihatnya. Ketika mereka histeris sambil melihat ke layar laptop, maka mereka sedang menonton video klip atau film drama boyband Korea. Ketika sedang membaca majalah, maka akan bersampul boyband asal Korea atau mungkin Jepang.
Melihat ketertarikan mereka yang luar biasa akan boyband Asia, terutama Korea, suatu hari saya pun iseng bertanya tentang Indonesia kepada beberapa dari mereka. Ada yang bisa menyebut tentang korupsi, teroris, dan sebagainya. Akan tetapi saat ditanya siapa, kapan, di mana, dan bagaimana, maka tidak ada jawaban yang memuaskan. Parahnya lagi ada yang hanya menjawab, “Banyak pesawat-pesawat jatuh.” Kemudian saya mulai berpikir, masalah saja tidak tahu, lalu bagaimana mungkin mencari solusi? Parahnya lagi jawaban itu keluar dari mulut seorang mahasiswa.  Mulai timbul runtutan pertanyaan, apakah dengan masuknya di Jurusan Sastra Asia Timur membuat mereka lupa dengan negara mereka sendiri?? Ironis bukan??
Tanpa mengetahui apa tujuannya, saya pun mengirimkan angket sederhana melalui SMS (Short Message Service) kepada 20 orang yang adalah penggemar berat Korea dan Jepang. Jawabannya pun lebih mengerikan. Sehari mereka bisa mendengar sekitar 55 lagu dan menonton 18 video, seminggu bisa menonton sekitar 4 film drama, sebulan bisa membeli 2 majalah, dan mengetahui sekitar 61 % tentang Korea atau Jepang (terutama Korea). Mendapat sambutan yang menyenangkan untuk angket, sayapun mulai berani menanyakan alasan mengapa mereka bisa sangat menyukainya. Di urutan pertama karena unsur penampilan artis yang menarik secara fisik, sedangkan berikutnya adalah karena mutu hiburan (musik, lagu, menari, film) yang berkualitas. Lalu berapa banyak kepedulian mereka tentang lagu, film dan Kebudayaan Indonesia? Tanpa perasaan bersalah salah satu dari mereka menjawab, “Kalau masalah tahu atau tidak, tentu kami tahu tentang dunia hiburan Indonesia. Tapi kalau masalah suka atau tidak, lebih banyak tidak suka nya daripada suka.” Seperti di dunia pemerintahan, dunia hiburan Indonesia pun sudah penuh poltik busuk, sehingga nilai seni yang murni sudah langka untuk dinikmati.
Dilihat dari daftar mata kuliah saya semester ini, perbandingan mata kuliah umum (Indonesia) dengan mata kuliah jurusan (Jepang) adalah 7 : 3. Perbandingan yang signifikan ini, secara tidak disadari, membuat mahasiswa lebih memahami tentang Jepang daripada tentang Indonesia perlahan-lahan. Bahkan ada dosen yang mengatakan, “Saat Anda memasuki lokal ini, tolong tinggalkan budaya Indonesia Anda di luar.” Mungkin kita bisa saja bergumam, “Yaiyalah lebih banyak mata kuliah Jepang ! Kalau maunya lebih banyak mata kuliah Indonesia, masuk saja Jurusan Sastra Indonesia.” Memang di satu sisi hal ini benar dan sama seperti halnya mahasiswa jurusan lainnya. Lalu coba kita lihat, bagaimana antusias mahasiswa terhadap mata kuliah umum (Indonesia) ? Maka akan ditemukan beberapa orang yang sedang berperang dengan rasa kantuknya atau bahkan sedang menikmatinya. Di bagian belakang akan ada mahasiswi yang sedang sibuk mengobrol di luar konteks pelajaran. Mahasiswa yang memperhatikan memang ada, akan tetapi sulit mengetahui mana yang benar-benar memperhatikan atau sebenarnya hanya sedang melamun kosong. Jangankan seorang mahasiswa, saya pun pernah mendengar seorang anak sekolah dasar (SD) saja dengan santai mengatakan, “Untuk apa sih belajar sejarah ? Membosankan dan susah sekali dihafal.” Lahir lah banyak generasi muda pecinta kebudayaan Asing yang tidak peduli tentang kebudayaan Indonesia dan berpengetahuan minim tentang sejarah negara. Deskripsi fenomena lingkungan di atas hanyalah fenomena kecil. Tapi bagaimana jika hal-hal kecil yang buruk dibiarkan terus menerus?
Hei, Indonesia! Sadar dan bergeraklah! Lihatlah sedikit bayangan tentang generasi muda mu sekarang!
Indonesia adalah salah satu negara berkembang dengan tingkat kecepatan yang lamban. Masalah pun datang silih berganti tanpa mendapat penyelesaian yang konkret hingga ke akar. Bermacam-macam kejahatan, pelanggaran, dan hiburan tidak senonoh sepertinya sudah menjadi isu wajib bahkan dianggap wajar sebagai bahan media massa. Awalnya semua orang sibuk saling berdebat, berdialog, berdiskusi memperbincangkan masalah Indonesia. Banyak yang merasa paling benar dengan menuntut pemerintah secara sepihak. Adapula yang merasa paling pintar seakan-akan dia punya solusi konkret untuk membantu menyelesaikan masalah Indonesia. Tapi hasilnya apa ? Dari dulu sampai sekarang, Indonesia masih berputar-putar di masalah yang sama. Baik itu tentang korupsi, terorisme, pornografi, kejahatan, demonstrasi, perselisihan tentang SARA, ataupun bencana alam, semuanya belum pernah diselesaikan dengan tuntas. Hingga akhirnya secara perlahan rakyat sendiri merasa lelah sendiri dan akhirnya jenuh.
Seiring Indonesia masih bergelut dengan masalah-masalah internal, tanpa diundang angin globalisasi pun sepoi-sepoi menari. Setiap insan yang merasa panas dan gerah menikmati setiap sentuhannya. Hingga secara perlahan, tanpa disadari kita yang menikmatinya menyerap tanpa banyak menyaring. Berbagai paham dan konsep bukan hanya diterima dengan baik,  bahkan dengan cepat dijadikan contoh, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa sendiri. Terutama angin globalisasi di bidang teknologi, informasi, dan komunikasi. Belum lagi paham liberal dengan ciri khas “kebebasan” nya, diterima secara penuh oleh mayoritas anak muda yang notabene generasi penerus bangsa. Bukan hanya sekedar gaya penampilan atau mode, akan tetapi juga karakternya. Segala hal yang berbau kebebasan, salah satunya tingginya rasa individualisme, dan lalu membuat pribadi menjadi hedonisme yang mengutamakan kesenangan sementara. Sehingga akhirnya menciptakan sikap tidak peduli terhadap lingkungan, baik antar sesama, kepada negara sendiri, hingga akhirnya terhadap lingkungan alam sendiri sekalipun merupakan tempat tinggal sendiri.
Sementara Indonesia sendiri masih buta akan angin globalisasi, membiarkannya begitu saja, seakan-akan semua memang sewajarnya. Hingga terlontar pernyataan, “Namanya juga perkembangan zaman.” Saya paling kesal setiap kali mendengar seseorang bersembunyi dibalik kata proses, tapi tidak melakukan banyak perubahan nyata. Ingat ! “Waktu adalah uang!”  Mari kita hargai proses tapi bukan dengan ikhlas membiarkannya berlalu begitu saja. Sudahlah tidak punya uang, waktu pun dibuang-buang ! Kaya sekali Indonesia kita ini rasanya !
Hei, Indonesia! Sadar dan bergeraklah! Lihat betapa bodohnya dirimu?
Jika begitu latar belakangnya, tidak salah jika aku menemukan penggemar-penggemar boyband Asia (Korea dan Jepang), pencinta komik Jepang, lalu menemukan anak – anak muda yang berlomba – lomba ingin belajar ke luar negeri. Kemudian bagaimana mahasiswa pun diproses untuk menjadi seorang pekerja yang akhirnya berusaha agar bisa diterima di perusahaan di luar negeri atau minimal perusahaan asing di Indonesia. Hingga akhirnya terbersit niat untuk mengganti warga negara. Berangsur-angsur tingkat percaya diri seseorang pun makin lama makin melemah. Karena sepertinya susah sekali mencari tempat berpijak, hingga kadang akhirnya secara pasrah kita mengatakan, “Serahkan semuanya kepada Tuhan, rencanaNya jauh lebih Indah.” Jangankan percaya diri sebagai seorang Indonesia, percaya diri atas dirinya sendiri di lingkungan nya sendiri saja mungkin tidak ada. Tidak hanya di dunia nyata, bahkan di dunia maya pun, sebagian dari mereka lebih suka menampilkan foto-foto boyband, artis, atau gambar-gambar komik favorit mereka sebagai foto profil dalam jejaring sosial. Dan kemudian, lihat, bagaimana fenomena mencintai budaya asing sepertinya diterima begitu saja seperti sebuah kewajaran? Tanpa sadar, tinggal menghitung hari, mereka akan lupa dengan kebudayaan Indonesia sendiri.
Sebagai mahasiswa Jurusan Sastra Asia Timur, saya sering sekali disuguhi tentang pemahaman-pemahaman, pola pikir, serta kebudayaan Jepang.  Saya sendiri melihat bagaimana banyaknya kebudayaan-kebudayaan Jepang, yang dilaksanakan secara penuh makna dan dilaksanakan turun temurun. Kebudayaan adalah hal utama yang begitu dijaga dan dilestarikan sebagai salah satu harga diri bangsa. Itu sebabnya, tidak sedikit orang asing – termasuk kita – yang ingin mempelajari budayanya, dan banyak yang terkesan dengan kehebatan serta kedisiplinannya. Sekarang, bagaimana orang asing bisa menghargai budaya kita, saat kita sendiri tidak menghargai budaya itu ? Bagaimana tidak dengan mudah negara-negara tetangga bisa mencuri budaya kita ? Lalu pemerintah dengan sikap sok nasionalisme berusaha mempertahankan kebudayaan itu, yang sebenarnya hanya untuk mengalihkan isu-isu berita politik secara sementara.
Saat pelajaran sejarah begitu membosankan bagi pelajar SD dan budaya negeri tidak menjadi hal penting bagi setiap penduduknya, apalagi yang mau dihargai dari Indonesia kita ini ? Omong kosong dengan kata “ramah-tamah”. Tidak ada “ramah-tamah” di Indonesia. Itu hanya bahasa halus untuk menjilat wisatawan asing agar mau bekerjasama dengan Indonesia, yang pada akhirnya hanya untuk menambah utang-utang ke setiap generasi berikutnya. Orang asing tidak bodoh, sekalipun mereka sebenarnya tidak menghargai budaya kita sepenuhnya. Bukannya berpandangan negatif, tapi coba renungkan, bersikaplah kritis ! Budaya itu mahal ! Tidak begitunya dengan mudah bisa diajarkan dan diberikan kepada orang asing, karena yang namanya nilai rasa itu berbeda-beda setiap orang. Sehingga secara tidak langsung – jujur saja – beberapa dari kita sering merasa masih terjajah. Bagaimana caranya orang asing bisa menghargai Indonesia, yang membuat korupsi menjadi budayanya? Lalu dengan bangga mencetak dan menjadikannya sebuah stiker “BUDAYA KORUPSI MERAJALELA”.
Hei, Indonesia! Sadar dan bergeraklah! Mana harga dirimu!?
Para mahasiswa demonstran yang ngakunya kritis sering menyatakan, “Mari kita ubah Indonesia ini !” Bagaimana sudah hancurnya Indonesia ini, baik dari segi kesehatan, ekonomi, pendidikan, politik, dan sebagainya. Indonesia yang beginilah atau Indonesia yang begitulah. “Memangnya siapa sih, Indonesia itu ?” Sadarlah, bahwa Indonesia itu adalah kita. Kita semua penduduk ini, bangsa ini, kita lah yang disebut sebagai Indonesia. Jangan sombong mengatakan ingin mengubah Indonesia, jika kita tidak mau memulainya dari diri kita sendiri. Kita selalu mengorientasikan Indonesia itu seakan-akan hanya pemerintah saja. Tidak, salah besar. Hal ini lah yang sebenarnya inti dari perubahan itu sendiri. Pupuklah rasa bahwa saya pribadi adalah Indonesia. Saat kita merasa kita Indonesia, maukah kita merasa bodoh? Atau maukah kita mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang rendah? Maukah kita menerima diri kita diinjak-injak oleh orang lain? Jawabannya tentu tidak kan? Saat kita sebagai individu merasa sebagai Indonesia, maka kita akan kuat! Rasa nasionalime pun tinggi! Bukankah itu yang terjadi di tahun-tahun silam sebelum kemerdekaan? Bukankah itu yang diperjuangkan Soekarno dan kawan-kawan 66 tahun yang lalu? Bagaimana tingginya rasa patriotisme setiap daerah untuk mau sama-sama berjuang sebagai Indonesia untuk membebaskan negeri dari kolonialisme? Bagaimana tidak korupsi merajalela, para pemerintahan tidak merasa mereka adalah Indonesia sehingga menganggap semuanya uang pribadi. Sementara rakyat pun tidak merasa Indonesia, sehingga tidak peduli tentang apa yang telah dilakukan pemerintah. Walaupun sebenarnya peduli, tapi tidak pernah mau mulai bertindak untuk melakukan sesuatu. Simpati tanpa empati sama saja nol.
Maka dari itu saya menekankan bagaimana pentingnya mahasiswa Indonesia harus tahu bahwa merekalah Indonesia muda! Jangan pernah menggunakan istilah “generasi penerus”. Saya tidak pernah mau dikatakan sebagai generasi penerus bangsa! Karena saya memang bukanlah generasi penerus kebodohan-kebodohan ini! Mari menjadi “generasi pembaharu”. Kembalikan kejayaan Indonesia dan jangan hanya berkhayal di republik mimpi! Mari bergerak dan bertindak! Walaupun mungkin mereka yang telah menjadi Indonesia bodoh sekarang ini adalah salah satu dari orangtua kita, tapi jangan teruskan! Kita yang tahu itu salah harus bisa memperbaikinya, karena kita Indonesia muda, generasi pembaharu! Kita bergerak demi Indonesia dulu, untuk Indonesia kini, dan mempersiapkan Indonesia masa depan. Demi kehidupan orangtua kita, untuk kehidupan kita sekarang, dan anak-anak kita di masa depan . Tanam pribadi Indonesia dan cabut lah penjajahan dalam segala hal sampai ke akar-akarnya!
Hei, Indonesia Muda?! Sudah siapkah dirimu?!
Saya memandang bahwa masalah Indonesia sekarang, bukan tentang ekonominya, pendidikannya, atau hukumnya. Masalah Indonesia sekarang adalah moral dan kepribadiannya. Moral dan kepribadian hanya bisa ditenun melalui pendidikan. Pendidikan pun bisa didapatkan dari mana saja, mulai dari keluarga, lingkungan sosial, dan sekolah atau perguruan tinggi. Mulailah dengan bagaimana seharusnya konsep dan proses belajar mengajar yang berkualitas. Apa gunanya fasilitas seperti pendingin ruangan, peralatan in focus, laptop, akan tetapi penutur dan petutur tidak bisa berhubungan timbal balik secara aktif? Lebih parahnya lagi di kota saya, Padang, jarangnya seorang dosen masuk dalam perkuliahannya dianggap sebagai hal yang wajar dan diterima begitu saja baik bagi mahasiswa sendiri bahkan bagi dosen-dosen lainnya. Mengapa saya mengatakan begitu? Ya, karena sampai sekarang saya belum melihat adanya perubahan untuk itu. Generasi pembaharu apa yang bisa dihasilkan kalau fenomena-fenomena kecil seperti ini dibiarkan terus menerus?
Secara khusus, mahasiswa jurusan sastra asing atau mahasiswa calon-calon budayawan dan sastrawan, harus bisa seimbang dalam mempelajari Budaya Indonesia dan budaya asing. Karena memang sebenarnya posisi mereka memegang andil besar dalam pergerakan menuju kemajuan. Dalam menggerakkan calon akuntan, politikus, sejarahwan, dokter, ilmuwan, ahli hukum dan lain lain, untuk mau mengenal dan mencintai Indonesia luar dalam. Logika saja, bagaimana cara nya sang politikus menghargai budaya, saat sang budayawan sendiri tidak peduli akan kajiannya? Pakar-pakar pendidikan terdahulu dan jajarannya harus lebih memusatkan perhatiannya kepada hal-hal kecil seperti ini, sebelum memikirkan konsep-konsep besar seperti menciptakan sekolah bertaraf internasional. Setiap ahli pendidikan harus memasukkan rasa dan budaya Indonesia ke dalam kurikulum pendidikan bahkan sejak TK! Sehingga akhirnya sebagai Indonesia muda, mahasiswa sadar akan identitasnya. Setelah kita setiap individu merasa sebagai Indonesia, lalu sadar akan identitas, secara tidak langsung pasti akan bertanggung jawab untuk berkarya dan bersaing luar dalam.
Pada dasarnya saya sangat tidak puas pada tradisi lama yang terus mendengkur dan rasa iba yang mendalam pada kaum generasi muda yang hanya menyenangkan diri sendiri.  Ibaratnya sebuah keluarga, maka Indonesia sedang mengalami dilema broken home. Saat kedua orangtua tidak bisa menyatukan pendapat untuk menyelesaikan masalah mereka, sementara si anak asyik dengan playstationnya. Melihat keadaan yang kritis ini saya melihat bahwa satu-satunya jalan adalah menceburkan diri dalam sebuah gerakan. Bukankah sudah sering kita mendengar perumpamaan sapu lidi? Saya rasa tidak perlu dijelaskan. Saatnya untuk bersatu, sama-sama menjadi Indonesia. Kita kembalikan lagi harga diri Indonesia, kita bumikan lagi nilai-nilai Pancasila, kita kuatkan lagi norma hukum undang-undang dasar kita.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat dalam konteks ini, yaitu: pertama, bahwa gerakan nasionalisme harus ditangkap sebagai bagian dari kepedulian terhadap persoalan bangsa dan mendorong negara untuk mengembalikan dirinya sebagai bagian dari kepentingan rakyat, tapi kemudian menafsirkan diri menjadi musuh negara sehingga tidak terjebak pada posisi mewakili kepentingan politik kelompok tertentu. Kedua, gerakan nasionalisme tidak saja dimaknai sebagai kepedulian terhadap persoalan hukum dan politik saja, namun penting juga untuk menjadi bagian dari pemberdayaan dan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat secara nyata. Ketiga, gerakan nasionalisme harus juga dimaknai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mengajak seluruh elemen bangsa untuk bangkit dari berbagai persoalan yang ada selama ini. Di balik ketidakmampuan negara menyelesaikan persoalan kenegaraan dan kebangsaan saat ini, gerakan nasionalisme menjadi kekuatan alternatif yang mampu melakukan peran-peran substitusi untuk melayani kebutuhan masyarakat.
Mari kita berbenah dari hal kecil, menanamkan rasa Indonesia mulai dari diri sendiri. Menanamkan Indonesia sebagai karakter setiap individu rakyat.  Melalui cinta budaya dan sejarah Indonesia, lahirlah generasi pembaharu Indonesia. Semoga semangat Indonesia ini pada akhirnya terus menggelinding bagaikan bola salju yang semakin lama memiliki kekuatan besar sehingga mampu menggerakkan seluruh elemen bangsa untuk tidak hanya sekedar peduli saja namun mampu melakukan kerja-kerja yang lebih nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro