Terus terang aja, satu kata yang benar-benar membuat muak
jiwa raga adalah : GAMBARU alias berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisan. Muak abis, sumpah, karena setiap
kali bimbingan atau sedang berusaha, kata-kata penutup selalu : motto
gambattekudasai (ayo berjuang lebih lagi), “
taihen dakedo, isshoni gambarimashoo” (saya tau ini sulit, tapi ayo berjuang bersama-sama).
Sampai rasanya ingin ngomong, "Apa nggak ada kosa kata lain selain GAMBARU? apaan kek gitu, yang
penting bukan gambaru."
Gambaru itu bukan hanya sekadar berjuang cemen
gitu-gitu aja, yang kalo males atau ada banyak
rintangan, ya udahlah ya...berhenti aja.
Menurut kamus bahasa jepang sih, gambaru itu artinya :
"doko made mo nintai shite doryoku suru" (bertahan sampai kemana pun juga dan berusaha habis-habisan)
Gambaru itu sendiri, terdiri dari dua karakter
yaitu karakter "keras" dan "mengencangkan"
. Jadi image yang bisa didapat dari
paduan karakter ini adalah "mau sesusah apapun itu persoalan yang
dihadapi, kita mesti keras dan
terus mengencangkan diri sendiri, agar kita bisa
menang atas persoalan itu".
Maksudnya
jangan manja, tapi anggap semua persoalan itu adalah sebuah kewajaran dalam hidup, namanya hidup memang pada dasarnya
susah, jadi jangan harap gampang, persoalan
hidup hanya bisa dihadapi dengan gambaru, titik.
Terus terang saja, aku tidak pernah mengerti, mengapa orang-orang Jepang ini menjadikan gambaru sebagai
falsafah hidupnya. Bahkan anak umur 3 tahun
pun sudah disuruh gambaru di sekolahnya. Seperti memakai baju di musim dingin mesti yang tipis-tipis biar tidak manja terhadap cuaca dingin. Di dalam sekolah tidak boleh
pakai kaos kaki karena kalau telapak kaki
langsung kena lantai itu baik untuk kesehatan. Sakit-sakit sedikit cuma ingus meler-meler atau demam 37 derajat mah
tidak perlu bolos sekolah, tetap dihimbau
masuk dari pagi sampai sore, dengan alasan, anak akan kuat menghadapi penyakit jika ia melawan
penyakitnya itu sendiri. Jangan manja sama
masalah deh, gambaru sampe titik darah
penghabisan. It's a must!
Aku benar-benar baru mulai sedikit mengerti mengapa
gambaru ini penting sekali dalam hidup. Setelah terjadi tsunami dan gempa bumi dengan kekuatan 9.0 di jepang bagian timur. Aku tau, rencana alam di
indonesia seperti tsunami di Aceh, Nias dan
sekitarnya, gempa bumi di Padang, letusan gunung
merapi, juga bukanlah hal yang gampang untuk
dihadapi. Tapi, tsunami dan gempa bumi di Jepang kali ini, jauuuuuh lebih parah dari semuanya itu. Bahkan, ini adalah gempa bumi dan tsunami terparah dan
terbesar di dunia.
Wajaaaaaaar banget kalo kemudian pemerintah dan
masyarakat jepang panik kebingungan karena
bencana ini. Wajaaaaar banget kalo mereka kemudian mulai merasa galau, nangis2, tidak tahu harus bagaimana. Bahkan
untuk skala bencana sebesar ini, rasanya
bisa "dimaafkan" jika stasiun-stasiun TV memasang sedikit musik latar ala lagu-lagu Ebiet dan membuat
video klip tangisan anak negeri yang berisi
wajah-wajah korban bencana yang penuh kepiluan dan tatapan kosong tak punya harapan. Bagaimana tidak,
tsunami dan gempa bumi ini benar-benar
menyapu habis seluruh kehidupan yang mereka miliki. Sangat wajar jika kemudian mereka tidak punya harapan.
Tapi apa yang terjadi pasca bencana mengerikan
ini? Dari hari pertama bencana, aku search
google dan nungguin lagu-lagu ala ebiet diputar di stasiun2 online Jepang.
Nyari-nyari juga di mana rekening dompet bencana alam. Video klip tangisan anak negeri juga aku tunggu-tungguin. Tiga unsur itu
(lagu ala Ebiet,
rekening dompet bencana, video klip tangisan anak
negeri) sama sekali tidak disiarkan di TV. Jadi yang ada apaan dong!?
Ini yang aku lihat di stasiun-stasiun TV :
1. Peringatan pemerintah agar setiap warga tetap
waspada
2. Himbauan pemerintah agar seluruh warga jepang
bahu membahu menghadapi
bencana (termasuk permintaan untuk menghemat
listrik agar warga di wilayah
tokyo dan tohoku ngga lama-lama terkena mati
lampu)
3. Permintaan maaf dari pemerintah karena terpaksa
harus melakukan pemadaman
listrik terencana
4. Tips-tips menghadapi bencana alam
5. nomor telepon call centre bencana alam yang
bisa dihubungi 24 jam
6. Pengiriman tim SAR dari setiap perfektur menuju
daerah-daerah yang
terkena bencana
7. Potret warga dan pemerintah yang bahu membahu
menyelamatkan warga yang
terkena bencana (sumpah sigap banget, nyawa di
jepang benar-benar bernilai
banget harganya)
8. Pengobaran semangat dari pemerintah yang
dibawakan dengan gaya tenang dan
tidak emosional : mari berjuang sama-sama
menghadapi bencana, mari kita
hadapi (government official pake kata norikoeru,
yang kalo diterjemahkan
secara harafiah : menaiki dan melewati) dengan
sepenuh hati
9. Potret para warga yang terkena bencana, yang
saling menyemangati.
*ada yang nyari istrinya, belum ketemu-ketemu, mukanya sudah galau banget, tapi tetap tenang dan
tidak emosional, disemangati nenek-nenek yang ada di tempat pengungsian :
gambatte sagasoo! kitto mitsukaru kara. Akiramenai de (ayo kita berjuang cari istri kamu. Pasti ketemu. Jangan
menyerah)
*Tulisan di twitter : ini gempa terbesar sepanjang
sejarah. Karena itu, kita mesti memberikan
usaha dan cinta terbesar untuk dapat melewati bencana ini; Gelap sekali di Sendai, lalu ada satu titik bintang
terlihat terang. Itu bintang yang sangat
indah. Warga Sendai, lihatlah ke atas.
Sebagai orang Indonesia yang tidak pernah melihat
cara penanganan bencana ala gambaru kayak
gini, aku bener-bener merasa malu dan di saat yang bersamaan : kagum dan hormat banget sama warga dan
pemerintah Jepang. Ini negeri yang luar
biasa, negeri yang sumber daya alamnya terbatas banget, negeri yang alamnya keras, tapi bisa maju luar biasa dan
punya mental sekuat baja, karena : falsafah
gambaru nya itu. Bisa dibilang, orang-orang jepang ini tidak punya
apa-apa selain GAMBARU. Dan, gambaru sudah lebih dari cukup untuk menghadapi segala persoalan dalam hidup.
Benar sekali, kita mesti berdoa, kita mesti pasrah
sama Tuhan. Hanya, mental yang apa-apa
"nyalahin" Tuhan, bilang-bilang ini semua kehendakNya, Tuhan marah pada umatNya, Tuhan marah melalui alam maka tanyalah
pada rumput yang bergoyang... I guarantee
you 100 percent, selama masih mental ini yang berdiam di dalam diri kita, sampai kiamat
sekalipun, aku rasa bangsa kita tidak akan
bisa maju. Kalau ditilik lebih jauh, "menyalahkan" Tuhan atas semua bencana dan persoalan hidup, sebenarnya adalah
kata lain dari tidak berani bertanggungjawab
terhadap hidup yang dianugerahkan Sang Pemilik Hidup. Jika diperjelas lagi, tidak berani
bertanggungjawab itu maksudnya : lari dari
masalah, tidak mau menghadapi masalah, main salah-salahan, tidak mau berjuang dan baru ketemu sedikit rintangan aja udah
nangis manja.
Kira-kira dua tahun yang lalu, ada sanak keluarga
yang mempertanyakan, untuk apa aku menuntut
ilmu Sastra Jepang. Ngapain ke Jepang, tidak ada gunanya. Kalau mau S2 atau S3 mah, ya di Eropa atau Amerika sekalian,
kalo di Jepang mah nanggung. Begitulah kata
beliau. Sempat terpikir juga akan perkataannya itu, iya ya, kalo mau Go International ya mestinya ke Amrik
atau Eropa sekalian, bukannya Jepang.
Toh sama-sama Asia, negeri kecil pula dan kalau tidak bisa bahasa Jepang, tidak akan bisa survive di sini. Sampai
sempat nyesal juga,kenapa aku mendalami Sastra Jepang dan bukan Sastra Inggris atau sastra barat lainnya.
Tapi sekarang, aku bisa bilang dengan yakin sama
sanak keluarga yang menyatakan tidak ada
gunanya aku menuntut ilmu di Sastra Jepang. Pernyataan beliau adalah salah sepenuhnya. Mental gambaru itu yang paling
megang adalah Jepang. Dan menjadikan mental
gambaru sebagai way of life adalah lebih berharga
daripada Go International dan sejenisnya itu. Benar, Sastra Jepang, gender dan sejenisnya itu, bisa dipelajari di mana saja.
Tapi, semangat juang dan mental untuk tetap
berjuang habis-habisan biarpun tidak ada jalan, aku rasa, salah satu tempat yang ideal untuk memahami
semua itu adalah di Jepang.
Maka, mulai hari ini, kalau aku mendengar kata gambaru,
aku tidak akan lagi merasa muak jiwa raga. Sebaliknya, aku akan berucap dengan rendah hati : Indonesia jin no watashi ni gambaru no seishin to imi wo
oshietekudasatte, kokoro kara kansha itashimasu. Nihon jin no minasan no yoo ni, gambaru seishin wo mi ni
tsukeraremasu yoo ni, hibi gambatteikitai
to omoimasu. (Saya ucapkan
terima kasih dari dasar hati saya karena
telah mengajarkan arti dan mental gambaru bagi saya, seorang Indonesia. Saya akan berjuang tiap hari, agar mental
gambaru merasuk dalam diri saya, seperti
kalian semuanya, orang-orang Jepang).