Hal tersedih buatku adalah ketika kita sudah bekerja keras
demi hasil yang memuaskan untuk orang yang sama sekali tidak pernah
mengharapkan itu. Sakit sekali rasanya melihat tidak ada yang perlu bangga akan
kerja keras yang sudah aku lakukan. Air mata pun tak perlu pakai waktu untuk
keluar, jika aku sudah terhanyut dalam gelombang sakit yang sedih ini.
Sedih sekali rasanya saat aku menyadari berbedanya cara aku
dihargai di dalam dan di luar rumah ini.
Dari SMA semua mulai terasa. Kelas satu, aku mendapat
rangking 3 pada semester 1 dan 2. Kelas dua, aku mendapat rangking 1 pada
semester 1 dan 2. Kelas 3 aku mendapat rangking 1 pada semester 1. Dan ketika
pengumuman hasil Ujian Nasional (UN) pada semester 2 kelas 3, aku pun mendapat
rangking 1.
Kini kuliah pun semuanya sama. Semester 1 aku mendapat IP
3.89. Semester 2 aku mendapat IP 3.85. Semester 3 aku mendapat IP 3.71. Pada
semester 1 aku lulus Ujian Kemampuan Bahasa Jepang (semacam tes TOEFL nya
Jepang) level 5. Pada semester itu, diantara teman-teman seangkatan, hanya aku
yang berani mengambil ujian itu. Pada semester 3 aku lulus ujian yang sama
untuk level 4. Makin kecil levelnya makin tinggi tingkat kesulitannya. Pada
semester ini, hanya aku yang lulus dari semua teman seangkatan yang ikut di
level yang sama.
Semuanya terjadi sekitar 5 tahunan dan selama itu aku tidak
pernah mendengar kata-kata bangga dari orangtuaku atau saudaraku untuk hasil
kerja kerasku. Apa hasil yang aku dapat benar-benar tidak memuaskan sama
sekali? Atau memang aku yang tidak pernah pantas untuk mendapat sentuhan
semangat hangat dari kalian?
Bagaimana dengan adik laki-lakiku. Dia baru naik 1 SMA tahun
ini, dan ketika dia mendapat rangking 7 di kelasnya pada semester1 lalu, semua
nya begitu senang. Kami merayakannya bahkan sambil membakar ikan di halaman
rumah, dan membagi-bagikannya ke tetangga sambil mengatakan “ini ikan bang Aan
dapat rangking 7” Kemudian apapun permintaannya begitu mudah untuk dikabulkan.
Mulai dari sepatu kulit yang ntah mau dipakai kapan dengan harga 300ribu. Lalu
sebuah gitar yang hanya sekedar untuk kegiatan ekstrakulikuler. Lalu sepasang
sepatu futsal yang ntah berapa pula harganya. Kemudian menyusul sepatu biasa
untuk sekolah seharian. Dan banyak lagi hal-hal kecil lainnya yang sering
sekali membuat aku iri.
Jangankan untuk membeli sepatu 300ribu. Saking takutnya aku
meminta uang untuk beli sepatu saat aku benar-benar butuh, akupun terpaksa
meminjam uang temanku sekitar 100ribu. Dan dengan hati-hati aku mengirim pesan
singkat ke mama. “Ma, boleh lia beli sepatu Ma. Harganya cuma 100ribu.”
Dan kini aku merawat sepatu itu dengan sangat, karna jelas
dalam waktu setahun ke depan aku tidak akan dapat sepatu baru lagi. Kecuali aku
mau mendengar teriakan, “BARU KEMARIN BELI SEPATU, UDAH SEPATU LAGI. UDAH BERAPA
BANYAK SEPATUMU TU.”
-Iya Ma memang banyak sepatu lia. Sepatu 30ribu di pasar yang
lia beli setiap dua bulan sekali. Ya uang belanja aku cuma bisa beli sepatu
seharga segitu. Sementara sepatu harga segitu ya memang hanya tahan untuk 2
bulan. Bagaimana tidak kelihatannya sepatuku banyak?-
Aku tidak pernah mengharapkan materi berupa hadiah-hadiah
mewah atau perayaan yang berkesan untuk semua hasil kerja kerasku. Aku tidak
pernah meminta uang belanja ku untuk dilebihkan. Apalagi meminta barang-barang
berharga.
Elusan lembut di rambutku. Atau mungkin “Selamat Lia.” Atau
“Hebat Lia ya”. Atau mungkin “Tetap pertahankan ya.”. Atau “Wah, memang deh
anak mama/papa”.
APA ITU MAHAL MA? APA ITU SUSAH PA?
Sekarang lihat bagaimana aku dihargai di luar rumahku.
Paling menyakitkan adalah waktu SMA. Seorang guru Bahasa
Indonesia, Ibu Farida, dia terang-terangan mengakui di kelas, bahwa dia sangat
tidak menyukai prilakuku. Tapi dia menjanjikan ku sebuah tas berwarna kuning,
jika aku mendapat juara 1 untuk hasil Ujian Nasional di SMA. Aku mendapatkan
juara itu dan beliau menepati janjinya. Tas itu berupa tas jinjing ibu-ibu. Aku
tidak terlalu feminim untuk tas itu, dan akhirnya aku memberikannya kepada
mama. Aku harap mama pun senang akan tas itu. Tapi ternyata, hehehe, mama tidak
juga kelihatan senang, tetap biasa saja. Sakit sekali.
Bagaimana perilaku ibu Farida yang tidak menyukaiku dan
perilaku mama yang seharusnya menyukaiku.
Oh,Tuhan. Aku sedih sekali sekarang.
Apa ini salah Kakak ku yang begitu hebat bisa menyambung
hidup ke kota Jogjakarta dengan biayanya sendiri. Bisa memainkan banyak alat
musik tanpa perlu les/kursus. Bisa pergi main teater sampai ke Makasar.
Apa ini salah Abang ku yang begitu pintar. Dapat juara 1
untuk olimpiade komputer se-Sumatera Barat. Bisa lulus ujian Sekolah Tinggi
Akuntansi Negara (STAN). Dan bisa langsung dapat kerja sebagai pegawai negeri
setelah tamat. Dan kini dia telah berpenghasilan sendiri.
Apa karna mereka yang begitu hebat dan pintar, maka apapun
yang aku lakukan terkesan biasa saja? Tapi mengapa adik laki-lakiku (Aan) yang
hanya mendapat rangking 7 sepertinya mendapat perlakuan spesial? Mengerikan sekali keadaan ini untuk jiwa
remaja labil sepertiku.
Di dunia kampusku, aku dihargai dan dibanggakan oleh beberapa
dosen dan teman-temanku serta beberapa seniorku. Bahkan dosen-dosen tersebut
tidak segan-segan membanggakan aku di depan teman-teman seangkatanku, agar aku
menjadi teladan semangat untuk teman-teman yang lain. Teman-temanku terus
menyemangatiku untuk belajar agar bisa mendapatkan beasiswa ke Jepang (hanya
bisa satu orang setiap tahun). Seniorku pun membanggakanku dan menyemangatiku
untuk tetap semangat dan jangan sombong.
Dan sampai sekarang ini, ya aku berdiri atas
semangat-semangat seperti itu. Walaupun aku tidak tahu seberapa ikhlas mereka
menyemangatiku. Karna tidak perlu munafik, aku tahu, teman-temanku juga pasti
ingin sekali mendapat beasiswa ke Jepang itu.
Aku tahu, mama dan papa menyembunyikan kekecewaan mereka
terhadapku, karna aku hanya bisa masuk universitas swasta di Padang dan
mengambil Jurusan Sastra Jepang, jurusan yang tidak jelas (bagi mereka). Sebenarnya
aku bisa saja mengecap pendidikan di Universitas Padjajaran, Bandung. Aku lulus
SNMPTN kemarin, tapi hanya karna papa sakit stroke dan membutuhkan banyak
biaya, aku tidak bisa memaksakan cita-citaku untuk merantau. Lalu salahku, jika
akhirnya aku tercampak ke universitas swasta?
Ada perbincangan
menyakitkan yang masih segar di kepalaku.
Mama : “Di Bandung
itu tidak baik pergaulannya. Lagian jauh sekali.”
Aku : “Ya yang lia tahu di UNPAD yang sastra
jepangnya bagus, Ma.”
Mama : “Iya cari yang
dekat-dekat kek.”
Papa : “kok bisa
sampai Bandung yang dipilih anak ni.”
Mama : “Itulah
sayapun ndak tahu apa yang dipilihnya pas SNMPTN. Dia pun gak ada kasih tahu apa
yang dipilihnya untuk SNMPTN. Mungkin kalau ambil yang dekat2 kan bisa masuk
negeri. ”
Aku hanya diam dan
hanya bisa mengutuk dalam hati.
(Lia mana tahu ma!
Emang ada mama peduli kemarin tu lia ambil jurusan apa untuk SNMPTN? Emang ada
peduli mama Lia ni sukanya jurusan apa, minatnya apa, kelebihannya apa?! Emang
ada peduli mama kemarin tu Lia ambil universitas tujuan apa?! Emang ada mama
peduli gimana kerjakeras Lia buat belajar, biar lulus SNMPTN tu. Tahu mama,
kawan-kawan lia les sana-sini. Tahu mama, Lia cuma belajar sendiri dari buku
SNMPTN yang lia beli sendiri 30ribu di pasar burung/loak??! Ada mama peduli?!
Nggak, kan!? Nah sekarang bisa-bisanya menyalahkan lia atas semua pilihan
Lia!!!)
Aku masih ingat bahkan setiap aku mengingat setiap kejadian.
Rasa sakit itu mendera lagi. Bagaimana aku begitu kesal. Begitu muak dan
membenci dunia ini. Aku menangis setiap malam. Bagaimana aku tidak sedih?
Kawan-kawanku yang lulus SNMPTN udah sibuk sana-sini mengurus segala keperluan,
sementara aku, mamaku tetap bekerja di kantornya seperti biasa, papa
beristirahat tenang karna baru keluar rumah sakit, dan kakakku pun yang
kebetulan lagi di Padang menyarankan untuk tidak usah saja kuliah tahun ini.
Setiap malam, dalam tangisku, Tuhanpun bahkan sudah kucaci.
Betapa aku merasa sedih. Ya sekarang akupun menangis menuliskan ini semua.
Aku mengunci diri di kamar dan mengirimi mamaku pesan-pesan
singkat sesering mungkin agar aku secepatnya bisa mengurus dimana aku kuliah,
karna bisa saja semua pendaftaran tutup. Yang aku ingin, aku harus kuliah. Dan
begitulah akhirnya, mamaku mengijinkan aku kuliah di universitas swasta ini,
dengan biaya 3 juta setiap semesternya. Walaupun aku tahu itu berat untuk mama,
tapi di satu sisi aku puas, secara tidak langsung menghukum mama, karna
ketidakpeduliannya terhadapku kemarin.
Dan bayangkan, saking tidak adanya kepedulian keluargaku.
Akupun mengurus semua kebutuhan kuliah ku dengan Cris, pacarku (waktu itu). Di
saat itulah pertama kali aku merasa bahwa kebutuhan jiwaku terpenuhi sempurna.
Cris tidak hanya setia saat itu. Dari awal dia sudah setia mengantar aku untuk
ke tempat ujian SNMPTN, padahal dia tidak ikut ujian SNMPTN, dan pasrah saja di
kuliahkan di Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA). Cris memang sosok yang
sempurna saat itu buat ku. Tapi mungkin karna memang tidak jodoh, tidak lama
kemudian kami berpisah. Dan sejak saat itu aku menjadi kabur akan arti cinta
dan pacar. Dan sejak saat itu aku menjadi haus akan cinta dan pacar hingga saat
ini.
Begitulah sejarah singkat dan sepenggal kisah menyakitkan
bagaimana akhirnya aku ikhlas kuliah di Universitas Bung Hatta. Walaupun
terkadang mulutku masih begitu malu mengakui nama universitas ini, tapi dalam
hati aku selalu menguatkan diri sendiri, untuk membuktikan pada dunia, bahwa
aku bisa lebih dari mereka suatu saat nanti.
Sampai detik ini aku berusaha belajar dengan semangatku
sendiri. Memberi sugesti bahwa semua pada akhirnya untung/ruginya hanya milik
masa depanku. Terus berpikir positif bahwa semua akan indah pada waktunya.
Terus berusaha menjadikan “ketidakpedulian” mereka sebagai alasan aku untuk
semakin maju untuk mendapatkan hasil yang jauh lebih memuaskan.
Nah. Sekarang kalau Papa dan Mama malu dengan keberadaanku
yang hanya bisa kuliah di universitas swasta, SALAH SIAPA?!? SALAH AKU?!
Sering sekali aku berpikir, seandainya saja aku punya uang
lebih banyak, ingin sekali aku meninggalkan mereka. Mentang-mentang aku masih
di bawah umur dan belum bisa mencukupi segala kebutuhanku sendiri.
Mentang-mentang mereka yang punya duit dan aku masih hanya bisa meminta. Bukan
hanya sekali dua kali aku ingin kabur dari rumah ini. Bukan sekali dua kali
setan merayu ku untuk mengakhiri hidup ini di kamar ini, kamar yang setia
menonton perasaanku sebenarnya.
Kini aku jalani hari-hariku dengan semangatku sendiri.
Berupaya, berjuang, belajar, dengan semangatku sendiri. Meyakinkan diriku bahwa
aku akan buktikan suatu saat nanti. Semua masa lalu yang suram biarlah menjadi
kenangan. Satu yang aku terus berusaha ingat adalah berdoa dan pasrah kepada Tuhan.
Tidak boleh lagi ada hari dimana aku mengutuki Tuhan. Tidak boleh lagi ada
kesempatan untuk setan merayuku. Aku harus semangat, tetap tersenyum, dan
bersyukur.
Tapi sampai kapan? Apakah benar-benar ada akhir dimana mereka
akhirnya peduli dan menghargai keberadaanku?
Sekarang aku terhenyak di kasur ku dan merenung panjang.
Sekarang aku tidak punya pacar. Biasanya saat-saat sedih begini. Saat-saat
keluarga tidak bisa menghangatkanku, aku akan merengek pada pacarku. Tapi
sekarang aku tidak punya. Kakak dan abang pun tidak pernah benar-benar peduli
denganku. Semua hubungan kekeluargaan antara kami seperti hanya sekedar untuk
formal belaka, agar semua melihat kami seperti keluarga harmonis. Saat-saat
seperti ini aku tak bisa menahan air mataku.
Saat hanya Tuhan tempatku mengadu. Dan saat jemari ini sedikit kuat,
maka dia akan menari-nari menuliskan perasaanku hingga aku sedikit lega dan
kisah ini selesai. Semoga besok aku semangat lagi karna memang besok aku harus
semangat terus. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro