Minggu, 04 Maret 2012

Hal Tersedih


Hal tersedih buatku adalah ketika kita sudah bekerja keras demi hasil yang memuaskan untuk orang yang sama sekali tidak pernah mengharapkan itu. Sakit sekali rasanya melihat tidak ada yang perlu bangga akan kerja keras yang sudah aku lakukan. Air mata pun tak perlu pakai waktu untuk keluar, jika aku sudah terhanyut dalam gelombang sakit yang sedih ini.

Sedih sekali rasanya saat aku menyadari berbedanya cara aku dihargai di dalam dan di luar rumah ini.

Dari SMA semua mulai terasa. Kelas satu, aku mendapat rangking 3 pada semester 1 dan 2. Kelas dua, aku mendapat rangking 1 pada semester 1 dan 2. Kelas 3 aku mendapat rangking 1 pada semester 1. Dan ketika pengumuman hasil Ujian Nasional (UN) pada semester 2 kelas 3, aku pun mendapat rangking 1.

Kini kuliah pun semuanya sama. Semester 1 aku mendapat IP 3.89. Semester 2 aku mendapat IP 3.85. Semester 3 aku mendapat IP 3.71. Pada semester 1 aku lulus Ujian Kemampuan Bahasa Jepang (semacam tes TOEFL nya Jepang) level 5. Pada semester itu, diantara teman-teman seangkatan, hanya aku yang berani mengambil ujian itu. Pada semester 3 aku lulus ujian yang sama untuk level 4. Makin kecil levelnya makin tinggi tingkat kesulitannya. Pada semester ini, hanya aku yang lulus dari semua teman seangkatan yang ikut di level yang sama.

Semuanya terjadi sekitar 5 tahunan dan selama itu aku tidak pernah mendengar kata-kata bangga dari orangtuaku atau saudaraku untuk hasil kerja kerasku. Apa hasil yang aku dapat benar-benar tidak memuaskan sama sekali? Atau memang aku yang tidak pernah pantas untuk mendapat sentuhan semangat hangat dari kalian?

Bagaimana dengan adik laki-lakiku. Dia baru naik 1 SMA tahun ini, dan ketika dia mendapat rangking 7 di kelasnya pada semester1 lalu, semua nya begitu senang. Kami merayakannya bahkan sambil membakar ikan di halaman rumah, dan membagi-bagikannya ke tetangga sambil mengatakan “ini ikan bang Aan dapat rangking 7” Kemudian apapun permintaannya begitu mudah untuk dikabulkan. Mulai dari sepatu kulit yang ntah mau dipakai kapan dengan harga 300ribu. Lalu sebuah gitar yang hanya sekedar untuk kegiatan ekstrakulikuler. Lalu sepasang sepatu futsal yang ntah berapa pula harganya. Kemudian menyusul sepatu biasa untuk sekolah seharian. Dan banyak lagi hal-hal kecil lainnya yang sering sekali membuat aku iri.

Jangankan untuk membeli sepatu 300ribu. Saking takutnya aku meminta uang untuk beli sepatu saat aku benar-benar butuh, akupun terpaksa meminjam uang temanku sekitar 100ribu. Dan dengan hati-hati aku mengirim pesan singkat ke mama. “Ma, boleh lia beli sepatu Ma. Harganya cuma 100ribu.”

Dan kini aku merawat sepatu itu dengan sangat, karna jelas dalam waktu setahun ke depan aku tidak akan dapat sepatu baru lagi. Kecuali aku mau mendengar teriakan, “BARU KEMARIN BELI SEPATU, UDAH SEPATU LAGI. UDAH BERAPA BANYAK SEPATUMU TU.”
-Iya Ma memang banyak sepatu lia. Sepatu 30ribu di pasar yang lia beli setiap dua bulan sekali. Ya uang belanja aku cuma bisa beli sepatu seharga segitu. Sementara sepatu harga segitu ya memang hanya tahan untuk 2 bulan. Bagaimana tidak kelihatannya sepatuku banyak?-

Aku tidak pernah mengharapkan materi berupa hadiah-hadiah mewah atau perayaan yang berkesan untuk semua hasil kerja kerasku. Aku tidak pernah meminta uang belanja ku untuk dilebihkan. Apalagi meminta barang-barang berharga.

Elusan lembut di rambutku. Atau mungkin “Selamat Lia.” Atau “Hebat Lia ya”. Atau mungkin “Tetap pertahankan ya.”. Atau “Wah, memang deh anak mama/papa”.

APA ITU MAHAL MA? APA ITU SUSAH PA?

Sekarang lihat bagaimana aku dihargai di luar rumahku.

Paling menyakitkan adalah waktu SMA. Seorang guru Bahasa Indonesia, Ibu Farida, dia terang-terangan mengakui di kelas, bahwa dia sangat tidak menyukai prilakuku. Tapi dia menjanjikan ku sebuah tas berwarna kuning, jika aku mendapat juara 1 untuk hasil Ujian Nasional di SMA. Aku mendapatkan juara itu dan beliau menepati janjinya. Tas itu berupa tas jinjing ibu-ibu. Aku tidak terlalu feminim untuk tas itu, dan akhirnya aku memberikannya kepada mama. Aku harap mama pun senang akan tas itu. Tapi ternyata, hehehe, mama tidak juga kelihatan senang, tetap biasa saja. Sakit sekali.

Bagaimana perilaku ibu Farida yang tidak menyukaiku dan perilaku mama yang seharusnya menyukaiku.
Oh,Tuhan. Aku sedih sekali sekarang.

Apa ini salah Kakak ku yang begitu hebat bisa menyambung hidup ke kota Jogjakarta dengan biayanya sendiri. Bisa memainkan banyak alat musik tanpa perlu les/kursus. Bisa pergi main teater sampai ke Makasar.

Apa ini salah Abang ku yang begitu pintar. Dapat juara 1 untuk olimpiade komputer se-Sumatera Barat. Bisa lulus ujian Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Dan bisa langsung dapat kerja sebagai pegawai negeri setelah tamat. Dan kini dia telah berpenghasilan sendiri.

Apa karna mereka yang begitu hebat dan pintar, maka apapun yang aku lakukan terkesan biasa saja? Tapi mengapa adik laki-lakiku (Aan) yang hanya mendapat rangking 7 sepertinya mendapat perlakuan spesial?  Mengerikan sekali keadaan ini untuk jiwa remaja labil sepertiku.

Di dunia kampusku, aku dihargai dan dibanggakan oleh beberapa dosen dan teman-temanku serta beberapa seniorku. Bahkan dosen-dosen tersebut tidak segan-segan membanggakan aku di depan teman-teman seangkatanku, agar aku menjadi teladan semangat untuk teman-teman yang lain. Teman-temanku terus menyemangatiku untuk belajar agar bisa mendapatkan beasiswa ke Jepang (hanya bisa satu orang setiap tahun). Seniorku pun membanggakanku dan menyemangatiku untuk tetap semangat dan jangan sombong.
Dan sampai sekarang ini, ya aku berdiri atas semangat-semangat seperti itu. Walaupun aku tidak tahu seberapa ikhlas mereka menyemangatiku. Karna tidak perlu munafik, aku tahu, teman-temanku juga pasti ingin sekali mendapat beasiswa ke Jepang itu.

Aku tahu, mama dan papa menyembunyikan kekecewaan mereka terhadapku, karna aku hanya bisa masuk universitas swasta di Padang dan mengambil Jurusan Sastra Jepang, jurusan yang tidak jelas (bagi mereka). Sebenarnya aku bisa saja mengecap pendidikan di Universitas Padjajaran, Bandung. Aku lulus SNMPTN kemarin, tapi hanya karna papa sakit stroke dan membutuhkan banyak biaya, aku tidak bisa memaksakan cita-citaku untuk merantau. Lalu salahku, jika akhirnya aku tercampak ke universitas swasta?

Ada perbincangan menyakitkan yang masih segar di kepalaku.
Mama : “Di Bandung itu tidak baik pergaulannya. Lagian jauh sekali.”
Aku  : “Ya yang lia tahu di UNPAD yang sastra jepangnya bagus, Ma.”
Mama : “Iya cari yang dekat-dekat kek.”
Papa : “kok bisa sampai Bandung yang dipilih anak ni.”
Mama : “Itulah sayapun ndak tahu apa yang dipilihnya pas SNMPTN. Dia pun gak ada kasih tahu apa yang dipilihnya untuk SNMPTN. Mungkin kalau ambil yang dekat2 kan bisa masuk negeri. ”
Aku hanya diam dan hanya bisa mengutuk dalam hati.
(Lia mana tahu ma! Emang ada mama peduli kemarin tu lia ambil jurusan apa untuk SNMPTN? Emang ada peduli mama Lia ni sukanya jurusan apa, minatnya apa, kelebihannya apa?! Emang ada peduli mama kemarin tu Lia ambil universitas tujuan apa?! Emang ada mama peduli gimana kerjakeras Lia buat belajar, biar lulus SNMPTN tu. Tahu mama, kawan-kawan lia les sana-sini. Tahu mama, Lia cuma belajar sendiri dari buku SNMPTN yang lia beli sendiri 30ribu di pasar burung/loak??! Ada mama peduli?! Nggak, kan!? Nah sekarang bisa-bisanya menyalahkan lia atas semua pilihan Lia!!!)

Aku masih ingat bahkan setiap aku mengingat setiap kejadian. Rasa sakit itu mendera lagi. Bagaimana aku begitu kesal. Begitu muak dan membenci dunia ini. Aku menangis setiap malam. Bagaimana aku tidak sedih? Kawan-kawanku yang lulus SNMPTN udah sibuk sana-sini mengurus segala keperluan, sementara aku, mamaku tetap bekerja di kantornya seperti biasa, papa beristirahat tenang karna baru keluar rumah sakit, dan kakakku pun yang kebetulan lagi di Padang menyarankan untuk tidak usah saja kuliah tahun ini.

Setiap malam, dalam tangisku, Tuhanpun bahkan sudah kucaci. Betapa aku merasa sedih. Ya sekarang akupun menangis menuliskan ini semua.

Aku mengunci diri di kamar dan mengirimi mamaku pesan-pesan singkat sesering mungkin agar aku secepatnya bisa mengurus dimana aku kuliah, karna bisa saja semua pendaftaran tutup. Yang aku ingin, aku harus kuliah. Dan begitulah akhirnya, mamaku mengijinkan aku kuliah di universitas swasta ini, dengan biaya 3 juta setiap semesternya. Walaupun aku tahu itu berat untuk mama, tapi di satu sisi aku puas, secara tidak langsung menghukum mama, karna ketidakpeduliannya terhadapku kemarin.

Dan bayangkan, saking tidak adanya kepedulian keluargaku. Akupun mengurus semua kebutuhan kuliah ku dengan Cris, pacarku (waktu itu). Di saat itulah pertama kali aku merasa bahwa kebutuhan jiwaku terpenuhi sempurna. Cris tidak hanya setia saat itu. Dari awal dia sudah setia mengantar aku untuk ke tempat ujian SNMPTN, padahal dia tidak ikut ujian SNMPTN, dan pasrah saja di kuliahkan di Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA). Cris memang sosok yang sempurna saat itu buat ku. Tapi mungkin karna memang tidak jodoh, tidak lama kemudian kami berpisah. Dan sejak saat itu aku menjadi kabur akan arti cinta dan pacar. Dan sejak saat itu aku menjadi haus akan cinta dan pacar hingga saat ini.

Begitulah sejarah singkat dan sepenggal kisah menyakitkan bagaimana akhirnya aku ikhlas kuliah di Universitas Bung Hatta. Walaupun terkadang mulutku masih begitu malu mengakui nama universitas ini, tapi dalam hati aku selalu menguatkan diri sendiri, untuk membuktikan pada dunia, bahwa aku bisa lebih dari mereka suatu saat nanti.

Sampai detik ini aku berusaha belajar dengan semangatku sendiri. Memberi sugesti bahwa semua pada akhirnya untung/ruginya hanya milik masa depanku. Terus berpikir positif bahwa semua akan indah pada waktunya. Terus berusaha menjadikan “ketidakpedulian” mereka sebagai alasan aku untuk semakin maju untuk mendapatkan hasil yang jauh lebih memuaskan.

Nah. Sekarang kalau Papa dan Mama malu dengan keberadaanku yang hanya bisa kuliah di universitas swasta, SALAH SIAPA?!? SALAH AKU?!

Sering sekali aku berpikir, seandainya saja aku punya uang lebih banyak, ingin sekali aku meninggalkan mereka. Mentang-mentang aku masih di bawah umur dan belum bisa mencukupi segala kebutuhanku sendiri. Mentang-mentang mereka yang punya duit dan aku masih hanya bisa meminta. Bukan hanya sekali dua kali aku ingin kabur dari rumah ini. Bukan sekali dua kali setan merayu ku untuk mengakhiri hidup ini di kamar ini, kamar yang setia menonton perasaanku sebenarnya.

Kini aku jalani hari-hariku dengan semangatku sendiri. Berupaya, berjuang, belajar, dengan semangatku sendiri. Meyakinkan diriku bahwa aku akan buktikan suatu saat nanti. Semua masa lalu yang suram biarlah menjadi kenangan. Satu yang aku terus berusaha ingat adalah berdoa dan pasrah kepada Tuhan. Tidak boleh lagi ada hari dimana aku mengutuki Tuhan. Tidak boleh lagi ada kesempatan untuk setan merayuku. Aku harus semangat, tetap tersenyum, dan bersyukur.

Tapi sampai kapan? Apakah benar-benar ada akhir dimana mereka akhirnya peduli dan menghargai keberadaanku?

Sekarang aku terhenyak di kasur ku dan merenung panjang. Sekarang aku tidak punya pacar. Biasanya saat-saat sedih begini. Saat-saat keluarga tidak bisa menghangatkanku, aku akan merengek pada pacarku. Tapi sekarang aku tidak punya. Kakak dan abang pun tidak pernah benar-benar peduli denganku. Semua hubungan kekeluargaan antara kami seperti hanya sekedar untuk formal belaka, agar semua melihat kami seperti keluarga harmonis. Saat-saat seperti ini aku tak bisa menahan air mataku.  Saat hanya Tuhan tempatku mengadu. Dan saat jemari ini sedikit kuat, maka dia akan menari-nari menuliskan perasaanku hingga aku sedikit lega dan kisah ini selesai. Semoga besok aku semangat lagi karna memang besok aku harus semangat terus. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Capcuuus kritik dan saran nya masbro mbabro